Tiga Belas

2 3 0
                                    

Langkah kaki Merlin malas memasuki rumah, seharusnya tadi ia menerima tawaran Fahri bukannya malah menerima ajakan Huda yang bahkan tak menghasilkan apa-apa. Malah yang harusnya senang bertemu dengan Gilang jadi membosankan saat Gilang mengajak pulang setelah menerima telpon yang Merlin tidak tahu dari siapa.

Merlin membuka tirai jendelanya, dan seketika kamarnya menjadi terang. Ia membuka handphonenya. Berpuluh-puluh pesan Fahri yang tentu terus mengajaknya keluar jalan-jalan. Ia juga mendapati pesan Huda yang menyampaikan bahwa ia akan mengajak bertemu lagi lain kali. Dan juga pesan seorang nomor tidak dikenal, yang tentu tidak akan dibuka ataupun dibaca.

Lalu Gilang, sama sekali tak meminta maaf atas apa yang terjadi tadi. Dia bahkan menurunkan Merlin dan berlalu begitu saja, tanpa ada kata yang terucap. Bahkan senyumnya yang biasa menghangat tiba-tiba hambar seperti senyum dipaksakan. Ia memandang layar handphonenya sekali lagi, kemudian beranjak keluar ke meja makan.

Di sana, mbok Gina sudah menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Di rumah itu, mbok Gina seperti hidup bersama anaknya. Karena memang tidak ada siapapun disana selain mereka berdua. Merlin memakan sepotong kentang goreng yang ada di meja, kemudian duduk di depan mbok Gina.

“Kamu tadi keluar sama siapa?” tanya mbok Gina sambil mengambilkan segelas air untuk Merlin.
“Tadi mau ketemu Huda, lalu eh, tiba-tiba Gilang datang.”
“Gilang?”
“Iya. Katanya tadi dia kesini dulu nyari aku.”
“Enggak kok. Gilang sama sekali nggak kesini. Dan mbok juga nggak tahu kamu keluar sama siapa. Huda? Mbok juga nggak kenal.”
“Oh iya, aku tadi kan pergi nggak bilang. Tapi kok, dia tahu aku sama Huda. Padahal dia juga nggak nanya aku.”
“Hmm. Mungkin dia.. punya ... penerawangan yang bagus.” Usul mbok Gina dengan manggut-manggut. Dan Merlin hanya menganga kemudian tersenyum geli.

Sesaat setalah mereka makan siang, mereka memilih duduk menatap jalanan yang sepi. Karena hujan deras tiba-tiba turun. Merlin menatap kearah luar, dengan masih memikirkan Gilang yang seakan punya indra keenam. Mbok Gina di sebelahnya, asyik membaca majalah dengan tampilan model-model yang mempamerkan busana khas orang Jawa.

Tapi, tiba-tiba di depan rumah. Ada seorang naik motor berhenti di depan gerbang. Kedatangannya membuat Merlin bangkit dan melihat siapa yang datang saat hujan deras begini. Mbok Gina kemudian ikut berdiri dan mencari payung, lalu segera membukakan gerbang.

“Kamu ini gila, hujan deras begini masih nekat diterobos. Nggak pakai mantel juga. Terus mau ganti pake bajunya siapa? Nggak ada laki-laki dirumahku.”
“Kamu sih, nggak balas pesanku. Telpon juga gak diangkat.”
“Kok jadi nyalahin aku?”
“Sudah Merlin jangan dimarahi terus. Ini Fahri bajunya. Kamu segera ganti. Aku nggak mau harus ngepel rumah dan ngejemur kursi gara-gara kamu.” Perintah mbok Gina dengan wajah di galakkan.
“Iya mbok. Siap” jawab Gilang dengan kesiapan 45.

Merlin terdiam kaku disertai senyum jail di wajah mbok Gina. Ia tak habis pikir, laki-laki ini benar-benar menerobos hujan hanya untuk menemuinya. Padahal Fahri juga bisa menggunakan mobil untuk sampai ke rumah Merlin. Tapi nyatanya, hal itu tak akan semenarik ini.

Fahri keluar dari kamar mandi, dia menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. Kemudian duduk di samping Merlin.

“Kamu kok jadi mirip papa?” tanya Merlin dengan sesekali mengusap wajahnya.
“Mungkin aku anaknya.”
“Dasar.” Jawab Merlin sambil memukul dengan bantal.

Mereka berdua memutuskan untuk menonton film sambil menunggu hujan reda. Dari rekomendasi Fahri sebaiknya mereka menonton film aksi saja. Tetapi Merlin menolak dengan mengatakan aku tidak suka kejahatan. Kemudian Fahri memilih DVD film romantis berjudul Raja, Ratu, dan Rahasia yang ditolak mentah oleh Merlin.

“Kamu maunya nonton apasih? Semuanya nggak mau.” Oceh Fahri kesal dengan badan ditidurkan di sofa.
“Aku nggak mau nonton film romantis.”
“Kenapa, biasanya cewe suka.”
“Itu kan biasanya, berarti ada pengecualian.”
“Alasannya?”
“Film romantis itu banyak fiksinya, di kehidupan nyata bahagia gak semudah itu.”
“Namanya juga film. Hanya sebuah fiktif belaka.”
“Makanya sekarang nonton film horor aja.” Usul Merlin membuat Fahri sedikit tak percaya.
“Film horor juga banyak fiksinya.”
“Biar jadi non fiksi kamu mau lihat?” tanyanya membuat Fahri pasrah.

Jam menunjuk angka tujuh malam. Fahri ragu-ragu untuk pulang, meskipun hujan sudah reda dari lima belas menit lalu. Merlin mengantar Fahri keluar. Dengan tangan dilipat dada, dia mendelik ke arah Fahri yang tak kunjung menyalakan motornya.

“Fahri, mau sampe kapan kamu duduk terus disitu?” tanya Merlin tiba-tiba.
“Kamu takut gara-gara nonton film yang tadi?” tambahnya
“Nggak lah!” jawabnya penuh keyakinan.
“Bagus. Nyalakan motornya!.”
“Mer...”
“Iya.”
“Aku yakin, bahagiamu akan seperti di film romantis.” Ucapnya sambil melajukan motornya.
“Maksudnya?” batin Merlin bertanya-tanya.

Seakan Bintang ingin MemelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang