"... sebagai dokter spesialis anak."
Ucapan Revan atau Devian empat hari yang lalu membuat dokter Sisilia pusing malam itu. Seorang dokter naik travel? Itu tidak mungkin! Bukanya seorang dokter diberi fasilitas seperti mobil dan lainnya? Mengapa dia tidak? Pikirnya waktu itu.
Beberapa kemungkinan bisa terjadi. Yang pertama, dia orang yang tergolong orang yang tidak membutuhkan fasilitas tersebut. Spekulasi yang kedua, dia sudah memilikinya namun memilih tidak menerimanya.
"Mengapa aku jadi memikirkannya? Oh, Tuhan ... ini lebih dasyat ketimbang virus corona! Apa sekepo itu aku hingga memikirkan orang yang tak kukenal?" Beberapa kali dokter Sisilia memukuli kepalanya hingga tak menyadari seorang pria menatapnya dengan kening mengkerut.
"Anda kenapa, dokter Sisilia?" tanya seorang pria bernama Bryan padanya.
Sontak ia menoleh kearahnya. Tangan yang semula memukul kepalanya diturunkan.
"Enggak papa! Cuma biar otak saya bekerja dengan baik," elaknya.
Dokter Bryan berjalan di sisinya kemudian memandang sejurus. Tanaman hias tumbuh di sekitar rumah dinas yang ditempati para tim kedokteran, termasuk mereka berdua.
"Anda berbohong! Saya tau, Anda memikirkan sesuatu. Bukan begitu, dokter Sisilia?" tanyanya dengan menoleh kearah wanita di sampingnya.
Suara tawa menggema mengisi heningnya malam. Bryan terus mengamati Sisilia tanpa henti hingga kemudian mengalihkan pandangnya pada jalanan yang terlihat sepi. Bryan tau betul tidak-tanduk wanita di sampingnya jika berbohong maupun jujur sekali pun.
"Anda sepertinya terbawa suasan rumah sakit, Dok Bryan."
"Ini bukan soal saya terbawa suasana rumah sakit atau apa, dokter Sisilia. Saya sudah mengenal Anda jauh-jauh hari, dokter Sisilia. Saya tidak bodoh bila tidak bisa membedakan Anda berbohong atau tidak. Buat apa ijasah kedokteran yang saya punya bila saya tidak bisa membaca gerak-gerik orang dari gesture tubuhnya!" tangkis dokter Bryan.
Sisilia hanya bisa bergeming mendapati kebohongannya terbongkar dengan mudah oleh rekan dokternya sendiri. Teman semasa kuliahnya selama ini di Surabaya.
Helaan napas dihembuskan olehnya. Segurat senyum merekah di bibirnya ketika memandang sejurus ke depan. Dua orang linmas terlihat di jalan depan rumah dinas mereka. Sapaan mereka berikan pada kedua dokter yang tengah berdiri di depan teras dengan ramah kemudian melangkah pergi.
"Sepertinya saya payah dalam hal menyembunyikan masalah," ucapnya dengan santai. "Masalah apa kalau saya boleh tau, Dokter Sisilia?"
Ia mulai menceritakan semua kenjanggal yang dia pikirkan sedari tadi padanya. Dari awal kejadian sampai pengakuan Devian bahwa dirinya adalah seorang dokter.
"Sepertinya instingmu cukup lumayan, Dok. Saya juga merasa aneh ketika mendengar cerita Anda. Sebaiknya Anda mencari informasi mengenai dia besok pagi." Dokter Sisilia mengangguk kemudian melangkah menuju ke dalam.
Pagi harinya penyelidikan mulai dia lakukan. Sengaja dirinya berangkat pagi hanya untuk mencari informasi tentang siapa sebenarnya Devian. Lorong klinik terlihat sepi. Beberapa suster terlihat baru saja datang. Petugas kebersihan terlihat sibuk dengan kain pel dan sapu di sampingnya.
Ruangan Devian menjadi tujuan utamanya. Gerendel pintu ditekan kemudian didorong ke dalam. Nampak diatas ranjang rumah sakit Devian tengah terlelap. Melangkah mendekat kearah jendela, gorden yang menutupi pemandangan di luar perlahan mulai di singkap.
"Dokter Sisilia."
Sebuah suara mengagetkannya hingga membuat wanita berumur 25 Tahun tersebut menoleh. Segurat senyum merekah di bibirnya melihat sang pasien sudah bangun dari mimpi indahnya. Mendekat, tatapannya sama sekali tidak berhenti menatap wajah Devian yang tampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA SANG MAFIA KEJAM
Aksi"Bagiku sebuah pernikahan hanyalah sekali. Bukan kedua kalinya!" _Devian Giovanno Alvero_