BAGIAN 8

536 21 1
                                    

Begitu tiba di beranda depan, mereka melihat seorang laki-laki bertubuh kurus dan berbaju hitam. Rambutnya putih sebatas bahu, dan dibiarkan meriap. Sebelah kakinya terlihat timpang. Dan di bahunya terlihat tubuh seorang gadis yang tidak sadarkan diri. Sementara, keempat orang lawan si pemuda berompi putih itu tampak binasa. Hanya Giri Manuk yang masih kembang-kempis napasnya. Dari mulut dan hidungnya, terus-menerus mengeluarkan darah. Rupanya Giri Manuk menderita luka dalam yang cukup hebat. Giri Manuk segera bersujud pada laki-laki yang baru datang.
"Guru, oh..., syukurlah kau cepat datang, kalau tidak entah bagaimana nasibku...?!"
"Murid keparat! Kau membuatku malu saja. Menghadapi seorang bocah pentil saja tidak mampu. Lebih baik kau mampus!"
"Guru...? Aaa...!"
Dengan sadis kaki kanan orang tua bermata cekung itu terayun ke arah Giri Manuk, yang merupakan muridnya. Giri Manuk tidak mampu mengelak. Tendangan keras yang berisi tenaga dalam itu membuat kepalanya seperti mau copot dari pangkal. Rahangnya remuk ketika ujung kaki yang menghantam dada langsung bergerak terayun ke atas. Begitu menyentuh tanah, tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak.
"Hm, tidak heran muridnya berkelakuan iblis karena gurunya memang iblis."
Mendengar sindiran itu, si orang tua segera berpaling. Dan, dilihatnya seorang perempuan tua yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya memandang cukup lama, seperti mengenali Nyi Larasati.
"Tidak kenalkah kau padaku, Durgasana...?" tanya Nyi Larasati dingin.
"Siapa kau?! Siapa yang kau sebut Durgasana? Nama ku Ki Timpang, karena jalanku memang timpang," bantah orang tua itu.
"Hm, siapa pun namamu, kau tidak bisa mengelabuiku..."
"Hm, kaukah Larasati...?" tanya laki-laki yang menyebut dirinya Ki Timpang itu dengan suara di hidung.
"Bagus! Kau telah mengenalku sekarang. Kini, terimalah pembalasan atas apa yang kau lakukan dahulu." Setelah berkata demikian Nyi Larasati langsung menyerang laki-laki di hadapannya.
"Larasati, jangan main-main kau! Aku tak ingin membunuhmu!" teriak Ki Timpang bergerak menghindar.
Pada saat yang bersamaan melesat pula dua sosok bayangan dari beranda depan dan langsung menyerang Ki Timpang.
"Jahanam keparat! Terimalah kematianmu sekarang juga...!"
"Yeaaa...!"
Meski harus memanggul tubuh seorang gadis dalam pundaknya, tapi gerakan Ki Timpang sangat gesit dan lincah. Tubuhnya melayang bagai sehelai kapas tertiup angin, dan melesat jauh di dekat pintu gerbang depan. Sepasang matanya menatap tajam pada dua orang lawan yang baru datang itu.
"Hm rupanya kau Palat Diga. Dengan siapa kau ingin mencabut nyawaku saat ini?" dengus Ki Timpang.
"Ki Timpang, atau siapa pun namamu, masih ingatkah kau peristiwa dua puluh lima tahun lalu di Desa Anjar Kulon? Waktu itu kau merebut seorang gadis dari kekasihnya, padahal mereka saling mencintai. Kau merusaknya, kau menodainya, dan yang lebih sadis, kau membunuh gadis itu. Aku datang untuk menagih hutang nyawa gadis itu padamu!" geram Ki Teguh Narada cepat.
"Ya, ya... kuingat. Kau adalah kekasihnya Sekar Mayang. Hm, bagus! Kalau memang kalian telah bersiap untuk membunuhku, silakan saja kalau mampu!" sahut Ki Timpang sombong.
"Dasar murid murtad! Setelah mencuri kitab pusaka perguruan, kau malah mencelakakan guru dengan membuntungi kedua kakinya. Aku mencarimu untuk membuat perhitungan!" bentak Ki Palat Diga.
"Palat Diga, kau tak usah banyak bicara. Buktikan ucapanmu kalau kau memang mampu. Ayo, majulah bersama-sama!"
Ki Palat Diga telah menceritakan sebelumnya pada Ki Teguh Narada, ketika mereka sama-sama mengetahui mencari orang yang sama. Terlebih kepandaian Ki Timpang saat ini sulit diukur. Maka, mereka tidak merasa malu maju berbarengan. Ki Timpang sendiri sudah langsung menyambut serangan mereka ketika sudah meletakkan gadis yang dipanggulnya.
Sesungguhnya, apa yang menyebabkan orang tua itu datang ke sini? Pada saat Cagak Layung menghubungi Giri Manuk, dirinya juga bertemu dengan Ki Timpang. Tapi karena Ki Timpang ada keperluan lain, maka lelaki timpang berjanji akan menyusul ke tempat Juragan Bonteng setelah urusan selesai.
Sementara di dalam pertarungan terlihat kedua orang itu menggempur lawan yang paling dibencinya. Nyi Larasati diam saja, tak ikut campur. Rangga pun tak tahu apa yang harus dikerjakannya saat ini. Dihampirinya perempuan tua itu, dan dihiburnya setelah melihat kejadian di dalam rumah Juragan Bonteng.
"Sudahlah, Nyi. Segalanya sudah beres. Ayo kita pulang. Kasihan Rara Ningrum dan Samiaji berdua di rumah...."
"Silakan, kau pulang lebih dulu. Aku masih ingin di sini...," sahut perempuan tua itu lirih.
"Apakah kau akan menyerangnya setelah mereka?"
Nyi Larasati diam tak menjawab.
"Nyi, tampaknya kau sangat mengenal lelaki itu. Apakah kalian pernah akrab? Kulihat, sinar mata kalian tak bisa membohongi...."
Nyi Larasati mengangguk pelan.
"Dia suamimu?"
"Ceritanya panjang, Rangga! Kami... sepasang kekasih yang saling mencintai. Suatu saat kami terperosok melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Dan, dirinya berjanji akan mengawiniku. Tapi, tak lama setelah kejadian itu, dia pergi mengembara. Bertahun-tahun aku mencarinya, sementara benih yang ditinggalkannya telah menjadi seorang bayi perempuan yang cantik. Kuasuh dia, kurawat, dan kubesarkan. Tetapi kemudian, terjadilah hal yang tak kuinginkan ketika putriku satu-satunya dinodai seorang pemuda beberapa kali. Dan, yang lebih menyakitkan hatiku, pemuda itu adalah murid dari orang yang selama ini kucari-cari...," jelas Nyi Larasati menutup ceritanya.
Rangga menganggukkan kepala. Namun, baru saja mulutnya akan bertanya lagi, tiba-tiba terdengar pekik kesakitan diiringi terjungkalnya tubuh dua orang lawan Ki Timpang. Dari mulut mereka menyemburkan darah segar. Kedua orang tua itu berusaha bangkit tertatih-tatih. Napasnya terlihat megap-megap, namun pancaran mata mereka tajam dan penuh dendam.
"Nyi, izinkan aku membalaskan sakit hatimu, dan sakit hati semua orang padanya," mohon Rangga sambil bangkit berdiri.
Nyi Larasati diam membisu. Dirinya tak tahu harus menjawab apa. Sebenci-bencinya pada Ki Timpang, tapi rasa cintanya masih tetap ada.
Sementara itu, Ki Timpang terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang.
"Ha ha ha...! Hanya begitu kemampuan kalian, sudah berani bermaksud mengalahkan dan membinasakanku? Pulanglah kalian sebelum mataku muak memandang!"
"Kisanak, bicaramu sombong sekali..."
"Heh! Bocah sial, apakah kau pun menghendaki nyawaku?!" bentaknya angker. Matanya memandang tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kalau kukatakan iya, kau sudi memberikannya, Orang Tua?" tanya Rangga tidak kalah gertak.
"Sial! He, sebut namamu. Boleh juga kau berhadapan denganku, karena mampu menundukkan murid goblokku itu!"
"Apakah namaku bisa membuatmu takut? Kalau memang betul, tentu dengan senang hati kusebutkan," ujar Rangga sengaja membuat hati orang tua itu marah.
"Keparat! Kau pikir dengan mengalahkan muridku, kau pun bisa berbuat seenaknya padaku?! Huh, Bocah Pentil! Kau perlu diberi pelajaran rupanya.
Setelah berkata demikian, tubuhnya langsung berkelebat menerjang. Gerakannya cepat, dan berisi tenaga dalam kuat. Dirinya berharap, dengan sekali gebrakan pemuda itu paling tidak akan kewalahan, dan kesombongannya akan berubah menjadi rasa khawatir serta ketakutan. Tapi, bukan main kesalnya Ki Timpang melihat Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindar dengan gesit dan tidak kalah ringannya. Berkali-kali diserangnya pemuda itu, namun Rangga tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menghindari.
Rangga mengetahui lawannya ini berkepandaian tinggi. Maka, dirinya tidak mau menganggap rendah lawan. Dengan memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari setiap serangan lawan, tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari. Kedua kakinya pun bergerak lincah. Rangga mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengimbangi gerakan lawan.
Dua jurus telah berlangsung, dan Ki Timpang belum juga berhasil mendesak Rangga. Meskipun telah mengeluarkan jurus 'Tangan Maut' yang dahsyat, tapi kali ini Rangga tak akan terkecoh dua kali. Sebab, Giri Manuk pernah mengeluarkan jurus ini. Dan sudah pasti jurus yang dimiliki gurunya akan lebih ampuh lagi.
Perlahan tapi pasti, Rangga mulai mendesak Ki Timpang dengan mengeluarkan rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Tetapi sama halnya dengan lawan, baginya pun cukup sulit menghajar Ki Timpang. Keadaan ini membuat Ki Timpang benar-benar jengkel. Dikiranya, Rangga sama sekali tak berarti. Tapi, setelah pertarungan berjalan lebih dari dua puluh jurus, belum juga terlihat tanda-tanda siapa yang akan berhasil menjatuhkan lawan.
Maka, pada jurus kedua puluh satu, tubuh Ki Timpang bergerak bergulung-gulung dan membuat lompatan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti segera mengejarnya dan mengirimkan satu tendangan keras. Tapi tanpa sepengetahuan Rangga, saat itu Ki Timpang tengah mengerahkan ajian mautnya yang bernama 'Tapak Nenggala'. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan hingga kedua tangannya berubah merah menyala. Lalu, ketika kedua kakinya menjejak tanah, saat itu pula sebelah telapak tangannya menghantam ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dari situ, melesat sinar merah laksana kabut yang menimbulkan angin menderu.
"Yeaaa...!"
Rangga terkejut melihat serangan lawan. Saat itu, tubuhnya tengah mengapung di udara. Tak ada pilihan lain, kecuali mencabut pedang pusakanya untuk menangkis sinar merah itu. Seberkas sinar biru langsung berpendar dari bilah pedang dalam genggamannya. Diusapnya dengan tangan kiri, dan dengan cepat disorongkannya ke muka sambil berteriak keras.
"Aji Cakra Buana Sukma...!"
Glarrr...!"
"Aaakh...!"
Ki Timpang menjerit kesakitan ketika pukulan sakti mereka bertemu dan menimbulkan suara menggelegar. Terlihat percikan bunga api serta asap hitam tebal membumbung angkasa. Tubuhnya terjungkal satu tombak sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri. Saat itu juga, kakinya membuat beberapa lompatan. Dan, begitu menjejak tanah, tubuhnya kembali bergerak cepat menyerang lawan dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Kali ini Ki Timpang berbuat nekat, ingin tewas bersama-sama.
"Yeaaa...!"
Rangga pun mengalami luka akibat benturan tadi. Isi perutnya seperti diaduk-aduk. Namun, Rangga cepat menguasai diri dengan bersalto beberapa kali sambil mengatur pernapasan. Dan tanpa menoleh ke belakang, pedang yang masih berada dalam genggamannya berkelebat cepat.
"Akh!"
"Durgasana...!"
Nyi Larasati memekik nyaring. Rangga menyarungkan pedangnya kembali untuk sesaat, dipandanginya Nyi Larasati yang mendekap tubuh Ki Timpang. Tubuh lelaki tua itu hangus seperti terbakar. Kemudian, ditinggalkannya dengan langkah pelan.
Kejadian tadi memang sangat cepat Meskipun tidak melihat, pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dapat mengetahui serangan lawan. Pendekar Rajawali Sakti mengetahui lawan tak bersenjata, dan dirinya sangat yakin, Ki Timpang tidak akan mampu menghalangi ayunan pedangnya. Dugaannya ternyata benar. Ki Timpang tak mampu menghindar. Dirinya hanya terkejut, dan selanjutnya melenguh kecil. Dari mulai dada hingga ke perut, terlihat robek dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terselimuti seberkas sinar kebiruan yang perlahan-lahan sirna dan tubuhnya berubah hitam seperti terbakar.
"Rangga..."
"Eh!" Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Di hadapannya telah berdiri Rara Ningrum yang memeluk Samiaji. Mukanya sembab seperti habis menangis. Bola matanya memandang sayu, dan kemudian tertunduk. Rangga jadi salah tingkah. Berkali-kali matanya melirik Nyi Larasati yang masih menekuri mayat Ki Timpang.
"Sudah lama kalian berada di sini?"
Rara Ningrum mengangguk. Wanita itu tak mampu menahan perasaan dukanya yang belum dimengerti Rangga. Tetapi, ketika berjalan mendekati Nyi Larasati yang sedang menekuri mayat Ki Timpang, pemuda berompi putih mulai mengerti. Niatnya untuk pergi secara diam-diam diurungkan. Rangga hanya diam memperhatikan mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti, aku si orang tua tak berguna Ki Teguh Narada, menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu...."
"Heh...!" Rangga baru tersadar ketika dua orang tua yang tadi bertarung dengan Ki Timpang mendekatinya, bersama gadis yang tadi dipanggul orang tua berkaki timpang itu.
"Aku si tua Palat Diga pun menanggung hutang nyawa padamu, Anak Muda," ucap lelaki tua berwajah merah itu.
"Sudahlah, Paman! Tidak usah dipikirkan lagi, di antara kita tidak ada hutan-piutang. Yang ada, hanya saling tolong-menolong. Bukankah yang namanya kezaliman harus dilenyapkan dari muka bumi ini? Kalau kita tidak saling bahu-membahu, mana mungkin aku mampu menghadapinya seorang diri," ujar Rangga dengan nada merendah.
"Ah, tapi siapa yang meragukan kehebatanmu, Pendekar Rajawali Sakti!" puji Ki Teguh Narada sambil tersenyum kecil.
"Paman terlalu memujiku...."
"Nah, Sobat Muda. Kini kau punya tugas baru lagi," lanjut Ki Palat Diga.
"Tugas apa, Paman?" tanya Rangga heran.
Ki Palat Diga memberi hormat pada gadis di sebelahnya yang sejak tadi membisu. Lalu kepalanya menoleh ke arah Rangga. "Kau mengenalinya, bukan? Gadis inilah yang tadi dibawa Ki Timpang. Dia adalah putri dari Kerajaan Sanjaya. Sudilah kau mengantarkannya kembali ke istana kerajaan."
"Hm, Paduka Putri, maafkan hamba yang tidak mengenal orang," sahut Rangga memberi penghormatan.
"Sudahlah. Sebenarnya aku tak ingin disanjung-sanjung seperti itu. Bila mereka berdua tahu berterima kasih, aku pun ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Ikutlah denganku ke istana kerajaan. Pasti ayahanda akan memberi hadiah yang besar padamu," ujar gadis itu.
Rangga tersenyum kecil mendengar kata-kata gadis itu. "Tuan Putri, maafkan hamba. Jika tujuan mengajakku ke istana untuk mendapatkan hadiah, maka biarlah aku mengalah. Tuan Putri bisa mengajak kedua Paman ini...."
"Hm, kenapa? Apakah kau tak cukup dengan hadiah-hadiah?"
Rangga kembali tersenyum pahit. Gadis ini terlihat polos dan kurang bergaul. Yang ada dalam benaknya, persoalan balas budi harus ditukar dengan hadiah atau harta benda. Padahal Rangga ingin menjelaskan kalau gadis ini sama sekali tak mengenal dunianya. Rangga tidak butuh hadiah.
"Tuan Putri, maaf..., Pendekar Rajawali Sakti tak bermaksud menolak pemberian Tuan Putri. Dalam dunia kependekaran, dirinya terkenal sebagai orang yang menolong tanpa pamrih. Bila pertolongannya dihargai dengan hadiah, sama artinya dengan penghinaan."
Ki Teguh Narada menengahi sambil menjelaskan pada gadis itu, yang terlihat kurang senang mendengar jawaban Rangga tadi. Mendengar penjelasan itu, Tuan Putri baru mengerti dan menganggukkan kepala.
"Baiklah, kalau demikian, atas nama ayahanda aku mengundangmu ke istana kerajaan. Beliau tentunya ingin berkenalan denganmu, sekaligus mengucapkan terima kasih atas apa yang kau lakukan...."
"Tuan Putri, apa yang telah kuperbuat sehingga harus ke istana untuk menemui ayahandamu, Baginda Kerajaan Sanjaya?" tanya Rangga.
"Bukankah kau telah menyelamatkan diriku?"
Rangga tersenyum kecil dan merasa geli sendiri. Dirinya tak pernah menyelamatkan gadis ini. Tapi, gadis itu berkeras dirinya yang telah menyelamatkan dari cengkeraman Ki Timpang. Lalu, gadis itu pun berkeras menginginkan Rangga datang ke istana. Semula Pendekar Rajawali Sakti enggan dan tetap menolak. Tapi Ki Palat Diga dan Ki Teguh Narada memberikan beberapa alasan, yang membuatnya setuju mengantarkan gadis itu.
"Baiklah. Tapi aku pamit dulu dengan mereka," ujar Rangga sambil melangkah ke arah Nyi Larasati dan Rara Ningrum yang sedang menggendong Samiaji. Mereka telah berdiri tegak dan memandang Rangga dengan tatapan sayu.
"Paman mau pergi?" tanya Samiaji mendahului Rangga membuka mulut.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil dan mengelus kepala bocah itu. Kemudian kepalanya mengangguk. Dilihatnya bocah itu terdiam. Tidak seperti kemarin, Samiaji selalu menahan kepergian Rangga. Kali ini, pancaran matanya tetap tak rela. Namun mulutnya terkunci rapat
"Banyak yang harus Paman kerjakan, Samiaji. Tapi Paman berjanji, bila suatu saat berada di desa ini lagi, Paman pasti mengunjungimu...." Samiaji terdiam. Rangga mengalihkan pandangan pada Nyi Larasati dan berkata pelan. "Maaf Nyi.... Kalau kau tak senang Ki Timpang terbunuh, kau boleh menghukumku...."
"Tidak. Hatiku memang tak bisa dikatakan senang, tapi sudah pantas dirinya menerima ganjaran itu...," suara Nyi Larasati terdengar lirih.
Lalu, Rangga berpaling pada Rara Ningrum. "Maafkan aku, Rara. Aku tahu, walaupun kau tak diakui, tapi yang pasti dia adalah bapakmu. Kau tentu mencintainya." Rara Ningrum terisak sambil menggelengkan kepala. "Aku pergi sekarang, Rara. Baik-baiklah kalian di sini. Urusan Juragan Bonteng akan kulaporkan pada Baginda Raja. Agar menghukumnya dengan adil," janji Rangga meyakinkan bahwa hidup mereka kali ini akan aman.
Rara Ningrum tak menjawab sepatah kata pun. Air matanya tidak berhenti mengalir. Ketika Rangga perlahan-lahan meninggalkan tempat ini bersama putri raja. Terasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ada sesuatu yang melesak dalam dada dan membuat perih seluruh jiwa raganya. Bila dibandingkan putri raja dengan dirinya... anak haram. Ah, sungguh lengkaplah kehinaan itu. Dirinya tak pantas mendapat perhatian lelaki mana pun, bisik hati Rara Ningrum.
"Apakah wanita itu kekasihmu?"
"Eh, apa...?" Rangga tersentak mendengar pertanyaan putri raja.
Gadis berwajah cantik dan ayu itu tersenyum kecil. Tampak deretan gigi yang putih bersih dan bibir merah merekah. "Kau termenung memikirkannya?"
"Memikirkan siapa?"
"Wanita yang menggendong anak kecil tadi?"
"Ya, dirinya terlalu menanggung penderitaan...."
Belum habis Rangga bicara, tiba-tiba melesat sesosok tubuh ramping di hadapan mereka dan langsung mencabut pedang. Rangga segera menarik putri raja sambil memiringkan kepalanya. Ujung pedang itu lewat beberapa rambut, tapi kembali menyambar pangkal lehernya.
"Maaf, Tuan Putri!"
Disambarnya tubuh gadis itu sambil melompat ke belakang, menghindari serangan lawan yang baru datang itu. Tentu saja putri raja yang bernama Mayasari itu tersentak kaget. Baru kali ini tubuhnya dirangkul seorang laki-laki dalam keadaan sadar. Tapi karena mengetahui keadaan mereka berbahaya, dirinya diam saja. Perasaan ngeri dan takut menjalar di hatinya ketika mendengar angin berciutan dan tubuhnya melayang-layang dalam gendongan Pendekar Rajawali Sakti.
"Nisanak, kenapa kau menyerangku?" tanya Rangga heran pada penyerangnya itu.
Ternyata penyerang itu tak lain Wulandari, gadis berbaju hijau dan berambut kuncir ke belakang, murid Ki Palat Diga. Sejak tadi dirinya memang mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mengintip peristiwa yang terjadi di halaman depan rumah Juragan Bonteng.
"Huh! Kau tak perlu beralasan. Pemuda ceriwis sepertimu seharusnya mampus!" geram suara Wulandari.
Rangga tak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba bernafsu ingin membunuhnya. Jika terus-menerus menghindar, dirinya akan repot meladeni kekonyolan Wulandari. Maka, dalam suatu kesempatan tubuhnya berkelebat cepat.
Mayasari sampai menutup mata menahan ngeri. Tidak lama berselang, terdengar Wulandari menjerit kesakitan. Pedang di tangannya terpental jauh dan tubuhnya jatuh ke tanah dalam keadaan tak berdaya.
"Maaf, aku tak sempat melayani keinginanmu yang tak kumengerti. Sebelum fajar nanti, kau akan terbebas dari totokanku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti segera melesat dari situ.
Wulandari berteriak dan memaki-maki tak karuan. Dirinya merasa kesal melihat Pendekar Rajawali Sakti kembali menggendong gadis itu. Rasanya, Wulandari ingin melumatkan mereka berdua!
Entah mengapa, dirinya tak rela melihat Pendekar Rajawali Sakti berdekatan dengan wanita mana pun. Tak heran, bila akhirnya Wulandari uring-uringan sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan!
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti yang membawa putri raja telah melesat jauh meninggalkannya.

***

TAMAT

86. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam MembaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang