Part 2- Bahasa

0 0 0
                                    

Hari ini setelah upacara adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Tak seperti guru bahasa Indonesia lainnya yang terkesan tua dan seperti mendongeng ketika menjelaskan, guru bahasa kami justru sebaliknya. Dia guru yang baik, supel dan gaul tentunya. Sepertinya itu karena umurnya masih tergolong muda. Dia juga suka memanggil muridnya dengan sebutan 'dek' meski kami tetap memanggilnya dengan sebutan 'pak'. Pak Ali itulah namanya.

"Yah, kemarin kita belajar tentang cerpen. Sekarang kerjakan tugas halaman 36 yang portofolio."

"Loh Pak, kita di suruh buat cerpen?" Sahut sang sekretaris.

"Iya. Memangnya kenapa?" Jawabnya dengan sangat santai.

"Temanya di ganti jadi Medsos."

"Gimana klo ada cinta-cintanya, Pak? Biar seru." Radit itu murid yang rada gesrek.

"Nih anak." Pikirku dalam hati saat mendengar usul Radit.

"Boleh juga. Jadi temanya medsos tapi ada cintanya."
Tak disangka jawaban dari pak Ali. Separuh kelas dibuat heboh.

"Biarlah setidaknya aku gak harus bikin otak jungkir balik buat nentuin ceritanya mau seperti apa." Ucapku dalam hati.

Jam dinding menunjukkan bahwa sebentar lagi bel pergantian jam pelajaran akan berbunyi.

"Baik. Sampai sini dulu pelajaran untuk hari ini. Cerpennya dikumpul hari kamis di jam pelajaran saya. Mengerti?"

"Mengerti pak." Ucap sekelas.

"Ista'it. Yaaman" tanpa diperintahkan, ketua kelas  menyiapkan.

Tak terasa bel pulang telah berbunyi 10 menit yang lalu.

"Na, kamu pulang bareng Lisya kan. Aku duluan yah. Dah" jawab Sintya setelah memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Iya Dah." Sahutku

Aku masih dikelas hari ini harus menunggu Lisya. Lisya adalah temanku dari SD dan kebetulan kami searah. Sayangnya kami berbeda kelas. Seharusnya kami sekelas, tapi sekretaris sekolah sekaligus wali kelas 10.2 menyuruhku pindah kekelasnya. Hari ini guru matematika yang mengajar di kelasnya mengambil sedikit waktu setelah bel untuk menerangkan kembali soal yang kurang di mengerti. Dan tentu saja dengan persetujuan murid-murid.

Waktu menunjukkan pukul 14:15 dan aku masih berada di depan kelas Lisya sambil bersandar di tembok pembatas koridor.

"Membosankan sekali" pikirku dalam hati. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang kurang kusukai. Aku juga sangat tidak suka dengan ekonomi. Itu lucu sekali karena bertentangan dengan ibuku yang waktu SMEA mengambil jurusan akuntansi, itu termasuk salah satu jurusan di ekonomi. Ibuku juga tidak terlalu menyukai IPA, yang justru sangat ku minati. Sepertinya dia memang tidak menurunkan itu padaku.

Lima menit kemudian pelajaran selesai. Beberapa murid menghambur keluar dengan berisik. Murid laki-laki di kelas Lisya memang rata-rata gesrek.

Lisya keluar paling akhir setelah guru keluar dari kelas. Aku bahkan sempat menyalami tangannya. Meski dia membawakan pelajaran yang kurang menarik bagiku, tapi dia adalah guru yang bisa di bilang dekat denganku. Dia sering menyapaku dan mencubit jahil lenganku ketika kami berpapasan. Jangan salah, di juga masih muda. Bu Anya namanya.

"Lohh, Na. Kamu disini? Kukira sudah pulang dari tadi. Maaf yah tadi Bu Anya agak lama."

Aku hanya tersenyum. "Yuk."
Aku berhenti saat melihat Aldri mengambil sapu.

"Dri. Lagi piket?"

"Gak liat aku lagi nyapu?" Jawabnya.

"Yaudah yang bersih yah nyapunya. Jangan lupa sampahnya di buang ketong sampah di bawah." Aku memang sengaja lebih tepatnya mengejeknya.

"Pulang sana. Daripada disini cerewet gak jelas. Mending kamu pulang Na." Sebelum sapu itu terbang kearahku, aku memutuskan untuk mengajak Lisya pulang.

Kami berjalan kaki menuju rumah. Rumah Lisya lumayan dekat, sekitar setengah kilometer dari sekolah. Sementara aku harus berjalan kaki satu kilometer untuk pulang kerumah. Kak Andre tidak pernah menjemputku karna itu permintaan dariku.

Di perjalanan pulang Lisya bercerita banyak hal termasuk kedekatanku dengan Aldri. Bukan hal yang aneh jika aku dan Aldri dekat karna kami dulu satu SMP hanya saja kelas kami terpisah antara putra dan putri. Jadi kami tidak saling mengenal. Hanya ada satu kesempatan agar murid putra dan putri bisa saling bercengkrama secara bebas yaitu saat pelajaran Tata Boga yang memang kelompoknya digabung dan mirisnya kami tak pernah sekelompok. Karna Sintya menyukai Rasya, sepupu Aldri yang sekelas dengannya, jadi kami sering kekelas mereka. Sekedar ngobrol bareng saat Sintya dan Rasya asik berbincang entah tentang apa.

"Na. Tau tidak Aldri itu klo dikelas agak rusuh. Suka ngerecokin orang. Klo dia mulai gitu aku cie-ciein pake nama kamu. Sumpah, lucu banget tau gak. Hahaha." Aku cuma bisa melongo mendengarnya.

"Terus dia bilang apa? Ya ampun Lisya. Kamu tuh yah sembarangan banget klo ngomong. Aduhh kamu tuh bikin malu aku banget." Aku mulai gelagapan. Antara kaget dan malu.

"Dia cuma bilang. Jangan bilang kayak gitu! Pake penekanan."

"Aduh Lisya. Jangan gitu lagi deh. Malu banget. Aku gak tau gimana klo ketemu sama Aldri."

"Iya iya gak bakal lagi. Aku janji deh. Yaudah aku duluan yah." Kata Lisya saat tiba didepan rumahnya. Rumahnya memang lebih dekat di bandingkan rumahku.

"Iyah" Aku melambaikan tangan sembari tersenyum kearah ibunya yang baru keluar dari rumah.

Anyone Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang