Bagian 1. (langit malam)

103 10 3
                                    

Puas mendunga meminta kepada tuhanku. Aku bergegas melakukan hal yang aku sukai. Duduk menepi di bangku taman untuk menikmati ciptaan tuhan yang satu itu. Malam.

Pukul 01.00 Separuhnya malam.
Gelap, tak banyak cahaya.
Sunyi, tak banyak suara bising.
Sepi, tak banyak yang berlalu lalang.
Aku merasa dunia ini diciptakan hanya untukku.

Dingin. Aku bersedekap memeluk tubuhku kemudian semua telapak tanganku meraih segelas coklat panas. Menyesapnya agar tubuhku bisa beradaptasi lebih lama dengan sejuknya malam. Aku mendunga menatap langit. Tak ada atap yang membatasiku menikmati langit.
Aku menyukainya.

Mungkin menyendiri seperti ini sedikit aneh menurut orang lain. Tapi ini baik menurutku. Menepi meluangkan waktu untuk sekedar mengoreksi diri dan mengolah hati agar tetap berprasangka baik. Dan ku pikir dengan menjaga prasangka baik aku dapat menjaga hormon bahagiaku agar tetap stabil.

Teringat ungkapan beberapa hari yang lalu ada seseorang baik mengatakan "eh.. mbak. Mbak kan anak kosan yah? Hati-hati loh mbak. Nanti mbak bakalan kayak gitu loh (hamil di luar nikah) mbak kan tipe wanita pendiam. Biasanya wanita pendiam itu kayak gitu. Diam-diam lasak"
Bibirku kelu tak mampu mengucapkan sepatah kata untuk menanggapinya waktu itu. Ku pikir diam adalah sikap elegant wanita berpendidikan untuk menyikapi kalimat tersebut. Hanya saja, sebegitukah noraknya pandangan sisi negatif dari sosok sikap wanita pendiam?

Ucapan itu terus terngiang dalam pendengaranku, memenuhi otakku, bagaikan roll film yang dimainkan lagi dan lagi. Ku pejamkan mataku. Ku hirup udara malam pelan dan dalam lalu ku hempaskan. Ku ulang lagi sebanyak tiga kali.

Ah iya, mungkin dia ingin mengatakan "mbak hidup jauh dari keluarga dijaga ya, jangan sampe mbak seperti itu" mungkin maksudnya seperti itu. Tapi membungkus kalimatnya yang kurang tepat. Think positif Kinara, kamu ngga boleh baper dalam bentuk apapun.

Don't Touch My HeartWhere stories live. Discover now