"Ehhh...," Rara Ningrum mengeluh pendek. Habislah riwayatnya, dibunuh lawan tak dikenal. Kedua matanya terpejam sambil memeluk Samiaji erat-erat. Namun sekian lama ditunggu, tidak juga terasa apa-apa di lehernya. Rara Ningrum memberanikan diri membuka kelopak mata. Di depannya, telah berdiri seorang gadis cantik yang tadi ikut membantu Rangga menghajar Ki Sempur Walang.
"Oh, kau rupanya. Maaf, kau mengagetkanku, Nisanak, terima kasih pertolonganmu tadi...,"
Rara Ningrum berusaha tersenyum dan mempersilakan tamunya masuk ke dalam.
"Tak perlu! Aku hanya ingin tahu, apakah kau istri pemuda itu?" tanya si gadis ketus.
"Pemuda? Pemuda yang mana?"
"Jangan berbelit-belit! Aku bisa membunuhmu saat ini juga!" bentak gadis berbaju hijau itu.
"Nisanak, kau boleh membunuh kami sekarang juga. Tapi aku tak mengerti apa yang kau maksud...."
"Sial! He, buka telingamu lebar-lebar! Pemuda berompi putih itu suamimu?!"
Rara Ningrum baru mengerti apa yang dimaksud "Dia bukan apa-apaku...," jawabnya perlahan.
"Hm, lalu bocah itu?" tunjuk si gadis kepada Samiaji.
"Ini anakku...."
"Kenapa pemuda itu berada di sini dan sangat mengkhawatirkan dirimu? Apakah suamimu sudah mati, dan sekarang kau mencoba merayunya?"
"Nisanak, kau begitu memperhatikan Rangga, apakah dia kawan dekatmu?" Rara Ningrum balik bertanya.
"Hm... itu bukan urusanmu!" sahut si gadis ketus, segera berlalu dari situ.
Gadis yang bernama Wulandari itu, memang murid Ki Palat Diga yang sejak tadi menguntit Rangga. Ketika Pendekar Rajawali Sakti telah membereskan lawannya, secepat itu pula ditinggalkannya Ki Sempur Walang yang nyaris meninggal dihajar habis-habisan. Dan, ketika Rangga serta Nyi Larasati meninggalkan tempat itu. Wulandari juga tahu mereka akan menuju tempat kediaman Juragan Bonteng.
Wulandari bersama gurunya masih baru di sini. Tak heran, kalau dirinya tidak mengenal Juragan Bonteng. Bermula dari rasa iseng menguntit Pendekar Rajawali Sakti, akhirnya malah merasa penasaran melihat kepandaian pemuda itu sangat tinggi dan luar biasa. Bahkan, dirinya tak yakin mampu mengimbangi pemuda itu. Tadinya Wulandari berniat mengikuti Rangga. Namun, dirasa perlu menemui gurunya terlebih dulu di tempat kediaman Ki Teguh Narada.
***"Silakan masuk! Jangan malu-malu...," ujar orang tua bertubuh kecil itu ketika membukakan pintu, dan melihat seorang gadis cantik diam mematung.
"Kau harus minta maaf, lalu memberi hormat, baru boleh masuk. Kalau membantah kau tak akan lepas dari hukumanku!" timpal gurunya dari dalam.
Meskipun merasa kesal, gadis yang ternyata Wulandari itu terpaksa melakukannya.
"Duduklah. Masalah apa lagi yang kau buat di luaran?" tanya Ki Palat Diga seperti tahu kelakuan muridnya.
"Aku tidak berbuat macam-macam!" sahut Wulandari ketus. Wajahnya terlihat masam.
"Hm, kalau tidak ada urusan penting, mana mungkin kau ke sini menemuiku...!"
Bola mata Wulandari melirik Ki Teguh Narada, kemudian kembali memandang gurunya.
"Ada berita penting yang kubawa. Tapi hanya akan kukatakan kalau kita berdua...."
"He, sobat baruku ini bisa dipercaya. Kau boleh mengatakan di hadapannya juga."
Wulandari ragu mengatakan niat hatinya. Tapi ketika gurunya mendesak, keluar juga ucapan perlahan dari mulutnya.
"Aku baru menyaksikan beberapa orang tokoh yang sedang bertarung. Satu dari mereka memiliki ilmu silat tinggi dan mampu mengalahkan lawannya...."
"Hm, apa yang ingin kau sampaikan sesungguhnya?" tanya Ki Palat Diga enggan berpanjang lebar.
Wulandari kesal melihat gurunya belum mengerti juga. "Bukankah Guru mengajakku berpetualang untuk mencari musuh besar itu?" tegurnya mengingatkan.
"Maksudmu si keparat itu berada di sini?!" Bola mata Ki Palat Diga terbelalak. Wajahnya berbias senang bercampur dendam.
Ki Teguh Narada pun merasa kesenangan. Keduanya menatap Wulandari dan berharap gadis itu meneruskan kata-katanya. Tapi, gadis yang baru menjelang dewasa itu malah terdiam melihat perubahan mereka. Hatinya bingung, dan bibirnya terkatup rapat. Bola matanya memperhatikan mereka bergantian.
"Ayo, katakan! Apakah yang kau maksud adalah si keparat Durgasana?!" bentak Ki Palat Diga tak sadar.
"Eh, ng... bukan. .."
"Lalu siapa?"
Wulandari segera menceritakan ciri-ciri Rangga lengkap dan jelas.
"Sial! Kukira kau membawa berita penting!" dengus Ki Palat Diga kesal.
"Tapi, justru ingin kusampaikan kecurigaanku bahwa dia muridnya!" dalih Wulandari tak mau kalah.
Ki Palat Diga dan Ki Teguh Narada saling berpandangan. Lalu, orang tua bermuka merah yang suka menenggak arak itu mengangguk-angguk.
"Bisa jadi...," ujarnya perlahan.
"Di mana pemuda itu sekarang?"
"Tadi mereka bertarung di depan sebuah rumah, di dalam desa sana. Tetapi, sekarang pemuda itu sedang mendatangi tempat Juragan Bonteng. Urusan itu pasti ada sangkut pautnya dengan Juragan Bonteng."
Ki Teguh Narada mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, aku mengenalnya. Pemilik rumah yang kutempati mengatakannya sebagai raja kecil di desa ini. Bahkan, ketika aku meminta izin membawa rombongan penghibur, justru kepala desa meminta izin dulu darinya," katanya menjelaskan.
"Hm, jadi kaukah ketua rombongan penghibur ini?" tanya Wulandari.
"Betul," sahut Ki Teguh Narada.
"Untuk apa kau ikut campur urusan kami?"
"Wulan, jaga kata-katamu!" bentak Ki Palat Diga.
Wulandari terdiam. Kepalanya ditundukkan. Ujung bajunya dipermainkan untuk menyembunyikan hati yang kesal.
"Kau tahu apa tentang orang tua ini? Dia bukan orang sembarangan, dan mempunyai urusan yang sama dengan gurumu?!"
"Sudahlah, Ki Palat. Jangan terlalu keras pada muridmu. Dia masih muda, dan jiwanya masih bergejolak. Wajar kalau kata-katanya selalu meledak-ledak," sahut Ki Teguh Narada menengahi.
Ki Palat Diga masih bersungut-sungut, memandangi murid satu-satunya dengan pandangan tajam. Arak di dalam gucinya berkali-kali ditenggak hingga mukanya terlihat semakin merah saja.
"Ki Palat, aku ingin tahu peristiwa apa yang terjadi di rumah Juragan Bonteng. Kalau pemuda itu sampai turun tangan, tentunya persoalan itu tidak sepele," duga Ki Teguh Narada.
"He, kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Palat Diga ikut bangkit.
"Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi kalau mencocokkan dengan keterangan muridmu, kuduga pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti? Hm, pernah kudengar namanya. Pemuda sakti itu banyak membunuh tokoh-tokoh sesat rimba persilatan. Tapi, untuk apa dirinya mengurusi tuan tanah seperti Juragan Bonteng?"
"Itulah yang ingin kuketahui. Persoalan ini tentu tidak sekadar mengurusi Juragan Bonteng. Apalagi, muridmu mengatakan pemuda itu telah bertarung dengan seorang tokoh berilmu tinggi...."
"Hm aku jadi semakin tertarik, ingin pergi ke tempat Juragan Bonteng. Mudah-mudahan aku dapat menemukan kakak seperguruanku yang celaka itu!" dengus Ki Palat Diga, dengan wajah memancarkan dendam membara.
"Itulah alasanku membawa rombongan kemari, sebab kudengar dirinya bersembunyi tak jauh dari tempat ini...."
"Marilah, Ki Teguh. Untuk apa membuang waktu?" ajak Ki Palat Diga.
Ki Tegu Narada mengikuti dari belakang. Dan, Wulandari semakin kesal saja karena tidak dipedulikan kedua orang tua itu.
"Guru, aku ikut!" ujarnya setengah berteriak.
"Tidak. Kau tinggal di sini saja, mengawasi anak buah Ki Teguh Narada. Bantu mereka jika ada persoalan!" pesan Ki Palat Diga, cepat dan tegas.
Tetapi ketika kedua orang tua itu menghilang dari pandangan, Wulandari mengendap-endap keluar sambil menutup pintu. Dan tubuhnya segera berkelebat cepat setelah bertanya-tanya pada seorang penonton letak kediaman Juragan Bonteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
86. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Membara
AcciónSerial ke 86. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.