5. Nice Show

2.1K 307 23
                                    

Setelah kembali dari kamar Braile, Jeff segera mengabarkan kepada Taeyong bahwa dirinya telah berhasil melepas alat penyadap yang dipasang oleh anak buahnya tersebut.

"Berapa harga alat penyadap itu?" tulis Jeff kepada Taeyong.

Di seberang sana, sepasang mata sedang membaca deretan pesan singkat tersebut. Matanya semakin terbuka lebar tatkala ponselnya kembali bergetar, menampakkan pesan selanjutnya yang dikirim oleh Jeff. Pria itu akhirnya menghela napas panjang. Baru saja tadi siang dia mendapatkan alat penyadap itu dengan harga tinggi, namun Jeff menghancurkannya dengan begitu mudah.

"Alat penyadap itu bernilai US$ 70. Aku mendapatkan dengan harga tinggi karena aku memesan secara mendadak dan membutuhkannya dalam waktu yang singkat," balasnya.

"Tidak usah menggerutu. Aku ganti dua kali lipat."

Sudah bukan merupakan hal yang baru lagi bagi Taeyong. Pria itu sudah tidak lagi kaget ataupun heran terhadap sikap bosnya yang terkadang berlaku seenaknya tersebut. Bertahun-tahun menjadi bawahan Jeff membuat Taeyong mengerti alasan di balik tindakan semena-mena yang dilakukan oleh bosnya tersebut. Oleh karena itu, ia tidak ingin ambil pusing. Seperti saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah memperbaiki tindakan Jeff yang kerap ceroboh tersebut agar tidak menjadi bumerang bagi keduanya. Entah mengapa, Taeyong merasa bahwa Jeff membutuhkan sosok yang bisa merangkulnya. Melihat fakta bahwa Jeff lebih muda baginya, membuat Taeyong semakin yakin dengan asumsinya. Untuk itu, Taeyong sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap berada di sisi Jeff apa pun keadaannya.

Sementara itu, di kamar hotel kelas satu sana, seseorang ingin segera meluruhkan semua penat. Jeff letakkan ponselnya di atas nakas setelah berhasil mengirimkan uang ke rekening Taeyong. Beralih memandang sebuah arloji yang tersampir pada pergelangan tangan, Jeff menarik kedua sudut bibirnya. Memoarnya kembali menguar, menampakkan sosok tangguh sang pemilik asli arloji yang ia tetapkan sebagai panutan sejak ia berusia lima tahun.

"Ayah, aku bersumpah untuk menghukum keparat yang sudah merampas semua harta Ayah dengan tanganku sendiri," ucapnya dengan menganalogikan arloji tersebut sebagai sang ayah.

Kini, Jeff berada di bawah sebuah benda aluminium yang dapat memancarkan air. Membiarkan cairan jernih tersebut mengalir membasahi tubuhnya yang tak terbalut barang sehelai kain. Kedua maniknya terpejam. Rasa rindu menyeruak masuk ke dalam dada secara tiba-tiba. Jeff rindu dengan mendiang kedua orangtuanya. Tak ingin rindunya semakin berlarut, Jeff mempercepat kegiatannya.

Dengan bagian atas telanjang dan bagian bawah dibalut dengan handuk putih khas hotel, Jeff meraih ponselnya dari atas nakas. Terbesit sebuah ide gila dalam benaknya.

"Besok aku akan bertemu dengan target. Sepertinya aku harus mencoba cambuk baruku," tulisnya dalam sebuah pesan singkat yang kemudian dikirimkan kepada bawahannya.

Di dua lantai di bawahnya, seseorang menggelengkan kepalanya sembari tersenyum setelah membaca pesan singkat tersebut.

"Kau ingin mencoba cambuk barumu pada badan target?"

Jeff menyeringai. Merasa bangga bahwa orang yang dikirimkan pesan sangat paham dengan apa yang dirinya ingin katakan.

"Tunjukkan kegilaanmu, setelah itu giliranku."

Jeff merasa sangat antusias dengan apa yang akan ia lakukan besok sepulang dari Makau. Tak sabar mencoba cambuk yang dibelinya di pelelangan dengan harga tinggi. Jeff menjatuhkan daksanya di atas ranjang hotel. Tangannya terlentang, bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum penuh damba. Otaknya mulai bekerja, berandai-andai mengenai cara apa yang akan dia lakukan untuk mencoba cambuk barunya tersebut.

o0o

Matahari kembali menyingsing. Pagi ini, mereka kembali ke tanah air. Antusiasme Jeff semakin bertambah ketika pesawat sudah mulai lepas landas. Setelah menghabiskan kurang lebih lima jam perjalanan, mereka akhirnya dapat memijakkan kaki pada tanah kebanggaan.

TRAP [PUBLISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang