Berada di antara deretan rak dipenuhi novel sedikit mengurangi kekecewaan meski pikiran belum sepenuhnya bisa diajak bekerja sama. Isi kepala sebagian besar dipenuhi sumpah serapah setiap mengingat Rakha. Ada sedikit kepuasan ketika membayangkan ekspresi laki-laki itu di depan pagar rumahku. Rakha tampak kebingungan seakan ada bom yang baru meledak di dekatnya. Matanya menatap tajam penuh amarah begitu aku mengacungkan jari tengah. Buruannya hilang karena kesalahannya sendiri.
Sejujurnya tindakan memberinya jari tengah seperti tadi tidak pernah terbersit. Tindakan yang dinilai kasar dan kemungkinan besar akan berbuah kemarahan ibuku. Aku sangat yakin Rakha akan menyimpan perbuatanku dalam hati. Dia bukan pengadu meski cukup dekat dengan keluargaku dan tahu risiko jika hal itu sampai terjadi.
Aku memutar bola mata, melewati rak demi rak berisi novel. Satu persatu buku kubolak-balik, membaca sinopsis dan berharap ada yang cukup menarik untuk kubawa ke meja kasir. Ponsel sengaja di silent. Aku butuh ketenangan bukan adegan minta maaf. Entah berapa banyak panggilan masuk bahkan pesan dari Rakha yang sengaja kuabaikan. Aku tidak terlalu peduli bila di matanya diriku terlihat kekanakan.
"Akhirnya ketemu juga. Untung tebakanku benar." Suara berat dan familer terdengar di belakangku.
Tubuhku berbalik karena penasaran. Rakha telah berdiri di hadapanku. Sosoknya bukan hanya rekaan. Napasnya belum teratur saat ia mencoba tersenyum.
"Ngapain di sini? Kenapa nggak lanjut bobo cantik saja di rumah," ucapku tak acuh. Wajah kupalingkan pada rak. Berusaha keras tidak terpengaruh keberadaannya.
"Maaf. Aku bukannya sengaja melupakan janji. Kemarin..." Dia bergerak perlahan, memperkecil jarak di antara kami.
"Yah, aku sudah memperkirakannya dan tak banyak berharap kok," potongku cepat sembari bergerak.
"Mau ke mana lagi habis dari sini?" tanyanya lembut. Perlahan kakinya menjajari langkahku. Bergerak dan berhenti mengikuti gerakanku. Aku tahu Rakha sedang berusaha memperbaiki kesalahan.
"Pulang."
Rakha bergeming. Gigi putih berderet rapi sewaktu wajah tampan itu menyungging senyum. "Ayolah, Ai. Maafkan aku. Kamu berhak marah. Rencana kita gagal karena kebodohanku. Aku menyesalinya, sangat menyesalinya."
"Kamu tadi mandi?" Kuperhatikan rambutnya yang berantakan. Wajahnya terlihat seperti orang baru bangun tidur. Dia bahkan memakai sandal jepit yang biasa dipakai di rumah.
"Tadi buru-buru cuma sempat cuci muka sama gosok gigi. Tapi bajunya baru kok. Aku buru-buru pergi setelah Arga membangunkan."
"Sudah makan?"
"Nggak sempat."
"Aku lapar."
"Masih ada buku yang mau kamu beli. Biar aku bayar dulu terus kita makan. Kamu boleh pilih tempatnya."
Aku menatap Rakha dalam-dalam. Beginikah bila mencintai seseorang? Selama ini aku mengira mampu mempertahankan logika dan berpikir bersikap dewasa sesuatu yang mudah ketika terikat dalam suatu hubungan kasih. Pengalaman orang-orang terdekat menjadi teori tak tertulis. Rupanya praktek di lapangan ternyata lebih menyulitkan. Hati tidak bisa didikte.
"Nggak perlu. Aku bukan ingin memanfaatkan kesempatan dan memintamu mengeluarkan uang."
Tatapan Rakha meredup. Disentuhnya puncak kepalaku dengan hati-hati. "Aku nggak merasa sedang dimanfaatkan. Kalau aku menawari ya karena masih sanggup bukannya mengada-ada demi menarik simpati atau terpaksa. Anggap saja ini sebagai hadiah karena telah mengacaukan rencana kita."
Kusodorkan dua buah novel yang kupilih padanya. "Lain kali jangan memberiku janji palsu kalau nggak menyanggupinya.
Sebelah tangan Rakha merangkul pinggangku. Kelegaannya tidak disembunyikan. Matanya kembali berbinar cerah. "Aku akan berusaha agar kejadian seperti ini nggak terulang." Dia menghela napas pelan. "Asal kamu tahu, baru kali ini ada perempuan yang memberiku jari tengah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing A Broken Heart
Roman d'amourLepas dari bayangan cinta tak berbalas saat berseragam putih abu membuat Aira merasa hidupnya mulai berjalan di arah yang benar ketika pindah ke Bandung. Dia tidak pernah mengira kalau takdir berkata lain. Arga yang pernah bahkan masih menghadirkan...