Aku pasti mengidap penyakit jiwa, batin Indi. Dari tadi sudah tiga buku habis dibacanya. Semuanya tentang psikologi, penyakit kejiwaan, dan cara menjadi orang normal.Sejak kecil Indi memang tidak normal. Ia sering merasakan hal-hal yang tidak bisa dirasakan orang normal pada umumnya. Ia juga sering mengalami kesurupan, yang kata psikolognya hanya mengalami kejang-kejang biasa.
Namun, dalam minggu ini, hal-hal yang ia alami sudah diluar dari nalarnya. Tidak mungkin ada orang yang dapat mengeluarkan api. Mata Indi lalu menangkap kata yang sulit dibacanya Skizofrenia, gangguan mental yang menyebabkan penderita mengalami halusinasi, delusi ataupun waham.
Ia terus membacanya, dengan harapan kalau nama kelainan mental ini merupakan jawaban dari apa yang tadi dilihatnya. HP Indi berdering. Nomor yang ia tak kenali.
Indi tampak ragu mengangkatnya, setelah apa yang terjadi hari ini. Handphonenya lalu berhenti berdering. Detik berikutnya notif pesan dari nomor yang sama masuk.
Bersiap-siaplah, lari jangan sampai mereka menangkapmu.
Indi berharap ini merupakan gejala dari skizofrenia yang barusan ia baca. Ia berharap saat ia mencoba berkonsentrasi dan fokus, semuanya hanya ilusi. Ia berkonsentrasi, menenangkan pikirannya. Lalu semuanya menjadi tenang. Indi kemudian membuka matanya.
“Hai Indi,” seorang pria berperawakan tionghoa tersenyum tepat didepannya.
Indi melihat sekeliling, semua orang yang ada di perpustakaan terkapar di lantai dengan kedua mata terbuka.
“Siapa kau? Apa yang terjadi?” tanya Indi dengan keberanian yang ia miliki.
“Aku? Aku sama sepertimu,” jawabnya sambil terkekeh.
Lelaki itu naik keatas meja, dengan jaket kulit putih dan celana jins putih, lengkap dengan sepasang pantopel putih. Seringainya mengingatkan Indi pada karakter Chesire Cat di film Alice in the Wonderland. Lelaki itu lalu mengulurkan tangannya,
“Ayo kita pergi,” ajaknya.
Tubuh Indi gemetaran. Ia lalu mencubit tangannya, masih berharap kalau semua yang ia lihat adalah ilusi belaka. Sakit. Indi sepenuhnya sadar. Ia menatap wajah lelaki itu.
“Kau mau apa dari aku?” kata Indi gemetar.
Lelaki itu turun secepat kilat, lalu menggenggam tangan Indi. Ia menarik tangan Indi dan memaksanya untuk berjalan. Indi mencoba melawan, tapi tidak bisa. Tubuh Indi seolah-olah tak mau menurutinya.
Mereka berjalan melalui meja-meja perpustakaan. Lelaki itu berjalan dengan cepat, seolah-olah menghindari sesuatu yang mungkin datang.
Di koridor perpustakaan, juga terjadi hal yang sama. Semua orang terkapar di lantai, seperti baru saja di bius oleh obat tidur. Melihat hal itu, Indi semakin panik.
“Lepaskan aku!” Indi mencoba melawan.
Lelaki itu lalu menatapnya tajam, dan membuat tenaga yang berusaha ia kumpul menghilang. Lelaki ini bukanlah orang biasa, batin Indi. Langkah mereka semakin cepat. Menit berikutnya mereka tiba di depan pintu masuk perpustakaan.
“Kita mau pergi kemana? Lepaskan aku!” Indi meronta, ia memfokuskan seluruh tenaganya, agar bisa melepas genggaman lelaki itu. Lelaki itu lalu tampak panik.
“Diam! Atau aku harus memaksamu agar bisa diam” ancamnya.
Ekspresi pria itu tampaknya berubah, ia terlihat risau.
“Aku bilang lepas!” Indi menghardik pria itu lalu menarik tangannya.
Lelaki itu tampak kaget. “Aku sudah meremehkanmu, sepertinya aku harus memakai rencana B,”
Pria itu lalu mengangkat salah satu tangannya, dari balik jaket kulitnya keluar dua utas tali marlon putih. Anehnya kedua buah tali itu bergerak sendiri, layaknya ular menari yang sedang menatap Indi.
“Lari” Indi kebingungan, sangat jelas kalau tadi itu bukan suara batinnya.
“Tes, tes,” mencoba meyakinkan kalau yang ia dengar barusan bukan suara batinnya.
Melihat tingkah Indi, pria itu tampak kebingungan.
“Kamu ngapain bodoh! Lari, sebelum dia menangkapmu!”
Ada suara orang lain di kepala Indi. Kedua tali itu lalu menerjang Indi.
“Menghindar ke kiri lalu lari secepatnya menuju pintu keluar, aku akan mengalihkan pikirannya, dan tidak usah bingung, aku bukan suara batinmu,”
tanpa berpikir panjang Indi mengikuti instruksi suara dalam kepalanya lalu menghindar ke kiri, tali itu menerjang namun meleset.
Indi melihat lelaki itu, ia tersenyum lalu tali kedua telah berada dibelakang Indi, hendak melilitnya lalu kemudian berhenti.
Dilihatnya lelaki tadi. Terlihat lelaki itu terdiam, tatapannya kosong dan kedua tali tadi sudah berada di lantai. Aku pasti sudah gila batin Indi. Ia lalu berlari menuju pintu keluar. Tepat di depan perpustakaan, mobil avansa abu-abu berhenti.
“Mama?”
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Indi Go!
FantasyMenuju Ending: Slow Update 📌 [Fantasi - Indigo] Sejak kecil Indi selalu merasa kalau dia bukanlah anak yang normal. Namun hari itu menjadi pembuktian, kalau apa yang dia pikirkan adalah benar. Indi bukanlah.... Nb: Setiap episode dari cerita ini me...