Keheningan menyelimuti sepanjang jalan pulang. Rakha memokuskan perhatian pada jalanan sementara kepalaku bersandar di jendela. Kelap-kelip cahaya di luar tidak semenarik seperti saat kami berangkat. Riak kemarahan membuncah, tumpah ruah, menutup sebagian akal sehat dan mengedepankan perasaan. Situasi kami berdua membuat perjalanan terasa lebih lama dari biasanya.
Kami saling terdiam sejak keluar dari kafe. Bagiku itu lebih baik daripada memulai pertanyaan yang terkesan basa-basi. Rakha pasti menyadari dampak pertemuan tadi memengaruhi pemikiran perempuan di sampingnya. Aku berusaha keras tidak mengeluarkan umpatan atau sekadar decakan kesal. Sebisa mungkin mengendurkan ego dan merapikan benang masalah yang terlanjur membelit tak beraturan.
Jauh di dasar hati aku memahami ada bagian kehidupan yang tidak bisa diubah. Rakha dan Indah memiliki kisah sendiri di masa lalu. Sejauh apapun hubungan mereka seharusnya tidak perlu mengusik kebahagiaanku saat ini. Kenyataannya pada waktu itu hatiku memang bukan untuknya. Sementara perempuan yang dekat dengan Rakha tidak terhitung jumlahnya. Wajar saja jika dia mempunyai banyak pengalaman termasuk soal bermesraan.
Ingatan menarik kesadaranku saat kami masih berada di kafe. Senyum puas Indah tersungging lebar. Bisa kubayangkan dagunya semakin terangkat penuh kepuasaan andai mengetahui imbas perkataannya saat ini. Dia mengeluarkan satu kenangan bersama Rakha dan aku langsung terpengaruh.
Aku mencoba tak memedulikan semua prasangka tapi rasanya sulit. Berciuman termasuk salah satu bagian kecil kemesraan pernah dilakukan sepasang kekasih apalagi ketika masih berusia remaja, di mana rasa ingin tahu begitu mendominasi daripada menomorsatukan akal sehat. Semua bisa kupahami tetapi tidur dengan seseorang jauh diluar batasan yang ada dalam kepala. Imajinasi bermunculan, adegan Rakha dan Indah saat bermesraan. Bayangan keduanya tanpa busana hampir membuatku lepas kendali. Dan sikap diam Rakha seolah membenarkan perkataan Indah.
Selama pertemuan tadi keberadaan Arga dan Nadira membuatku sedikit tenang. Indah piawai menciptakan suasana yang dia inginkan. Dia jelas tidak menyukai Nadira. Ketika harapannya hampir pupus karena reaksi tak acuh Nadira, targetnya beralih padaku. Sialnya, aku termakan umpannya.
Bagaimana tidak, ucapannya di telepon tadi sangat mengejutkan. Yang lebih menyakitkan Rakha tidak berusaha menyanggah atau memberi penyangkalan kalau perkataan Indah hanyalah kebohongan setelah mengetahui pembicaraan kami. Dia bergeming di tempatnya, fokus pada jalanan sementara aku mati-matian duduk sambil terus berdoa agar tidak melakukan tindakan bodoh. Kedatangan Indah membuka sisi gelap Rakha yang tidak kuketahui. Walaupun bibirku bisa berkata semua baik-baik saja, perasaanku terlanjur terluka.
Setelah melewati waktu yang terasa sangat panjang selama perjalanan pulang, kami akhirnya tiba di rumah. Aku bereaksi senormal mungkin, menyembunyikan perasaan sebenarnya agar keluargaku tidak curiga kami sedang perang dingin. Menjalin hubungan dengan seseorang ternyata tidak semudah yang terlihat. Apalagi kami saling bertetangga. Logika dan hati dipertaruhkan bukan hanya ketika beromantis ria tetapi saat menghadapi masalah.
Rakha mengikuti dari belakang tanpa diminta. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menemui orang tuaku saat mengantar pulang. Sifat seperti ini yang orang tuaku sukai darinya tapi sekarang aku berharap bisa mengusirnya.
Orang tuaku menyambut kami. Mereka kebetulan sedang berada di ruang tamu. Aku berdiri di samping Rakha, menahan desakan kuat segera ke kamar.
Senyum kami berdua menghilang ketika akhirnya aku mengantar Rakha hingga pagar demi alasan kesopanan di mata Ibu. Tatapan lelaki itu sangat datar, nyaris tanpa reaksi berarti. Ia hanya melirik beberapa detik sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam mobil. Mulutku gatal oleh makian. Terbersit keinginan mencacinya habis-habisan namun pemikiran itu terpendam dalam kepala. Aku masih punya akal sehat untuk tidak membuat kegaduhan di kesunyian malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixing A Broken Heart
Roman d'amourLepas dari bayangan cinta tak berbalas saat berseragam putih abu membuat Aira merasa hidupnya mulai berjalan di arah yang benar ketika pindah ke Bandung. Dia tidak pernah mengira kalau takdir berkata lain. Arga yang pernah bahkan masih menghadirkan...