MF || 05 - Pilihan

6.1K 266 14
                                    

Banyak orang-orang yang berpakaian hitam dan ikut merasakan kesedihan atas orang yang meninggal dunia, beberapa saat yang lalu sudah dikebumikan. Batu nisan itu membuat Erna semakin sedih.

Wajah bengkak dan sesekali ia menangis dipelukan sang ibunya yang ikut menemani putrinya di area pemakaman tersebut.

Gani pun hanya bisa diam ditempatnya melihat pemakaman tersebut. Ada rasa tidak rela. Tapi, apa mau dikehendak, nyatanya nyawa seseorang tidak ada yang tau, termasuk dirinya.

Satu persatu orang-orang yang ikut melayat ke pemakaman pergi, ibunya Erna pun menepuk punggung putrinya sebentar kemudian pergi, membiarkan putrinya sendiri dulu, mungkin perasaannya sedang terguncang.

Gani pun masih berada ditempatnya berada. Menyisakan mereka berdua di area pemakaman tersebut. Erna menutup mulutnya karena menahan tangis.

Tiba-tiba saja Gani berujar, membuat Erna menghela napasnya lirih. "Dia adalah orang yang membuatku nyaman, tak pernah aku bayangkan nasibnya seperti ini, meninggalkan dunia ini begitu cepat. Padahal baru kemarin kita melihat canda tawanya, kasih sayangnya. Tapi, ternyata takdir berkata lain." ucapnya lirih dengan air mata yang mulai mengalir.

Gani pun langsung menghapusnya cepat, tidak ingin menangisi kepergian orang yang disayangnya berlarut-larut.

Rasa kehilangan pastinya ada. Tapi, mau dikata apa? Karena takdir memang berkata demikian. Gani pun berbalik badan secara perlahan, lalu pergi dari area pemakaman. Meninggalkan Erna sendiri yang masih berdiri dekat batu nisan tersebut.

Erna pun berjongkok dan menaburkan bunga, kemudian menangis dengan menatap batu nisan yang bertuliskan Sarah Fatmawati. "Ma, apa yang harus aku lakukan? Kenapa Mama pergi seperti ini? Aku tidak menyangka harus kehilangan Mama begitu cepat." Erna sesegukan akibat menangis yang sejak tadi tak berhenti. "Azka. Azka belum ditemukan, Ma."

Iya, Azka belum ditemukan dilokasi kejadian kecelakaan itu. Mungkin Azka hanyut saat mobil yang dikendarainya tersebut meledak, sehingga tubuhnya terpental dan jatuh ke dalam sungai.

Banyak yang berspekulasi kalau Azka telah meninggal dunia, karena posisi mobil yang jatuh ke dalam jurang begitu terjal, ditambah ada sungai yang mengalir, pastinya tubuh Azka akan hanyut.

Pencarian pun sudah dilakukan, bahkan sampai Sarah dikebumikan belum ada titik terang dimana keberadaan Azka.

Takdirnya seperti sudah diskenariokan Tuhan padanya. Apalagi perannya seperti ini, perempuan yang akan berbahagia dalam sekejap harus mengalami kesedihan yang teramat pedih.

Ingin sekali Erna mengutuk, tapi entah sama siapa? Ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena memang takdirnya seperti ini. Sehingga Erna hanya bisa menangis.

□■□■□

Beberapa hari ini Erna tidak keluar kamar, sampai membuat orang tuanya khawatir akan kesehatan anaknya itu.

Apalagi sampai sekarang ini Azka belum diketahui keberadaannya, bahkan kabar yang ia dengar kalau Azka telah meninggal duni karena hilang terseret air sungai.

Hal itu membuat Erna semakin tidak tau apa yang akan ia lakukan hari-harinya, tanpa adanya Azka disisinya. Terasa ada yang kurang dan kehilangan.

Sebulan telah berlalu, kesedihan akan kehilangan tunangannya itu membuat Erna merasa kesepian. Namun, pada pagi harinya Erna mengalami mual-mual, namun ia tidak mengeluarkan apapun dalam isi perutnya.

"Apakah mungkin?" gumamnya lirih seraya menghapus jejak air yang ia bersihkan dengan tangannya.

Gemetar, perasaanya mengatakan takut akan apa yang ia pikirkan saat ini, sehingga Erna pun langsung mengambil tasnya untuk pergi ke apotek untuk membeli tespek, guna mengecek apa yang ia pikirkan benar apa tidak.

Kedua orang tuanya Erna pun terkejut saat putrinya keluar dari kamarnya pagi-pagi sekali seperti ini. "Sayang, kamu mau kemana?"

"Mau keluar sebentar, Ma."

Setelah mengatakan demikian kepada orang tuanya, Erna pun pergi. Ia bingung apa yang akan ia lakukan kalau benar dirinya hamil.

Saat berada di apotek dekat rumah sakit tidak jauh dari rumahnya, dan membeli apa yang ia inginkan. Tiba-tiba Erna dikenjutkan dengan suara yang begitu familiar ditelinganya.

"Erna?"

Deg!!!

Suara Gani mengagetkannya, bahkan sampai membuat kantung yang ia bawa terjatuh. Gani sontak membantu memungut apa yang Erna bawa.

Matanya sempat terbelalak saat melihat apa yang Erna beli diapotek ini. Gani sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi, alat apa yang Erna beli barusan. Namun, Erna langsung mengambilnya dan memasukannya ke dalam tas. Dengan harapan kalau Gani tidak melihat apa isi yang ia beli tadi. Meskipun Gani sudah melihatnya.

"Mmm... iya."

"Dinda... kamu beli itu buat apa?" ucap Gani penasaran. Dan entah sejak kapan Gani dan Erna berbicara begitu santai semenjak Erna mengundurkan diri dari perusahaannya bekerja seminggu setelah Azka dinyatakan menghilang.

"Mmm... aku permisi dulu, Gani. Terburu-buru." ucapnya mengalihkan pembicaraan yang Gani katakan. Setelah mengatakan demikian, Erna langsung pergi meninggalkan Gani.

"Dinda... katakan, apa kamu sedang...," ucap Gani menghentikan ucapannya seraya memegang tangan Erna yang akan pergi. Namun, Erna reflek langsung menyentaknya dengab cepat.

"Jangan sentuh aku." ucapnya sedikit dengan nada meninggi. Sontak Gani pun langsung melepaskan tangannya, saking terkejutnya ia pun terdiam melihat reaksi yang Erna berikan kepadanya.

Semenjak Azka menghilang, Erna berubah kepadanya. Entah karena Azka yang menghilang, sehingga sikap Erna berubah seperti ini.

"Dinda, ada apa?" tanya Gani pelan.

Erna pun menangis dengan mengeluarkan segala macam beban di hatinya selama ini. "Jangan panggil aku Dinda, Dinda, Dinda terus, aku tidak suka. Aku beli apapun, bukan uruaan kamu."

"Oke, kalau kamu tidak suka dengan sebutan itu, aku minta maaf dan maaf kalau aku ingin tau apa yang kamu beli. Maaf."

Erna menghela napas panjangnya, kemudian ia pun pergi meninggalkan Gani. "Permisi."

"Erna." panggil Gani pelan, membuat langkah kaki Erna berhenti. "Aku siap membantu kapanpun kamu mau. Jangan berbuat nekat. Ada aku disini."

Setelah mendengarkan ucapan Gani barusan. Erna pun kembali melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Gani sendiri di depan apotek.

Gani tau kalau Erna membeli alat tes kehamilan itu, pasti bukan untuk orang lain, melainkan pasti untuk dirinya. Tidak mungkin untuk orang tuanya. "Apa karena ini, kamu berhenti bekerja?" Gani mendongak menatap langit yang begitu cerah, kemudian menghela napas panjangnya. "Azka, sepertinya kamu akan segera menjadi bapak, cepat pulanglah, kasihan tunanganmu." gumamnya lirih dengan menahan air matanya.

Setelah sampai rumah, Erna masuk ke dalam kamarnya dan langsung menutup pintunya, tidak lupa menguncinya. Ia pun menangis dan memegang dadanya yang terasa menyakitkan. "Mas Azka, apa yang harus aku lakukan, Mas?" gumamnya pada diri sendiri. "Kenapa pilihan hidupku begitu sulit seperti ini, kenapa?"

Erna yang mengingat ucapan Gani saat di apotek itu, menjadi bimbang. Kalaupun ia hamil, apakah harus minta tolong kepada Gani untuk menikahinya? Lalu, kenapa Gani berada di apotek? Apa yang ia lakukan disana? Banyak pertanyaan muncul dikepala Erna. Namun, semua itu menghilang saat ia tiba-tiba kembali mual-mual.

□■□■□

Salam Hangat

(Wanda Niel)
IG : wanda_niel25

My Fiance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang