"Kamu sepertinya sibuk sekali belakangan ini, Ai." Pertanyaan Arga mengembalikan kesadaran setelah tanpa sadar sepanjang perjalanan merasa bersalah karena meninggalkan Rakha di tengah hujan lebat.
"Sibuk adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan setiap mahasiswa."
Arga tertawa kecil. Ia melirik sekilas lalu menatap jalanan di depannya. "Benar juga tapi aku nggak heran. Kamu memang rajin sejak dulu."
"Kamu sedang menyindirku? Peringkatku nggak lebih bagus dari kamu maupun Rakha. Saudaramu itu bahkan pernah dapat rangking pertama padahal pekerjaannya hanya bermain saja sementara aku harus mengorbankan waktu bersenang-senang demi nilai standar."
"Sebenarnya Rakha juga suka belajar kok. Dia juga sering mengajari materi yang sulit kupahami. Dia tahu kapan harus serius cuma kesan bandel terlanjur melekat sampai orang-orang lebih mudah menilai sisi buruknya."
Bibirku mengerucut. Jawaban Arga seratus persen tepat. Aku termasuk satu di antara mereka yang menilai Rakha hanya dari luar. "Memangnya dia nggak pengin ya mengubah image jadi sedikit baik gitu?"
"Sulit. Rakha nggak suka diatur apalagi kalau menyangkut soal penampilan atau privasi. Meski begitu dia cukup bertanggungjawab setiap mengambil keputusan. Dia hanya perlu mempunyai pasangan yang tepat."
"Kamu tadi bilang kalau dia nggak suka diatur. Rasanya sia-sia jika berharap sifat plaboy-nya berubah hanya karena perempuan. Well, memang dia sedikit gan... " Mulutku setengah tak rela harus memuji laki-laki super menyebalkan itu. "Ganteng sih, ya lumayanlah sedikit di atas rata-rata tapi penampilan fisik nggak selalu jadi poin utama daya tarik seseorang. Aku heran kenapa ada banyak perempuan yang mudah terperosok semakin dalam hanya karena gombalan picisan laki-laki seperti dia."
"Jadi menurutmu wajahku juga sedikit di atas rata-rata?" Arga kembali terkekeh.
Senyumanku berubah masam. Aku lupa kalau laki-laki disampingku secara fisik memiliki kemiripan dengan Rakha. "Sedikit di atas rata-rata bukan berarti buruk, kan? Buktinya kamu bisa mendapatkan perempuan secantik Nadira," dalihku membela diri.
"Tenang saja, aku cuma bercanda kok tadi." Arga masih tersenyum. "Kamu tahu peribahasa, tak kenal maka tak sayang?"
"Iya, terus?"
"Kenapa kamu nggak coba lebih akrab sama Rakha? Siapa tahu kamu jadi paham kenapa banyak perempuan rela mengantri jadi pacarnya."
Kepalaku menggeleng cepat. "Itu permintaan paling mustahil. Hubungan kami akan menjadi yang paling cepat berakhir. Karam sebelum berlabuh."
Arga menanggapi jawabanku dengan tawa. Reaksinya bukan seperti yang kuharapkan. Pembicaraan kami membuatku merasa jadi orang bodoh. Dalam pandangan Arga, aku hanya seorang teman.
"Ada yang lucu?" tanyaku jengah.
"Aku bukannya minta kalian pacaran, maksudku kenapa kamu nggak mencoba mendekatkan diri sebagai teman dekat."
Rona merah bersemu di pipiku. Ini benar-benar memalukan. Aku terlalu ge er dan menyimpulkan pertanyaan tanpa menelaah lebih dulu. "Seratus meter adalah jarak paling ideal supaya kami nggak saling mencakar. Kata sahabat terlalu berlebihan, teman selewat lebih cocok. Jadi lupakan idemu, aku sama sekali nggak tertarik."
"Kupikir hubungan kalian sudah membaik."
"Kita sudah sampai," potongku saat mobil yang Arga kendarai berhenti di samping pagar rumahnya. Kepalaku pusing mendengar nama Rakha disebut terus menerus.
Rakha membuka pintu pagar rumahku ketika aku dan Arga turun dari mobil. Dia rupanya sudah lebih dulu sampai. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Perasaan tidak enak hati muncul kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing A Broken Heart
RomanceLepas dari bayangan cinta tak berbalas saat berseragam putih abu membuat Aira merasa hidupnya mulai berjalan di arah yang benar ketika pindah ke Bandung. Dia tidak pernah mengira kalau takdir berkata lain. Arga yang pernah bahkan masih menghadirkan...