Part 17

13.7K 2.2K 73
                                    

Ancaman Rakha sempat membuatku hampir lupa diri. Nada bicaranya terdengar serius tapi aku tahu dia hanya bercanda begitu senyuman mengejeknya muncul. Dia tidak mungkin serius ingin menciumku.

Aku bersandar di kursi, berusaha menikmati sisa perjalanan tanpa terpancing gerutuan atau pembicaraan yang hanya akan memancing perselisihan  Baik aku maupun Rakha sama-sama keras kepala. Kami berdua akan tetap mempertahankan pendapat sampai salah satu terpojok. Diam adalah solusi terbaik. Kali ini giliranku terpaksa harus mengalah walau sebenarnya tidak rugi apapun. Justru Rakha yang harus berpacu dengan waktu untuk tiba di kampusnya sebelum kelas di mulai setelah mengantarku kembali ke rumah.

Tapi sepanjang jalan Rakha malah menjalankan mobil cukup santai. Dia sama sekali tidak terlihat terburu-buru. Pandangannya tetap lurus, menatap jalanan yang tersendat akibat macet. Kalau dalam keadaan normal biasanya aku berdecak dalam hati bila terjebak dalam situasi seperti ini tapi sekarang perasaanku malah tenang dan justru berharap bisa memperlambat waktu.

"Kamu yakin nggak punya niat terselubung?" tanyaku setelah sekian lama memilih pertanyaan di kepala.

"Nggak usah bawel. Istirahatlah."

"Aku perlu memahami tindakanmu. Apa kamu lupa ancamanmu tadi?"

"Baiklah. Katakan pertanyaanmu, singkat dan sejelas mungkin," jawab Rakha tanpa menoleh.

"Ini tentang sikapmu belakangan ini. Kebaikan yang selama ini yang kamu bungkus dengan alasan empati. Kamu pasti sadar sejarah pertemanan kita berdua lebih mirip Tom and Jerry dibanding kisah Romeo dan Juliet. Aku bukannya menyangsikan niat baikmu tapi hanya sedikit heran karena kamu nggak punya alasan melakukannya. Jauh lebih masuk akal kalau kamu menganggapku si itik buruk rupa seperti dulu."

"Kapan aku pernah menyebut kamu itik buruk rupa?" tanyanya kesal.

"Secara langsung memang nggak tapi jawabanmu bila sudah menyangkut soal fisik seakan menggiring opini ke arah sana. Kasarnya dari sudut pandangmu, aku cuma perempuan biasa, dari keluarga sederhana dengan kemampuan otak standar, bukan seseorang yang tepat diajak masuk dalam pergaulanmu yang berbanding terbaik dengan gaya hidupku." Kusandarkan kepala di jendela. Mendengar pernyataan sendiri membuat perasaan mendadak tidak nyaman. Akal sehat seolah sedang mengingatkan bahwa berharap pada sosok seperti Rakha sama saja mengulang kisah pahit di masa lalu. "Kadang aku berpikir kamu sedang menyusun rencana menusukku dari belakang," lanjutku setelah merasa lebih tenang.

Rakha menggeleng. Dia mengembuskan napas pendek. Rautnya mendadak muram. "Pantas kamu menjulukiku monster. Kamu memang mudah menilai negatif seseorang terutama aku."

"Bagaimana lagi, kamu memang menakutkan sekaligus monster paling ganteng yang pernah kukenal. Jangan marah. Aku sedang memuji bukan sarkasme kok."

"Sarkasme juga nggak apa-apa. Setidaknya kamu mengakui aku punya kelebihan meski dari sudut pandangmu yang menyebalkan," ucapnya sambil terkekeh. "Dan maaf kalau kamu merasa seperti itu. Emosiku dulu memang buruk, mudah terpancing karena masalah sepele. Kamu pasti nggak aneh mendengar deretan ulahku. Pengalaman memberiku banyak pelajaran berharga. Sekarang kita bukan lagi remaja labil yang haus pengakuan meski masih jauh dari kata akur tapi kita bisa mulai dari awal, jadi tetangga yang baik misalnya."

Mataku mendadak terbuka lebar, rasa nyeri di perut dan tidak enak badan bahkan begitu mudah terabaikan. Belum pernah terpikir sebelumnya kalau Rakha akan menawari penawaran semacam gencatan senjata lebih dulu. "Serius? Kenapa tiba-tiba?"

"Tawaranku bukan sesuatu yang luar biasa apalagi istimewa. Anggap saja malaikat kali ini berhasil menyingkirkan setan dari kepalaku."

Kusodorkan jari kelingkingku. Perubahan suasana membuatku lebih berani menyuarakan isi hati melalui tindakan. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas ketika mengharap keberuntungan saat masih berharap pada Arga. "Ok.Deal?"

Fixing A Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang