BAGIAN 1

838 28 0
                                    

"Hiya! Hiyaaa...!"
Pagi yang seharusnya enak dinikmati, seketika jadi riuh oleh teriakan seseorang yang menggebah kudanya dengan kecepatan sangat tinggi bagai dikejar setan. Debu membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Burung-burung yang tadi berkicauan seketika berhamburan terbang, terkejut oleh derap kaki kuda yang demikian cepat berpacu.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu terus memacu kudanya, melintasi jalan tanah berbatu. Sama sekali tidak dipedulikan binatang-binatang yang berhamburan ketakutan. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kudanya yang sudah mendengus-dengus kelelahan tidak dipedulikan lagi.
Begitu penunggang kuda itu baru saja menyeberangi sebuah sungai kecil yang dangkal dan penuh kerikil, mendadak saja...
Wusss!
"Heh...?! Hup!"
Cepat sekali pemuda itu melompat dari punggung kudanya yang masih terus berlari kencang, begitu matanya menangkap seleret cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menuju ke arahnya. Dan benda bercahaya keperakan itu langsung menyambar leher kuda yang masih berlari. Binatang itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
"Hieeegkh...!"
Bruk!
Keras sekali kuda berbulu coklat tua itu jatuh menghantam tanah berbatu di tepian sungai kecil ini. Hanya sebentar saja binatang itu menggelepar dengan leher terkoyak sangat lebar, hingga hampir membuatnya buntung. Darah langsung mengucur deras sekali, membasahi bebatuan di tepi sungai ini. Sebentar kemudian, kuda itu meregang kaku dan diam tak bernyawa lagi.
Sementara, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tadi berhasil menghindari kilatan cahaya keperakan, sudah menjejakkan kakinya di tanah, agak jauh dari tepi sungai. Kakinya berdiri tegak dengan tangan kanan kini sudah menggenggam sebilah golok berkilatan yang menandakan ketajamannya. Kedua bola matanya terlihat nyalang, memandang tajam ke sekitarnya. Tapi, sedikit pun tak terlihat tanda-tanda ada orang lain di sekitar tepian sungai kecil ini.
"Keparat..!" geram pemuda itu. Wajahnya tampak memerah, melihat kudanya sudah tewas dengan leher terkoyak hampir buntung.
Beberapa saat pemuda itu masih mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tapi, tidak juga terlihat tanda-tanda adanya orang lain di sekitar sini. Angin masih tetap bertiup perlahan, menebarkan dedaunan kering yang jatuh dari dahannya. Sementara, matahari masih tetap bersinar semakin terik di pagi ini. Perlahan pemuda berbaju hijau muda yang agak ketat itu menggeser kedua kakinya ke kanan.
Sedangkan goloknya yang berkilatan tajam, tetap terlintang di depan dada.
"Keluar kau, Pengecut...!" teriak pemuda itu lantang. "Tunjukkan dirimu...!"
Tapi, teriakan pemuda itu tidak mendapat jawaban sedikit pun. Hanya gema suaranya saja yang terdengar. Sementara, kakinya terus digeser perlahan-lahan menghampiri kudanya. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja....
Slap!
"Ups...!"
Bettt!
Tring!
"Ikh...!"
Pemuda itu terpekik kecil. Dan begitu goloknya dikebutkan, terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat cepat bagai kilat hendak menyambar tubuhnya. Cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Tapi, tubuhnya jadi agak limbung begitu kakinya menjejak tanah berbatu di tepi sungai kecil ini.
"Setan...!" geram pemuda itu dengan bibir meringis.
Pemuda itu mengurut tangan kanannya yang menggenggam golok dengan tangan kiri. Rasanya goloknya tadi seperti habis menghantam sebuah gada baja yang amat keras ketika menangkis kilatan cahaya keperakan yang hampir menyambar tubuhnya. Dan saat itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar. Ternyata goloknya terpotong menjadi dua bagian!
Entah ke mana terpentalnya ujung potongan golok itu. Dan belum juga dia bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar dan memekakkan telinga. Tawa sangat keras dan menggema bagaikan datang dari segala penjuru mata angin itu membuat jantung pemuda ini jadi bergetar seketika.
"Ugkh...!"
Sedikit keluhan terdengar. Dan pemuda berwajah cukup tampan itu segera membuang goloknya yang sudah patah. Telinganya terasa sakit sekali saat mendengar tawa keras dan menggelegar ini. Telinganya segera ditutup dengan telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan sekali.
Keringat mulai menitik di seluruh wajah dan tubuhnya. Perlahan namun pasti, wajah pemuda itu mulai terlihat memucat. Tubuhnya pun mulai menggeletar. Sementara, dari lubang hidungnya terlihat darah mengalir. Kemudian dari sudut bibir, dan dari sela-sela jari tangan yang menutup telinga, darah mengalir semakin banyak.
"Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar. Tampak pemuda itu jatuh menggelepar di atas tanah berbatu kerikil di tepi sungai kecil ini. Tubuhnya terus menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit, bagaikan tengah dikerubungi puluhan kala berbisa. Darah tampak semakin banyak mengalir dari hidung, mulut, dan telinganya. Bahkan, juga dari kedua bola matanya!
"Ha ha ha...!"
Sementara, suara tawa itu terus terdengar semakin keras. Bahkan daun-daun pepohonan di sekitar tepi sungai itu pun sudah terlihat berguguran. Dan tawa yang semakin keras itu seakan-akan menghentikan hembusan angin. Sedangkan pemuda berbaju hijau muda agak ketat itu terus menggelepar, dan menjerit-jerit kesakitan. Bahkan dari pori-pori di seluruh tubuhnya, sudah mengeluarkan keringat darah.
"Aaa...!"
Sebuah jeritan sangat panjang dan melengking tinggi, mengakhiri gerakan tubuh pemuda itu yang menggeliat-geliat Dan tubuhnya seketika mengejang, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Kaku. Kedua bola matanya tampak terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Namun, darah masih terus mengalir dari lubang hidung, mulut, dan telinganya.
Saat itu juga, suara tawa yang sangat keras dan menggelegar tadi terhenti. Dan keadaan di tepi sungai ini pun jadi sunyi. Sementara, pemuda itu tetap tergeletak dengan tubuh meregang kaku. Sedikit pun tak terlihat adanya gerakan yang menandakan kalau masih hidup. Pemuda itu pasti sudah tewas, akibat terserang suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Cukup lama juga keadaan di tepi sungai itu sunyi senyap, bagai tidak pernah terjadi apa-apa.
Dan kesunyian itu tiba-tiba saja kembali dipecahkan suara derap kaki kuda yang dipacu cepat dari arah seberang sungai. Tak berapa lama kemudian, terlihat tiga penunggang kuda berpacu cepat sekali menyeberangi sungai kecil yang berair dangkal ini.
"Hooop...!"
"Hup!"
Mereka segera menghentikan kudanya. Langsung mereka berlompatan turun begitu dekat dengan pemuda berbaju hijau muda yang tergeletak tak bernyawa lagi, tidak jauh dari kudanya yang juga sudah tewas dengan leher hampir buntung.
"Kakang...!"
Tiba-tiba terdengar salah seorang penunggang kuda. Sebentar kemudian, terlihat seorang gadis bertubuh kecil yang terbungkus baju ketat warna biru tua tengah berlari menghampiri pemuda itu setelah turun dari punggung kudanya. Tapi belum juga mendekat, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar dan berbulu mencekal pergelangan tangannya.
"Jangan mendekat, Lastri!"
"Tapi, Paman...," sergah gadis yang ternyata bernama Lastri, hendak memberontak.
Namun saat sepasang mata merah menyorot tajam milik laki-laki yang dipanggil paman itu memandanginya, Lastri langsung terdiam. Dan wajahnya langsung berpaling ke arah pemuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh meregang kaku. Sementara, dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang mengapit gadis cantik bertubuh kecil bernama Lastri ini, juga memandangi tubuh pemuda berbaju hijau yang tergeletak tak bernyawa.
"Kalian diam saja di sini dulu. Aku akan memeriksa," ujar salah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang terbungkus baju hitam. Dialah yang tadi mencekal tangan Lastri agar tidak mendekati pemuda yang tergeletak tak bernyawa itu.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki ini langsung saja mengayunkan kakinya mendekati pemuda itu. Namun ayunan kakinya terhenti setelah tinggal selangkah lagi. Sebentar diamatinya mayat itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian tubuhnya bergerak membungkuk dan berjongkok. Beberapa saat, diperiksanya tubuh mayat pemuda itu, kemudian kepalanya berpaling ke belakang.
"Ke sini kalian...!" seru laki-laki itu memanggil.
Lastri dan seorang laki-laki lainnya yang berbaju merah menyala, bergegas menghampiri, begitu diperbolehkan. Dan gadis itu langsung menghambur memeluk mayat pemuda yang tergeletak berlumuran darah di wajahnya itu. Tangisnya seketika pecah menggerung-gerung. Sementara, dua laki-laki berusia hampir separuh baya yang tadi mendampinginya hanya bisa berdiri memandangi tanpa bisa berkatakata.
Agak lama juga Lastri menangisi mayat pemuda itu. Kemudian air matanya diseka dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kepalanya terangkat ke atas, setelah tangisannya benar-benar terhenti. Namun sesekali masih juga terdengar isaknya. Ditatapnya dua orang laki-laki berusia separuh baya yang masih berdiri sekitar tiga langkah lagi di depannya.
"Aku akan membawa Kakang Barada pulang," tegas Lastri dengan suara tertahan dan terisak.
"Lastri..., ingat pesan ayahmu," ujar laki-laki berbaju warna merah menyala.
"Aku tidak peduli!" sentak Lastri langsung bangkit berdiri. "Kali ini, Paman tidak bisa menghalangiku lagi. Aku akan membawa pulang Kakang Barada, walaupun sudah jadi mayat!"
Kedua laki-laki berusia hampir separuh baya itu hanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama menatap gadis cantik bertubuh kecil di depannya. Gadis itu tampak masih terlihat garang, walaupun sesekali masih terdengar isak tangisnya yang tertahan. Seakan-akan dia tidak ingin tangisannya dilihat kedua laki-laki itu lagi. Sekuat tenaga, hatinya berusaha tegar.
"Paman Gorak...," panggil Lastri, seraya menatap laki-laki yang berbaju warna merah menyala.
Tapi, laki-laki berbaju merah yang ternyata bernama Gorak itu hanya membisu saja. Malah, dibalasnya tatapan itu dengan sinar mata yang sulit diartikan. Lastri langsung berpaling menatap seorang lagi yang berbaju hitam pekat.
"Paman Andaka..."
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang dipanggil Paman Andaka hanya mengangkat bahu sedikit. Matanya malah melirik Paman Gorak yang berada di sebelah kirinya. Sedangkan yang ditatap, seperti tidak tahu. Malah, dipandanginya mayat Barada yang masih tergeletak kaku tak bernyawa lagi.
"Kurasa, tidak ada salahnya kita membawa Barada, Kakang Gorak," kata Paman Andaka.
"Aku hanya tidak ingin melanggar amanat," sahut Paman Gorak terdengar pelan suaranya, seakan ragu-ragu untuk memutuskan.
"Paman berdua tidak perlu ragu dan takut. Biar aku yang bertanggung jawab pada ayah," selak Lastri.
"Lastri! Aku hanya mengingatkan pesan ayahmu saja. Kita boleh membawa pulang Barada, kalau memang masih hidup. Tapi kalau ditemukan sudah meninggal, ayahmu tidak mengizinkannya membawa pulang," sanggah Paman Gorak.
"Ayah memang kejam...!" desis Lastri dengan mata merembang berkaca-kaca.
"Sudahlah, Lastri. Relakan saja kepergiannya. Sebaiknya, secepatnya kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini," bujuk Paman Gorak lagi.
"Tidak, Paman...," desis Lastri seraya menggeleng. "Aku tetap akan membawa Kakang Barada pulang."
Tanpa menghiraukan keberatan kedua pamannya, Lastri segera mengangkat tubuh Barada yang sudah kaku. Tapi tubuhnya yang kecil tentu saja mengalami kesulitan, karena tubuh Barada dua kali lebih besar dibanding dengannya.
Melihat kegigihan gadis itu, Paman Andaka jadi tidak tega juga. Segera kakinya melangkah menghampiri. Diangkatnya tubuh Barada, lalu diletakkan di pundaknya. Sebentar ditatapnya Paman Gorak, kemudian berjalan menghampiri kudanya. Mayat Barada diletakkan di punggung kuda yang ditungganginya. Sementara, Lastri sudah naik ke punggung kudanya sendiri. Paman Andaka segera melompat naik ke punggung kudanya. Dan mayat Barada diletakkan tengkurap di depannya. Sementara, Paman Gorak masih tetap berdiri memandangi, tanpa dapat berbuat apa-apa.
Sedikit Paman Gorak mengangkat pundaknya, kemudian melangkah menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan dan indah, dia melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar kemudian, ketiga orang itu sudah bergerak meninggalkan tempat ini tanpa bicara lagi. Mereka terus menjalankan kudanya perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai kecil yang berair dangkal ini.

***

Di dalam kamarnya yang berukuran luas, Lastri berdiri mematung di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Saat itu, matahari sudah terlihat condong ke barat. Sinarnya yang semula garang terasa begitu terik menyengat kulit, kini terasa begitu lembut. Sejak penguburan Barada, Lastri tidak keluar dari kamarnya ini. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Namun, pandangan matanya terlihat lurus ke depan dan sangat kosong.
Tok, tok, tok...!
"Oh...?!"
Lastri tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dan baru saja tubuhnya berputar berbalik, pintu kamar itu sudah terbuka. Lalu, muncul seorang laki-laki berusia hampir separuh baya. Dia mengenakan baju warna merah menyala yang agak ketat Dan tanpa dipersilakan lagi, kakinya melangkah masuk ke kamar, dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Sementara, Lastri masih tetap berdiri membelakangi jendela. Laki-laki yang tak lain Paman Gorak itu langsung duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela.
"Sejak tadi kau tidak keluar dari kamar, Lastri. Kenapa...?" tegur Paman Gorak dengan suara terdengar dibuat lembut.
"Hhh..."
Lastri hanya menghembuskan napasnya saja panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusannya. Dan kini, kakinya melangkah agak gontai mendekati pembaringan. Lastri kemudian duduk di tepi pembaringan yang berukuran cukup besar ini. Pandangan matanya kembali tertuju ke luar jendela. Begitu redup sinar matanya, seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Sementara, Paman Gorak terus memandangi. Sepertinya, isi hati gadis ini ingin diselaminya.
"Kau masih memikirkan kematian Barada, Lastri..?" tebak Paman Gorak.
Lastri tidak langsung menjawab, tapi malah menatap laki-laki berusia hampir separuh baya yang masih kelihatan cukup tampan. Rasanya, tidak pantas kalau usianya sudah berkepala empat
Sementara itu yang dipandangi malah balas menatap dengan sinar mata yang memancarkan cahaya menyelidik. Hal ini membuat Lastri harus kembali menghembuskan napas panjang. Matanya kini memandang ke luar jendela lagi.
"Kau tahu, Lastri. Bukan hanya aku dan paman-pamanmu saja yang sudah memperingatkan, tapi juga ayahmu. Barada itu sudah diperingatkan dengan keras, tapi tidak pernah mau mendengarkan. Keinginannya yang tidak masuk akal itu memang tak ingin dirubahnya. Jadi, aku rasa tidak ada gunanya menyesali kematiannya, Lastri," kata Paman Gorak.
"Tapi, Paman...," suara Lastri terputus.
"Aku tahu, Lastri. Aku juga bisa merasakan apa yang sedang kau rasakan sekarang ini. Tapi, itu bukan alasan untuk terus-menerus memikirkannya. Bahkan sampai mengurung diri dalam kamar ini. Barada memang baik. Aku juga menyayanginya. Bahkan ayahmu juga menyayanginya. Tapi sifatnya keras kepala. Sampai-sampai peringatan kami tidak ada yang masuk ke telinganya. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri, Lastri. Kau ingat, apa yang diucapkannya... ? "
Lastri terdiam.
"Dia rela tidak diakui lagi di sini, asalkan bisa...."
"Sudah, Paman...!" sentak Lastri memutuskan ucapan pamannya.
"Maaf! Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, Lastri," ucap Paman Gorak.
"Terima kasih. Tapi, kuminta Paman tidak menggangguku dulu. Aku ingin sendiri," kata Lastri halus.
"Yaaah...!"
Sambil mendesah panjang, Paman Gorak bangkit berdiri. Kemudian, kakinya melangkah keluar dari kamar ini tanpa berkata-kata lagi sedikit pun juga. Sempat juga wajahnya berpaling menatap Lastri yang masih duduk di tepi pembaringan, sebelum menutup pintu kamar kembali. Sementara, Lastri tetap duduk di tepi pembaringan dengan pandangan kosong, tertuju lurus ke luar jendela yang tetap dibiarkan terbuka lebar.
"Kakang Barada.... Mengapa kau tidak mau mematuhi kata-kata ayah...? Mengapa kau malah memilih jalan seperti itu?" desah Lastri menggumam, bertanya-tanya pada diri sendiri.
Memang di dalam hati kecilnya, Lastri sangat menyayangkan sikap Barada. padahal, bibit-bibit cinta sudah mulai tumbuh di hatinya. Dan bukan hanya Paman Gorak saja yang tahu, tapi juga Paman Andaka. Bahkan, ayahnya sendiri juga sudah tahu. Hanya saja, mereka belum ada yang berbicara tentang hubungan itu. Sedangkan Lastri sendiri belum bisa membuka penuh pintu hatinya pada Barada, walaupun sudah sering kali terlihat bersama-sama. Mereka memang sama-sama belum bisa mengungkapkan isi hati masing-masing.
Tapi kini, semuanya sudah terlambat Barada sekarang sudah mengisi lubang kuburnya. Kini Lastri hanya bisa menghembuskan napas panjang-panjang. Perlahan dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan pembaringannya. Namun, ayunan kakinya langsung terhenti dengan pandangan tertuju lurus ke pintu yang tertutup rapat.
"Uh...!"
Sedikit gadis itu mengeluh, kemudian kembali menghampiri pembaringan. Tubuhnya lalu dihempaskan di sana. Lastri terbaring menelentang dengan kedua tangan terlipat di bawah kepala. Tatapan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Bayangan-bayangan saat bersama Barada kembali terlintas di pelupuk matanya. Terasa begitu manis. Tapi waktu itu dia tidak tahu, dan belum bisa membedakannya. Dan kini, barulah terasa keindahan dan kemanisannya. Namun cepat-cepat disadari kalau semua itu tidak akan mungkin bisa terulang kembali, karena Barada sudah pergi untuk selama-lamanya.
"Huuuh...!"
Kembali gadis itu mengeluh panjang. Gadis itu bangkit dari pembaringannya, dan terus saja melangkah keluar dari kamar ini. Dibiarkannya pintu tetap terbuka lebar, dan terus berjalan dengan langkah lebar-lebar tanpa arah tujuan pasti.

***

89. Pendekar Rajawali Sakti : Pedang HalilintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang