ELINE

424 108 12
                                    

Senin pagi yang tergesa-gesa ingin segera menemui Sabtu pagi. Dikala pagi tenang bersama dersik yang meniup daun jatuh kemarin sore. Saat Sabtu telah datang, cerah pagi dengan kicau burung bersahut, seakan memanggil seseorang yang lama tak berkunjung. Tiba-tiba, silau sorot cahaya lampu mobil hitam besar mengenai, membidik mata seorang wanita muda yang duduk di bangku depan rumah putih yang megah. Manis senyum yang semula menemani Sabtu paginya, seketika hilang tanpa jejak meninggalkan raut wajah, saat seorang lelaki berbadan besar dan gagah menghampirinya. Dia van Poo seorang Gubernur Belanda yang tengah ditugaskan di daerah Banyuwangi, Jawa Timur.

Derap langkahnya begitu menakutkan. Bak suara ledakan meriam yang memekakkan telinga. Begitulah, perasaan ketika seorang gadis perempuan bernama Eline saat didatangi oleh ayahnya.

Bukan tanpa alasan, banyak hal yang membuat ricuh dalam pikir dan angan seorang Eline saat ayah satu-satunya datang menemui nya. Dengan segera, dia berlari kencang menuju dalam rumah. Dan tak sengaja, dia menabrak ibu nya yang sudah berdandan cantik nan antik bak permaisuri yang akan melayani rajanya.

"Kowe kui kenapa to ndukk?" tanya Lastri, ibunya Eline, saat kaget tertabrak Eline yang lari tergesa-gesa.

Dengan perasaan yang sangat kacau ini Eline menjawab "Niku lho bajingan birahi panjenengan sampun rawuh."

Seketika telapak tangan dengan jari yang dirias lentik datang menampar keras pipi sebelah kanan Eline. Eline seakan tidak terkejut. Alur seperti itu, lumrah terjadi di setiap Sabtu pagi di rumah itu.

Tanpa mengoceh lebih nyaring lagi, Lastri menemui van Poo dan meninggalkan putrinya yang terdiam dengan aksa yang dipenuhi genangan seperti kubangan di kala hujan datang.

Lantas, Eline berjalan ke kamarnya bersama langkah kakinya yang sudah rapuh dibantai dengan keadaan rumah yang begitu memilukan. Renung dan angan buruk terus saja membelenggu dalam pikirnya, datang menghantuinya setiap sosok ayah kerumah menemui ibunya. Perasaannya rancu melihat sang ibu hanya dijadikan pemuas nafsu sang ayah dan setelah itu ditinggal kembali tanpa rasa iba.

Di pojok ruang kamar dengan cahaya arunika yang baru saja datang menyapa dunia, Eline terduduk sendiri di sebuah kursi tanpa meja di pojok ruang kamar itu.

Hati mungilnya tersiksa, tercabik-cabik hancur tak berupa dan terus saja bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban sesungguhnya, "mengapa ibu mau hanya didatangi untuk disetubuhi saja lalu ditinggal kembali, itu seperti Nyai Germo yang siap melayani pejabat Belanda yang haus akan nafsu bejat."

*Tokk, tokk, tokk*

Suara ketukan pintu yang nyaring terdengar dari pintu kamar Eline. Sesuai dengan prasangka, yang mengetuk pintu adalah orang yang membuat dia ingin muntah. Ketukannya terus saja berketuk bak akan mendobrak pintu karena begitu kerasnya.

Akhirnya dengan berat hati Eline datang dan membukakan pintu yang nyaris roboh karena terlalu lama digedor.

"Enek opo wong Londo? Mbrebeki kuping ku, ora duwe dugha!" ucap Eline sambil membukakan pintu.

"Lambemu nduk, kui ki bapak mu, kowe seng ora ndue dugha!" saut Lastri dengan nada bak guntur yang menggelegar di seluruh persada.

"Iya, kamu itu di sini cuma numpang, rumah megah ini milikku." Saut van Poo marah dengan logat Belanda nya.

Dengan aksa yang sudah merah serta perasaan yang berkecamuk dengan kecewa dan lara, seketika Eline berlari membawa lukanya pergi dari rumah itu.

****

Sabtu malam telah datang. Angin membawa dingin yang menusuk hingga rusuk. Rembulan dengan cahayanya menyinari jalan setapak becek yang dilewati Eline. Entah kemana, langkah kakinya begitu tergesa-gesa, namun tak bertujuan. Dia terus melangkahkan kakinya, hingga dia bersimpangan dengan sosok pemuda berwajah pribumi yang menunggangi seekor kuda hitam.

BAIT- BAIT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang