Lima Belas

3 2 0
                                    

Fahri berlari terbirit-birit, menembus kerumunan orang di poli umum. Sudah jam sembilan malam namun para pasien yang berobat belum juga selesai mengantri. Fahri melewati lorong-lorong sepi, yang berisi kamar-kamar tak berpenghuni. Rumah sakit ini sangat besar, bahkan untuk sekedar berkunjung perlu peta untuk sampai tujuan.

Setiap di ujung tangga, tempat dan model ruangan nya sama. Tak ada orang berlalu lalang. Tak ada dokter maupun suster yang lewat. Keringat Fahri sudah sampai dagu. Dia tak mau tersesat seperti di film horor dan menemukan setan-setan atau terjebak dalam ruangan hampa dan gelap.

Tiba-tiba, tangan Fahri disenggol dan membuatnya membalik wajah. Dahinya berkerut. Dia menatap orang itu, seulas senyum meremeh pada wajah Fahri.

“Mau ngapain lo kesini? Buat dia lebih sakit lagi?” ucap Fahri sambil melangkah menuju lift.

“Gue pacarnya.”

“Gue tahu, dan lo juga yang bikin dia sakit.”

Merlin duduk di atas tempat tidur rumah sakit. Dia menatap kosong ke arah tv. Wajahnya sudah tak begitu pucat. Namun suhu tubuhnya belum kembali normal. Tiba-tiba Fahri datang dengan Gilang di belakangnya dan membuat lamunan Merlin buyar. Dia memandang ke arah Gilang dengan senyum yang masih hangat.

Fahri membiarkan mereka berdua di dalam, meski hatinya terbata-bata mengeja kata sakit, dia tetap melakukan. Karena baginya, Merlin harus sembuh dulu. Fahri duduk di depan kamar inap Merlin ditemani mbok Gina. Dia menatap ke lantai dengan perasaan kacaunya.

Mbok Gina mengusap pundak Fahri dengan mengatakan semua baik-baik saja. Dan itu juga yang dirapalkan Fahri sedari tadi. Dia akan baik-baik saja, tanpa Fahri, tanpa tahu perasaannya. Dalam hati Fahri sudah yakin, Gilang orang tepat. Tapi perilakunya sekarang membuat Fahri ingin mencekat.

Gilang keluar dari kamar inap. Dia merogoh ponselnya. Menelfon seseorang setelah berpamitan pulang pada mbok Gina. Fahri sedikit curiga, tetapi dia enyahkan perasaan tak berujung itu. Dia memilih masuk ke kamar dan melihat Merlin sudah tidur pulas. Fahri menatap matanya sekali lagi, lalu ikut berbaring di sofa.

Kali ini Fahri merasakan, bagaimana mencintai tanpa dicinta kembali. Bagaimana menahan sakit tanpa diketahui. Dan bagaimana merawat luka dengan hati-hati. Dia memandang atap rumah sakit. Mencari ketenangan dalam cat putih polos itu. Seakan disana ada bintang, yang sering Merlin katakan. Bahwa bintang adalah ketenangan. Memeluk jiwa rapuh. Mengusap peluh-peluh.

Kali ini, Fahri harus segera bersiap. Memperjuangkan atau memilih berhenti di tengah jalan.

Mobil Gilang terparkir tak terarah di rumah Rianti. Dia masuk ke dalam dengan wajah merah padam. Suaranya menggelegar mencari Rianti. Dan membuat seisi rumah keluar dengan wajah terkejut.

“Ada apa mas?” tanya Rianti ketika turun dari tangga.

“Aku mau batalin pertunangan kita dan pernikahan itu.”

“Apa?” jawab Rianti terkejut, sama dengan seisi rumah yang saling berpandangan.

“Tapi kita sudah menyebar undangan mas. Dan pernikahannya sebentar lagi. Mana mungkin aku bisa membatalkannya. Malu mas sama orang-orang.” Jelas Rianti dengan tangan menyentuh pundak Gilang.

“Apa gara-gara remaja itu, kamu meminta pernikahan kita batal?” tanya Rianti penuh penekanan.

Pertanyaan Rianti tak dijawab Gilang, dia malah berlalu meninggalkan orang-orang yang kebingungan dengan ungkapannya. Rianti tertawa kecil kemudian berkata.

“Pernikahan kita tak akan pernah batal.” Dengan mata menyorot pada punggung Gilang.

Gilang memilih menuju rumah, bersendirian di kamar mungkin bisa meredakan amarahnya. Dia merebahkan tubuhnya di kasur. Memijat-mijat kepalanya yang pusing. Dia kasihan dengan Merlin tetapi dia sudah terikat dengan Rianti.

Gilang mengusap-usap wajahnya. Hatinya berdesir saat senyum Merlin tetap hangat meski Gilang sudah membuatnya sakit, sakit hati dan sakit fisik. Dia mengelus kepala Merlin disertai senyum menenangkan seperti biasanya saat di rumah sakit tadi.

“Maafin aku sayang.” Ucapnya tadi dengan mata berkaca.

“Tidak perlu. Aku tahu kamu sibuk.” Senggah Merlin dengan tetap tersenyum.

Bagaimanapun keadaannya, Merlin tetap yang mengisi hati Gilang. Meski sekarang dia bertunangan dengan Rianti, tapi Merlin tetap yang mengusik malam-malamnya. Merlin adalah matahari bagi hidupnya. Dan Gilang, memposisikan dirinya sebagai bumi. Dia tak bisa mendekat kearahnya, tetapi dia bisa merasakan hangatnya. Dia tak bisa menyentuhnya, tetapi dia bisa melihat cahayanya.

Saat bertemu Merlin, Gilang memang merasa ada sesuatu mengganjal hatinya. Degupan jantung selalu lebih cepat ketika dia menemui Merlin. Dia sudah menaruh hatinya pada gadis itu, dan mungkin tak akan bisa dia ambil kembali. Merlin telah menyimpannya di tempat terdalam dalam relung hati. Merlin telah menyita seluruh perasaannya. Dan itu yang membuat Gilang kesulitan dalam memilih pilihan. Di sisi ini, dia mencintai Merlin. Sedang di sisi lain, dia terikat perjanjian dengan Rianti. Dia tak mau menjadi pengecut dan dia juga tak mau menjadi pendusta.

Gilang berbaring lemah di atas kasur. Hari ini, hari panjang yang menyulitkan. Hari yang membuat gadis itu sakit karenanya untuk pertama kali. Dan ia tak akan bisa merubah posisinya, kecuali dengan melepas Merlin.
.
.
.
.
Yes update lagiiiii, jgn lupa vote dong ya!! wkwkwk

Seakan Bintang ingin MemelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang