part 1 (Cry)

2.9K 46 3
                                    

Pajero melaju di jalanan bebas hambatan dengan cepat. Lampu jalanan nampak remang-remang di sisi jalan. Mobil pribadi maupun bus tampak berseliweran. Sebuah panggilan masuk ke ponsel yang tergeletak di dashboard mobil.

Cliphone yang sedari tadi terpasang di telinganya di tekan. Wajahnya berubah memerah kala mendengar ucapan orang yang meneleponnya. Suara tembakan terdengar mengalihkan fokusnya. Dua buah mobil menghimpit mobilnya hingga menimbulkan gesekan antar mobil tersebut.

Kaca mobil sebelah turun. Seorang di balik kemudi menodongkan senjatanya pada kaca mobil Devian yang tertutup kemudian menarik pelatuk pistol. Peluru meluncur dengan cepat.

Devian yang ada di dalamnya tidak tinggal diam. Dia dengan cepat memundurkan mobilnya menghindari tembakan. Kaca mobil lawannya pecah. Mobil tersebut terlihat oleh kemudian menabrak pembatas jalan.

Devian yang melihat tontonan gratis itu tersenyum miring. Memutar balik, dan meluncur cepat menuju Jakarta kembali. Otaknya hanya terpatri pada nasib sang istri dan anak yang ada di dalam kandungannya.

Beberapa kali dia menghubungi sang istri namun, ponselnya tidak aktif. Umpatan bahkan cacian Devian lontarkan pada anak buah Araya yang telah keji melakukan hal itu pada istrinya. Air matanya jatuh begitu saja. Frustrasi bahkan dilema dia rasakan.

Karena pekerjaan yang dia tekuni malah membawa petaka para rumah tangganya. Rumah diserang para anak buah Araya dan menghabisi seisi rumah. Bahkan termasuk ...

DOOORRR!!!

JEDUAAARRR!!

Ban mobilnya pecah oleh tembakan seseorang hingga membuat laju mobil menjadi oleng bergerak tak tentu arah. Di dalam kabin, Devian sekuat tenaga mengontrol laju kendaraanya namun tak bisa. Mobil berputar-putar kemudian menabrak mobil lain yang melintas dan terbalik. Percikan api mulai terlihat di bagian bawah mesih. Bau tak mengenakan mulai tercium.

Darah terlihat mengucur dari pelipis maupun bibir Devian. Matanya mengerjab menjernihkan penglihatan.

"Alexa ...," desisnya.

Wajah wanita yang baru setahun kurang dia nikahi terus terbayang di benaknya. Pusing mulai mendera. Kepalanya mulai berputar-putar hingga kelopak matanya mulai terpejam.

"Ini bukan saatnya kamu mati, Dev."

Entah suara dari mana membuat kelopak matanya terbuka lebar. Devian mulai tersadar dari posisinya sekarang. Dia berusaha melepaskan diri. Posisinya sungguh tak terduga. Mobil terbalik hingga membuatnya kesusahan melepaskan diri.

Mobil yang sedari tadi mengikuti mobil Devian terhenti. Empat orang berjas hitam keluar dari dalam mobil. Matanya hanya tertuju pada mobil di depan mereka. Ledakan besar membuat senyum merekah di bibir mereka masing-masing. Salah seorang dari mereka mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mulai menghubungi seseorang.

"Misi selesai. Dia sudah mati," ucapnya. Sambungan telepon terputus. Ponsel dimasukan kembali ke dalam saku celananya.

"Kita pergi sekarang!" Mereka berempat pergi meninggalkan tempat kejadian.

***

Matahari mulai meninggi di angkasa. Para petani terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Seorang petani terlihat melintasi area persawahan dengan cangkul di bahunya. Sapaan maupun teguran orang-orang berikan padanya.

Langkahnya terhenti kala matanya menangkap seorang pria terkapar tak berdaya di sawahnya. Cangkul yang dia bawa, di katakan di tanah. Dengan perasaan was-was, orang itu mendekat. Tangannya terulur menyentuh pundak pria itu dan menarik tubuhnya hingga terlentang.

Darah terlihat dari pelipis maupun bibirnya. Orang itu meraih tangan pria tersebut lalu mengecek detak nadinya. Bangkit, dan berteriak.

"TOLONG ... ADA MAYATTT!!!"

Orang-orang yang berkutat dengan sawah mereka masing-masing langsung berhamburan menuju tempat kejadian. Beberapa orang wanita berbisik mengenai siapa gerangan orang tersebut.

"Siapa dia, Dang?" tanya salah satu petani. "Gak tau! Aku juga kaget liat dia di sawahku."

"Sudah mati apa belum?"

"Belum. Sebaiknya kita bawa dia ke klinik terdekat dari sini." Semua orang mengangguk.

Para petani tersebut mengangkat tubuh pria tersebut dan membawanya ke tempat tujuan. Jarak yang ditempuh untuk mencapai klinik sekitar 1 jam dari lokasi. Beberapa orang kebingungan harus dengan apa mereka membawa tubuh pria itu dengan menggunakan apa. Sedangkan tidak ada angkutan umum di jalur tol.

Beberapa kali warga meminta salah satu kendaraan untuk berhenti namun, mereka tidak meningadahkan hal tersebut. Beberapa kali mereka berusaha namun, sia-sia belaka. Ada pula pengendara mobil pribadi dengan teganya membuang botol air mineral ke arah mereka hingga mengenai salah satu warga.

"Wong edan! Guang sampah sembarangan! Emang dalan iki gone bapakmu, opo (Orang gila! Buang sampah sembarangan! Emang jalan ini punya bapakmu, apa)?" umat salah satu warga.

Sebuah mobil bus melaju menuju arah mereka. Di dalam kabin mobil, seorang. wanita berhijab mengerutkan keningnya melihat kerumunan. Mobil berhenti. Sepasang kaki berbalut hils berukuran sedang turun dari dalam mobil dan melangkah mendekat.

"Ada apa ini, Bapak-bapak?" tanyanya. Warga yang kebingungan menoleh kearahnya.

"Eh, Dokter Sisilia. Pas banget! Ini ada orang yang tergeletak di sawah saya. Saya bingung dari tadi mau cari tumpangan gak ada yang mau," jelas pak Dadang.

Dokter Sisilia beringsut mendekat. Tangan bersihnya mulai mengecek denyut nadi pria tersebut kemudian bangkit.

"Bawa dia masuk ke mobil saya, Pak. Detak jantungnya mulai melemah." Warga mengangguk dan membopong tubuh pria malang itu ke dalam mobil.

Setelah berpamit, mobil yang dikendarai dokter Sisilia melaju menembus jalan tol.

***

Di sebuah rumah bergaya klasik, bendera kuning nampak terpasang di setiap pepohonan maupun depan gerbang. Para pelayat yang didominasi warga maupun pejabat eksekutif terlihat memasuki rumah tersebut. Mobil-mobil mewah memadati halaman. Tangis maupun air mata tak terlihat dari para keluarga. Kumandang ayat suci Al-Quran menggema dari pengeras suara.

Jasad terbaring dengan kain kafan yang membungkus tubuh. Wajah mereka berdua ditutup kain bermotif bunga. Seorang wanita berpakaian hitam duduk manis meratapi nasib menantunya yang tak bernyawa.

Menangis tidak akan membuat mereka hidup kembali seperti sedia kala. Walau, sebenarnya dia enggan melakukan hal tersebut karena dia sangat tidak suka dengan kehadiran sang menantu di hidupan anaknya. Namun, dia masih mentolerir karena keluarga besar menantunya berada di sana.

Wanita cantik yang biasa dipanggil Mommy Adera membungkukkan tubuhnya dan berbisik pada jasad menantunya. "Saya lebih suka melihatmu seperti ini  ketimbang harus melihatmu bersama terus dengan anakku, Devian."

Segerombolan pria berpakaian resmi masuk dan bersalaman kepada keluarga yang ditinggalkan. "Saya turut berduka cita atas berpulangnya menantumu, Wijaya," ucapnya dengan senyuman.

Pria yang dipanggil Wijaya tersebut menjabat tangan orang yang paling dibencinya dengan meremas kuat-kuat tangannya.

"Saya tidak butuh ucapan bela sungkawa darimu, Araya. Saya tau, kau dalang dari semua ini!"

Mereka saling melepaskan jabatan tangannya masing-masing. Dengan acuh, Araya berkata, "Kalau iya, kenapa? Anggap saja itu hadiah atas semua hal yang Anda lakukan padaku." Setelah mengatakan hal itu dia melangkah.

"Oh, iya, satu lagi. Saya masih ada satu hadiah lagi untukmu. Setelah memakamkan menantumu, sebaiknya kau siapkan pemakaman untuk anak kesayanganmu," ucapnya dengan membalikan badan.

B E R S A M B U N G

TAKDIR CINTA SANG MAFIA KEJAM   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang