BAGIAN 2

469 22 2
                                    

Juragan Bonteng sangat marah mendengar laporan orang kepercayaannya. Perutnya yang buncit berguncang-guncang, ketika tubuhnya bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Sepasang matanya yang sipit bersorot tajam. Dan, senyum yang selalu menggambarkan keculasan hatinya, kini hilang tertutup kemarahan yang meluap-luap bercampur geram. Cagak Layung dan keempat kawannya diam mematung. Mereka duduk bersila di lantai, dan merundukkan kepala dalam-dalam.
"Percuma! Menghadapi seorang pemuda ingusan saja kalian tak mampu! Apa kerja kalian di sini cuma makan tidur saja?!"
"Dia bukan orang sembarangan, Juragan...," bantah Cagak Layung, pelan.
"Aku tak peduli! Anakku dihajar orang dan kalian tak mampu berbuat apa-apa!"
Cagak Layung terdiam. Begitu juga keempat kawannya. Sementara, Juragan Bonteng kembali duduk di kursi sambil menghela napasnya yang terasa sesak.
"Panggil Ki Sempur Walang! Cepaaat..!"
"Ba... baik, Juragan!" sahut Cagak Layung.
Bersama keempat kawannya, Cagak Layung berangkat malam itu juga ke rumah Ki Sempur Walang, laki-laki tua yang selama ini mengabdi pada Juragan Bonteng. Ki Sempur Walang bertubuh besar. Sepasang bola matanya selalu tampak merah. Meski usianya sudah lebih dari lima puluh tahun, namun kerjanya setiap hari hanya mabuk-mabukan, dan bersenang-senang dengan perempuan cantik yang ada di desa ini.
Kebanyakan di antara mereka hanya terpaksa memenuhi keinginannya. Ki Sempur Walang memang amat ditakuti di desa ini. Tapi, sebagian lagi terpaksa meladeni karena menginginkan uang orang tua itu. Malam ini, terlihat Ki Sempur Walang berada di rumah Nyi Kembang Sari, Janda cantik yang ditinggal mati suaminya beberapa bulan lalu.
"Kurang ajar! Malam-malam begini mengganggu kesenangan orang!" bentak Ki Sempur Walang dengan wajah berang, ketika terdengar ketukan di pintu, diikuti suara panggilan untuknya.
Ki Sempur Walang melepaskan pelukannya pada janda cantik bertubuh sintal itu, dan melangkah ke depan. Sepasang matanya melotot, dan wajahnya langsung terlihat murka ketika melihat siapa yang datang.
"Cagak Layung?! Ada apa malam-malam begini menggangguku? Tak suka kalau aku sedang bersenang-senang, heh?!"
"Eh! Maaf, Ki. Kami tak bermaksud mengganggu, tapi ini perintah Juragan Bonteng," jawab Cagak Layung terbata-bata. Cagak Layung memang sangat takut kepada laki-laki tua itu. Dulu, Ki Sempur Walang pernah kesal padanya dan langsung menghajarnya habis-habisan.
"Mau apa dia?!"
"Ti... tidak tahu, Ki. Tapi Juragan Bonteng memanggil Ki Sempur Walang malam ini juga...."
"Sial! Tidak tahu orang lagi senang. Katakan padanya, apa pun urusannya, besok pagi saja diselesaikan. Malam ini aku tak mau diganggu!"
"Tapi, Ki..."
"Sial! He, Cagak Layung! Kau berani membantahku?!"
Cagak Layung menelan ludah. Dia serba salah. Memaksa orang tua ini, sama saja cari penyakit, tapi, kembali kepada Juragan Bonteng tanpa Ki Sempur Walang, juga lebih susah lagi. Saat itu Nyi Kembang Sari keluar. Tubuhnya yang padat berisi hanya terlilit kain panjang. Perempuan cantik itu memeluk Ki Sempur Walang, setelah melirik sesaat kelima orang yang masih mematung di depan pintu.
"Ada apa, Sayang...?" tanyanya mesra.
"Tak ada apa-apa, Manisku. Ayo kita kembali ke dalam," sahut Ki Sempur Walang sambil merangkul perempuan itu dan mengunci pintu dari dalam.
Cagak Layung dan keempat kawannya diam terpaku. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada pilihan lagi bagi mereka, selain kembali kepada Juragan Bonteng, dan melaporkan penolakan Ki Sempur Walang. Mereka sudah menduga akan mendapat caci-maki dan hardikan. Dugaan Cagak Layung dan teman-temannya ternyata tepat Juragan Bonteng tidak bisa menerima penolakan bawahannya.
"Sial! Brengsek! Ki Sempur Walang semakin berbuat semaunya belakangan ini!" maki Juragan Bonteng, setelah puas memaki kelima centengnya.
"Ju.... Juragan bermaksud menugaskan Ki Sempur mengurus pemuda itu?"
"Kunyuk sial kau, Cagak! Siapa lagi yang kuharapkan, kalau bukan dia?!" Cagak Layung menelan ludah.
"Sebaiknya bersabar dulu, Juragan. Saat ini tenaganya memang diharapkan. Besok pagi-pagi sekali, pemuda itu pasti telah dibereskannya...."
"Huh! Kalau saja kalian dapat kuandalkan, tentu aku tak perlu mengemis-ngemis padanya!"
Cagak Layung kembali terdiam.
"Kalian cuma kantong-kantong nasi tak berguna! Percuma saja aku menggaji kalian. Hanya membereskan satu cecunguk saja tak becus!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Juragan Bonteng segera menuju kamarnya. Tetapi, matanya tak dapat dipejamkan. Meskipun istri mudanya yang bahenol telah berusaha membujuk dan mencumbunya, Juragan Bonteng tetap tak bergeming. Ada satu hal yang sangat dicemaskannya sekarang.
Selama ini, tak ada seorang pun penduduk desa yang berani melawan. Termasuk kepala desa sendiri. Dia seperti raja kecil yang bisa mengatur penduduk seenaknya. Berbeda dengan Ki Sempur Walang yang suka perempuan dan tak mempedulikan apa pun, Juragan Bonteng lebih memikirkan pengaruh dan kekayaan. Dan pemuda itu, meski belum terlihat tindak lanjutnya, telah dianggap sebagai ancaman atas kekuasaannya di desa ini.

86. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam MembaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang