Maple IV

1K 174 3
                                    

"Kau tahu jika kau ikut denganku, itu bukan berarti kau pulih, Jin," katanya. Namjoon menatap Jin dalam. Ada banyak ketakutan di matanya.

Jin tersenyum. "Kenapa kau terlihat begitu takut?" tanyanya. "Bukankah kematian bukan hal yang mengejutkan? Itu sesuatu yang sudah jelas, Namjoon."

Namjoon diam. Membiarkan angin dan diam menyelimuti mereka. Sebab dia juga tidak tahu harus menyahuti apa.

"Apa yang kau takutkan sebenarnya, Namjoon? Rasa bersalahmu? Kita tahu ini semua bukan salahmu. Kau yang dulu bilang, ini semua rencanan Tuhan. Ini yang digariskan untuk kita. Lalu apa lagi yang kau takutkan?"

Namjoon menghela nafas. "Aku tidak tahu. Mungkin aku hanya takut kehilangan sekali lagi. Terakhir aku merasakannya, semuanya berbekas hingga sekarang. Merasakannya dua kali jelas bukan hal yang baik."

"Mati pun, bukankah aku akan tetap bersamamu?"

Namjoon diam. Dia tidak bisa menjamin apa-apa tentang mereka setelah Jin tidak lagi hidup. Sebesar apa pun cinta mereka jika Tuhan tidak mengijinkan mereka untuk bersatu nanti, mereka tidak akan bersatu. Seperti dirinya dan Seokjin. Kematian tidak menyatukan mereka begitu saja. Namjoon harus menunggu lebih dari seratus tahun untuk bertemu dengan Jin. Dan lihat, seratus tahun tidak ada artinya sebab kini Jin juga menunggu waktunya.

"Sudahlah ini bukan hal baik untuk diperdebatkan. Konyol sekali orang-orang seperti kita memperdebatkan kematian yang sudah jelas di depan mata," kata Jin sambil tertawa kecil.

Namjoon terdiam. Dibiarkannya keheningan menyelimuti mereka lagi untuk yang kesekian kalinya. Kekhawatiran yang memenuhi pikirannya sama sekali tidak bisa ditenangkan. Terlalu banyak tanda-tanda yang Namjoon tidak mengerti artinya apa. Apakah itu pertanda untuk sebuah akhir? Jika memang begitu, bukankah ini berarti baik? Sebab Jin tidak akan sakit lagi.

"Aku lebih senang menghabiskan waktu dalam diam bersamamu. Sebab kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan apa yang akan terjadi pada kita nantinya," kata Jin. Ditatapnya wajah Namjoon sambil terseyum. Lelaki ini tampan sekali, pikirnya.

Namjoon tersenyum. Diraihnya jemarin Jin yang terlihat pucat. "Jadi kita hanya akan terus diam sampai akhir musim, begitu?"

Jin tertawa, "Tidak juga, bukan begitu maksudku. Hanya saja... aku hanya ingin kita berhenti memusingkan hal sudah pasti akan terjadi."

Namjoon menatap Jin. Lelaki ini indah sekali, pikirnya. Bahkan jika dia berusaha mengingat, Soekjinnya dulu tak seindah ini. "Ah, kenapa aku tidak bisa berhenti membandingkan kalian."

"Oh, apakah kami begitu mirip?" tanya Jin.

Namjoon menggeleng. "Tidak, kau jauh lebih indah."

Jin tertawa pelan. "Ah, apa kalian dulu juga mengatakan hal-hal seperti itu?"

"Seperti apa?"

"Seperti tadi."

"Seperti... hal-hal seperti itu yang membuat wajahmu memerah seperti sekarang?"

Jin tertawa lagi, kali ini lebih kuat. "Apa wajahku memerah? Berarti aku sudah sembuh, Namjoon. Kau tahu wajahku selama ini selalu pucat."

Namjoon tersenyum. "Hey, Jin," panggilnya.

Jin menoleh. "Hn?"

Namjoon bergerak maju tanpa ragu, digenggamnya jemari-jemari pucat itu erat-erat. Pandangan matanya jatuh pada bibir berwarna merah muda sedikit pucat itu. Seumur hidup Jin, Namjoon tidak pernah seberani ini untuk mengecup dalam-dalam bibir itu. Seperti sekarang.

"Aku mencintaimu, Jin..." bisiknya.

Jin tersentak. Jantungnya berdegup cepat. Sakit. Dan sesak.

Maple, Season, And One Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang