Hari menjelang sore. Matahari juga belum mau membenamkan diri. Bias cahayanya saja yang masih terlihat di puncak gunung sebelah barat. Di kaki sebuah bukit, tampak sesosok tubuh berompi putih berdiri tegap. Di balik punggungnya tersembul sebilah pedang. Melihat dari ciri-cirinya, sosok tubuh itu tak lain dari Rangga, atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu Rangga tengah memperhatikan serombongan bocah berusia sekitar enam dan tujuh tahun. Mereka mendatangi seorang bocah lain yang tengah memancing di tepi sungai. Dalam pikiran Pendekar Rajawali Sakti, pastilah mereka sesama kawan. Tapi, hatinya menjadi tercekat begitu melihat salah seorang bocah bertubuh besar, langsung menendang bocah yang tengah memancing itu hingga tercebur sungai. Kailnya pun sampai ikut terlempar ke tepi sungai. Beruntung, bocah itu pandai berenang dan segera merayap ke tepi. Seluruh bajunya tampak basah kuyup.
"Gondo, kenapa kau menendangku? Bukankah aku tak bersalah padamu?" tanya bocah berwajah manis itu dengan tatapan sayu.
"Aku bebas berbuat apa saja padamu! Kau anak haram dan tak layak hidup!" bentak Gondo.
"Pergi kau dari sini! Kami muak melihatmu!" sahut bocah yang lainnya. Bocah itu memungut kailnya dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
Namun salah seorang di antara mereka merasa tak puas. Didatanginya si bocah, dan dengan sekuat tenaga punggung bocah itu dipukul hingga tersungkur.
"Sudah. Bunuh saja dia sekalian!" teriak Gondo.
"Mampusin!" timpal bocah lain sambil menghampiri bocah berwajah manis itu. Tindakannya diikuti kawan yang lain, dan beramai-ramai mereka memukulinya.
"Hentikan!" bentak Rangga keras sambil menghampiri mereka.
Ketujuh bocah itu serentak berhenti memukul. Mereka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tak senang. Rangga tak mempedulikan sikap yang ditunjukkan bocah-bocah itu. Dihampirinya bocah yang malang itu, dan membangunkannya. Kemudian dipandanginya ketujuh bocah itu satu persatu.
"Kenapa kalian memukulnya? Apakah dia telah berbuat jahat pada kalian?!"
"Huh!" Gondo menunjukkan muka sinis. "Dia anak haram. Tak boleh hidup di desa kami!" sahut salah seorang bocah.
"Ya. Dia keturunan orang jahat, dan membawa sial bagi desa kami," timpal yang lainnya.
"Dengarlah baik-baik! Kalian sesama manusia, tak ada yang hina dan mulia dari yang lainnya. Jika ingin menjadi orang baik, tunjukkanlah sikap yang baik. Sebaliknya yang kalian lakukan tadi, apakah itu pantas disebut anak baik? Kalian memukul orang yang tak bersalah, dan itu jelas perbuatan tidak terpuji."
"Paman, jangan membela orang jahat! Kalau tidak, orang tua Gondo akan memusuhi Paman!" sahut salah seorang bocah mengancam.
"Siapa yang mengatakan anak ini jahat?"
"Semua orang di desa ini!" sahut Gondo masih menunjukkan wajah tak bersahabat.
"Kalau begitu, siapa kepala desa di sini?"
"Ki Sarpa. Tapi meskipun Paman minta pertolongan Ki Sarpa, ayahnya Gondo masih lebih berkuasa daripada Ki Sarpa. Lebih baik Paman membiarkannya menerima hajaran dari kami!" sahut bocah bertubuh kurus, geram.
"Oh, begitu? Nah, sekarang katakan pada bapaknya Gondo. Paman melarang kalian menyakiti anak ini, kecuali kalau memang dia betul-betul bersalah dan menyakiti kalian," kata Rangga sambil tersenyum kecil.
"Paman pasti akan dihajar bapaknya Gondo!" sahut bocah bertubuh kerempeng, kesal.
"Mari kita pulang! Akan kuadukan pada bapak, biar dihajar sekalian!" ajak Gondo pada kawan-kawannya.
Ketujuh bocah itu melirik sesaat pada Rangga, sebelum berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu.
"Sobat kecil, sekarang kau sudah aman. Siapa namamu? Namaku Rangga."
"Terima kasih atas pertolongan Paman. Namaku Samiaji."
"Hm, Samiaji.... Seringkah kau menerima perlakuan seperti tadi dari mereka?"
Samiaji terdiam. Dia duduk tenang, dan kedua kakinya terjuntai ke dalam air sungai sambil sesekali mempermainkannya. Rangga mengikuti perbuatan bocah itu dan duduk bersebelahan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Samiaji..."
Bocah itu masih terdiam beberapa saat. Kemudian, terdengar suara halus dari bibirnya yang mungil. "Ya...."
"Hm.... Kenapa kau diam saja dan tak berusaha melawan?"
"Ibu dan nenek melarangku."
"Ibu dan nenek? Bapakmu ke mana?"
Samiaji tak menjawab. Rangga jadi teringat saat bocah-bocah tadi mengejek Samiaji. Hm, sudah pasti disebabkan soal itu. Rangga tersenyum dan menepuk-nepuk pundak bocah itu, sambil mengambil kail dari tangannya.
"Paman lihat tadi kau memancing. Paman pinjam sebentar. Mudah-mudahan ikan-ikan di sungai ini berbaik hati...."
Rangga segera memusatkan pikiran sambil mengerahkan ilmu 'Tatar Netra' ke dalam air sungai. Seketika terlihat jelas ikan-ikan yang berenang hilir-mudik.
"Hup...! Kena!" katanya berseru.
Samiaji yang sudah tidak berniat memancing, kembali tertarik perhatiannya. Dilihatnya, Pendekar Rajawali Sakti memancing asal-asalan saja. Melempar mata kail ke dalam sungai, tapi secepat itu pula ditarik kembali. Namun, terlihat seekor ikan sebesar lengannya menggelepar-gelepar di mata kail.
"Kena!" teriak Rangga lagi, sambil memamerkan ikan di mata kailnya. Samiaji tertawa geli.
"Kau mau coba?"
"Mau!" sahut bocah itu cepat.
Rangga memberikan kail itu, tapi dia sendiri ikut memegangi. Samiaji terkejut. Hentakan tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan tak bisa diikuti pandangan matanya, ketika tiba-tiba seekor ikan tersangkut di mata kail. Bocah itu tak mempedulikan lagi kejadian sebelumnya. Dia cukup senang berhasil menangkap ikan dengan cara yang tak pernah dilakukannya. Yaitu, tanpa meletakkan umpan di mata kail. Beberapa saat saja, telah terkumpul dua puluh ekor lebih ikan-ikan besar. Wajah bocah itu pun berseri-seri kegirangan.
"Nah, cukuplah hari ini kita memancing. Kasihan, kalau dipancing terus jumlahnya akan cepat habis. Kau boleh pulang, Samiaji!"
"Paman mau ke mana?" tanya anak itu terkejut
"Paman harus melanjutkan perjalanan...."
"Paman, mainlah ke rumahku. Ibu dan nenek pasti senang karena Paman telah membantu menangkap ikan-ikan ini."
Rangga tersenyum. "Kau boleh membanggakan diri di depan mereka kalau ikan-ikan itu hasil tangkapanmu sendiri."
"Itu berdusta, Paman. Nenek dan ibu melarangku berdusta. Katanya, perbuatan itu hanya dilakukan oleh anak-anak jahat. Ayolah, Paman. Kalau aku pulang membawa ikan sebanyak ini, mereka tentu tak akan percaya dan pasti menuduhku mencuri," desak bocah itu terus-menerus.
Rangga berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya menyetujui ajakan bocah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
86. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Membara
ActionSerial ke 86. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.