16. Serangan Balasan Moza

3 2 0
                                    

Moza, Filecia dan Hunna kasak-kusuk soal strategi untuk menyerang balik. Setelah mereka semua berkumpul, Moza dan Hunna menjelaskan rencananya.

Berhubung mereka kalah jumlah, maka yang akan dilakukan adalah menyerang diam-diam ketika makluk-makhluk itu tidur. Untuk itu, Hunna menunjuk sekelompok mata-mata. Rencananya, begitu mereka beristirahat, mata-mata mengirim sinyal, lalu serbu dengan cepat dan senyap.

Kini, Moza mondar mandir gelisah. Pedangnya digenggam erat. Pikirannya sibuk memperhitungkan segala kemungkinan. Dia, untuk pertama kalinya sejak datang ke Maia Catez, merasakan takut.

Bagaimana jika dia terbunuh? Siapa yang akan memimpin Maia Catez? Siapa yang akan menikahi Filecia? Dia tidak tahan membayangkan Filecia menikah dengan kucing lain, karena dia meninggal.

Sebuah bisikan mengusik pikirannya. "Bicaralah dengan pohon pyrzta, Moza. Mereka bisa membantu banyak. Tapi, mereka meminta kau yang bicara, bukan aku," bisik Filecia.

Moza mengangguk. Dia memfokuskan pikirannya ke salah satu pohon di depannya.

"Salam dari kami, Maia Catez, untuk sekalian pohon pyrzta," batin Moza.

"Jadi ini yang menabrak rakyatku, memotong beberapa rakyatku, dan mengutak-atik tanah di sini. Apa maumu, hewan sialan?" caci sebuah suara yang sepertinya adalah pemimpin para Pryzta.

Moza sangat terkejut menyadari bahwa pyrzta berbicara bahasa kuno, dan ternyata bangsa yang sangat cerdas dan beradab, meskipun mereka adalah tumbuhan.

"Maafkanlah kami, Yang Mulia. Kami tidak tahu kalau kalian adalah makhluk yang sangat cerdas. Kalau saja saya tahu, saya tidak akan menebang kalian."

"Huh!" jawab pohon itu.

"Tolong, Yang Mulia. Kami membutuhkan perlindungan. Kami pergi dari planet kami, menghindari dominasi dan penindasan dari ras manusia. Kemudian, kami menemukan planet ini. Kami mendarat, dan mereka menyerang kami, padahal kami tak pernah sekalipun menyerang mereka! Apakah kami harus selalu tertindas dimanapun kami berada, wahai Pohon Yang Mulia?" pinta Moza memelas.

"Sungguh mengharukan, Kucing," kata pohon itu sinis.

"Tolong, Yang Mulia. Kami kehilangan portal. Akan lama lagi sampai pasukan bantuan datang, kira-kira 2 bulan. Kalau selama itu, kami mungkin sudah mati semua! Aku Raja Maia Catez, Yang Mulia. Kalau aku mati, apa jadinya kerajaanku nanti? Tolonglah, kita sama-sama raja. Kau pasti punya perasaan yang sama sepertiku, yaitu memikirkan rakyatmu. Bisakah kalian menolong kami?" Moza memelas.

"Baiklah, Kucing! Aku sendiri juga tidak menyukai makhluk-makhluk barbar yang membunuhi rusa itu! Kalian akan kami bantu dengan sihir kami! Tapi, sebagai gantinya, kalian harus membangun padang rumput beserta hutan ini menjadi cagar alam! Kalian juga harus memikirkan cara untuk mengembangbiakkan rakyatku dengan cepat. Perkembangbiakan kami sangat lambat, 100 tahun sekali. Makanya kami hanya ada sedikit. Aku yakin di seluruh planet ini, jenis kami hanya ada di sini. Bagaimana, Raja Tanpa SIM?" pohon itu mengajukan syarat.

"Setuju, Raja Tanpa Tangan," balas Moza. Mereka berdua tergelak bersama.

"Ngomong-ngomong, aku menyukai nama yang kau berikan kepada kami, Pyrzta. Wah, bagus sekali!" puji pohon itu.

"Terima kasih, Yang Mulia. Ngomong-ngomong, namaku Moza Linarte. Siapa namamu, Yang Mulia?" tanya Moza.

"Kau bisa memanggilku Kurd Kialandu. Atau Kurd, Kia, apalah. Terserah."

"Siap, Kia."

Setelah itu, Moza menjelaskan perbincangannya dengan Kia. Hunna langsung optimis. Mereka merasa semakin penuh energi. Pohon Pyrzta memberikan energinya kepada mereka. Sampai malam tiba, mereka menjalankan rencana mereka.

Harapan Baru [Buku 2 Trilogi Catez Prince] [Bersambung Ke Buku 3!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang