BAGIAN 2

514 23 1
                                    

Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar, tiba-tiba saja terdengar begitu dahsyat mengejutkan. Lastri yang saat itu sedang tertidur lelap di pembaringan kamarnya, seketika terjaga. Ledakan itu memang sangat dahsyat menggelegar, sampai menggetarkan seluruh dinding kamarnya. Cepat gadis itu melompat bangkit dari pembaringan.
"Heh...?! Api...," desis Lastri begitu terlihat semburan cahaya api dari balik jendela kamarnya yang tertutup rapat.
Bergegas gadis bertubuh kecil itu melompat menghampiri jendela, dan langsung dibukanya lebar-lebar. Saat itu terdengar teriakan-teriakan yang bercampur jeritan-jeritan melengking tinggi, serta denting senjata beradu. Kedua bola mata gadis itu jadi terbeliak lebar, begitu melihat bangunan di belakang bangunan rumah yang ditempatinya ini sudah terbakar hampir seluruhnya.
Sementara tidak jauh dari bangunan yang terbakar, terlihat orang-orang tengah bertarung sengit sekali. Lastri tidak tahu, siapa yang bertarung melawan murid-murid ayahnya. Pandangan matanya kemudian menangkap kelebatan bayangan tubuh Paman Gorak dan Paman Andaka. Mereka berlompatan cepat sekali. Tapi, Lastri sama sekali tidak melihat adanya orang yang sedang dikeroyok. Yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat
Dan pada saat itu, tiba-tiba saja secercah cahaya kilat keperakan melesat begitu cepat ke arah jendela kamar Lastri yang terbuka lebar.
"Heh...?!"
Kedua bola mata Lastri jadi terbeliak lebar. Dan seketika itu juga, jantungnya terasa seakan jadi berhenti berdetak. Tapi belum juga cahaya kilat keperakan itu mendekat, dia sudah cepat sekali melompat keluar. Dan tepat di saat itu, cahaya kilat keperakan tadi menerobos masuk ke dalam. Dan....
Glarrr!
"Oh...?!"
Ledakan dahsyat yang terdengar menggelegar, membuat gadis itu tersentak kaget setengah mati. Kedua bola matanya jadi semakin lebar terbeliak, melihat kamarnya hancur berantakan. Dan belum juga rasa terkejutnya hilang, kembali hatinya dikejutkan oleh sebuah bayangan yang begitu cepat berkelebat bagai hendak menyambar tubuhnya.
"Hup! Hiyaaat..!"
Cepat sekali Lastri melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan yang berkelebat bagai kilat. Manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah. Namun belum juga sempat menyeimbangkan tubuhnya, kembali sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arahnya. Dan....
Plak!
"Akh...!"
Lastri tidak sempat lagi berkelit Bayangan itu datang begitu cepat, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Tahu-tahu, tubuhnya sudah terpental jauh ke belakang, setelah merasakan seperti ada sesuatu yang keras sekali menghantam.
Brakkk!
Sebuah tembok dari batu seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh kecil gadis itu. Tampak Lastri menggeliat sambil merintih lirih. Dari mulutnya keluar darah yang agak kental. Namun hanya sedikit saja gerakan tubuhnya terlihat, karena sebentar kemudian sudah tak bergerak-gerak lagi.
Saat itu juga, suasana malam jadi sunyi senyap. Tak terdengar lagi suara teriakan-teriakan pertarungan. Juga tidak lagi terdengar jeritan melengking menyayat hati. Di bawah siraman cahaya rembulan, terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih. Entah apa yang terjadi, mereka semua tewas dengan tubuh begitu mengerikan.
Angin yang bertiup cukup kencang malam ini, menyebarkan bau anyir darah menggenang yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan. Sementara, api terlihat semakin berkobar membakar bangunan berukuran besar yang dikelilingi pagar tembok bagai benteng ini. Tak ada seorang pun yang terlihat bergerak hidup. Mereka semua tergeletak tak bergerak-gerak lagi, dengan tubuh bersimbah darah.
Dan pada saat itu, tiba-tiba terlihat sebuah cahaya kilat berkelebat begitu cepat. Namun cahaya itu lalu lenyap dalam sekejap saja, meninggalkan bangunan yang terbakar dan tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah.

***

Pagi ini terasa begitu tenang. Matahari pun bersinar begitu lembut. Cahayanya membias keperakan begitu indah dipandang, menyembul dari balik sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pepohonan. Dan kabut juga masih terlihat menyelimuti sekitar bukit itu. Memang, pemandangan di sekitar bukit ini begitu indah, bagaikan berada di swargaloka. Begitu indahnya, hingga orang-orang yang sering melintasi bukit itu menamakannya Bukit Merak.
Dari arah sebelah timur Bukit Merak, terlihat dua orang menunggang kuda. Yang seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Sekilas gagang pedang berbentuk kepala burung tampak bertengger di punggungnya. Begitu gagahnya, apalagi sambil menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sementara di sebelah kanannya terlihat seorang gadis berparas cantik. Bajunya ketat berwarna biru muda. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah dipandang. Dia menunggang kuda putih yang cantik dan bersih. Tampak sebuah gagang pedang bergagang kepala naga berwarna hitam bertengger di punggungnya. Sedangkan di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan, terselip sebuah kipas putih keperakan yang ujung-ujungnya berbentuk runcing bagai mata anak panah.
Kedua penunggang kuda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu perlahan-lahan menjalankan kudanya. Seakan-akan mereka tengah menikmati keindahan alam di sekitar Bukit Merak ini. Mereka adalah para pendekar muda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
"Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.
Rangga langsung mengarahkan pandangannya, sejajar dengan jari telunjuk Pandan Wangi yang menjulur lurus ke depan. Tampak dari pucuk-pucuk pepohonan terlihat asap hitam mengepul ke angkasa. Sepertinya telah terjadi kebakaran di dalam hutan Bukit Merak ini. Dan entah kenapa, tanpa disadari kedua pendekar muda yang julukannya sudah kondang itu menghentikan langkah kuda masing-masing. Pandangan mereka tetap tertuju lurus ke depan, menatap asap hitam yang terus mengepul, walaupun tidak begitu banyak.
"Kakang! Bukankah di kaki bukit ini letak Desa Bangkalan...?" kata Pandan Wangi, seakan-akan ingin memastikan dugaannya.
"Hm..., benar," sahut Rangga, terdengar menggumam suaranya.
"Jangan-jangan..., telah terjadi sesuatu di sana, kakang," kata Pandan Wangi menduga lagi.
Rangga berpaling sedikit, menatap si Kipas Maut sebentar. Kemudian pandangannya kembali dialihkan ke depan. Memang asap hitam yang mengepul itu seperti berasal dari Desa Bangkalan yang berada di kaki Bukit Merak ini. Dan sejak tadi pun, Rangga sudah menduga kalau telah terjadi sesuatu di sana.
"Ayo kita ke sana, Pandan," ajak Rangga.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Kedua pendekar muda itu segera menggebah kudanya menuju Desa Bangkalan di kaki Bukit Merak ini. Mereka berpacu cepat, menembus hutan yang tidak begitu lebat di sekitar Bukit Merak ini.
Rangga terus memacu cepat kudanya, hingga membuat Pandan Wangi tertinggal di belakang. Memang, tidak mungkin bagi kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut untuk mengimbangi kecepatan lari kuda hitam yang bemama Dewa Bayu. Dan kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu memang bukanlah kuda sembarangan. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menyamai kecepatan larinya. Maka tidak heran kalau dalam waktu sebentar saja, Pandan Wangi sudah tertinggal jauh di belakang.
"Hiyaaa! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi terus saja menggebah kuda putihnya agar berlari lebih cepat lagi. Tapi karena jalan yang mulai menurun dan penuh pepohonan, kudanya tidak bisa berlari lebih cepat lagi. Sementara, gadis itu semakin sibuk mengendalikan tali kekang kudanya yang berlapis emas ini. Sesekali terdengar ringkikan kuda, jika Pandan Wangi menghentikan tali kekangnya.
"Hiyaaa...!"
Sementara itu, Rangga yang berada jauh di depan sudah sampai di kaki Bukit Merak ini. Dan lari kudanya segera diperlambat begitu sampai di batas sebuah desa yang dikenal sebagai Desa Bangkalan. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan kudanya, lalu melompat turun.
"Hup!"
Begitu indah dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat turun dari punggung kudanya. Dan memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai tingkat sempurna. Hingga, sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah yang sedikit ditumbuhi rumput. Rangga berdiri tegak di depan kudanya. Pandangannya terlihat begitu tajam mengamati sekitarnya yang begitu sunyi. Hingga desir angin yang halus pun terdengar sangat jelas di telinganya.
Dan baru saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun, dari arah belakangnya terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga menghentikan langkah kakinya, dan berpaling ke belakang. Terlihat Pandan Wangi masih memacu kuda putihnya dengan cepat. Sementara, debu yang mengepul ke udara tampak seperti mengikutinya.
"Hooop...!"
Kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut itu meringkik keras, begitu tali kekangnya ditarik ke belakang. Dan begitu kedua kaki depannya hendak terangkat naik, Pandan Wangi sudah lebih cepat melompat turun. Gadis itu langsung saja menjejakkan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Sepi, Kakang...," desah Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam pelan.
"Desa ini memang selalu sepi, karena letaknya sangat jauh dari kota. Dan lagi sangat terpencil," sahut Rangga.
"Tapi tidak seperti biasanya, Kakang. Tidak ada seorang pun yang terlihat," sanggah Pandan Wangi lagi, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit
Dan memang, tidak terlihat seorang pun di desa ini. Rumah-rumah yang berdiri bagai tidak dihuni lagi. Bahkan semua pintu dan jendelanya juga dalam keadaan tertutup rapat Kedua pendekar muda itu sama-sama mengarahkan pandangan ke ujung jalan desa ini. Tampak asap hitam yang terlihat tadi berasal dari dalam sebuah bangunan yang dikelilingi tembok batu bagai sebuah benteng kecil di tengah-tengah desa yang terpencil ini.
"Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Rangga langsung mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi.
"Oh...?!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, begitu matanya menangkap sepasang kaki menyembul dari dalam parit di sebelah kanan jalan ini. Bergegas dia menghampiri. Kudanya ditinggalkan bersama Pandan Wangi.
"Oh...?!"
Rangga semakin bertambah terkejut, begitu sampai. Di dalam parit itu tampak sesosok tubuh tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi. Hampir seluruh tubuhnya rusak, seperti terkena sabetan senjata tajam. Saat itu, Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Pasti telah terjadi sesuatu di sini, Kakang," ujar Pandan Wangi.
Rangga hanya diam saja. Dikeluarkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu dari dalam parit diletakkannya di tempat yang agak teduh. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja, kemudian beralih pada keadaan sekeliling yang masih tetap terlihat begitu sunyi. Rangga menghampiri gadis itu kembali, setelah meletakkan mayat ke tempat yang lebih nyaman. Pandan Wangi hanya melirik sedikit pada pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kita memang tidak mengenal satu orang pun di desa ini, Kakang. Tapi kalau terjadi sesuatu, rasanya sulit untuk berpangku tangan saja," tegas Pandan Wangi lagi, masih terus memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti di sebelahnya.
Tapi, Rangga masih saja diam dengan bibir terkatup rapat. Malah kepalanya terlihat bergerak sedikit ke kiri, lalu agak miring ke kanan. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan, langsung diam tidak bicara lagi. Padahal, tadi mulutnya sudah dibuka hendak bicara. Namun melihat gerakan-gerakan kecil kepala Pendekar Rajawali Sakti, gadis itu jadi terdiam. Dia tahu, saat ini Rangga tengah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Ilmu yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti memang bisa membedakan dan memilah-milah suara. Hingga, dia bisa memilih suara yang diinginkan untuk didengar dengan lebih jelas lagi. Agak lama juga Rangga terdiam mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kini perlahan kepalanya berpaling menatap Pandan Wangi yang sejak tadi tidak lepas memperhatikannya.
"Ada yang kau dapatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung.
"Tidak...," sahut Rangga seraya menggelengkan kepala sedikit
"Tidak ada suara manusia satu pun juga...?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin memastikan.
Rangga menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut
"Jadi...?" suara Pandan Wangi terdengar terputus.
"Aku tidak tahu, Pandan. Tapi aku tidak menemukan satu kehidupan pun di sini. Desa Bangkalan ini seperti sudah ditinggalkan seluruh penduduknya," ujar Rangga dengan suara pelan dan agak mendesah.
"Aneh.... Kenapa mereka pergi meninggalkan desa ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk diri sendiri.
Dan Rangga tidak bisa menjawab, kecuali hanya diam membisu. Perlahan kakinya bergerak terayun menyusuri jalan desa yang berdebu ini Pandan Wangi mengikuti, dan menjajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan tanpa berbicara lagi. Jadi mata mereka terus mengamati keadaan sekeliling.
Dan ayunan langkah kaki kedua pendekar muda itu terhenti setelah sampai di depan pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran sangat besar dan tampak tebal. Mereka mengamati bangunan yang dikelilingi tembok pagar yang cukup tinggi bagai sebuah benteng ini. Sementara asap yang terlihat masih saja mengepul, walaupun tidak setebal tadi.
"Kau di sini saja dulu, Pandan," ujar Rangga.
"Mau ke mana kau, Kakang?" tanya Pandan Wangi cepat-cepat
"Aku ingin lihat ke dalam sebentar," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat ke atas. Gerakannya terlihat sangat ringan bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan dengan manis sekali, kedua kakinya menjejak bagian atas tembok ini Sementara, Pandan Wangi terus memandangi sambil memegangi tali kekang kuda-kuda mereka berdua.
Tapi, hanya sebentar saja Rangga berada di atas pagar tembok ini, karena sebentar kemudian sudah kembali melompat turun. Tanpa menimbulan suara sedikit pun juga, kakinya kembali menjejak tanah, tepat sekitar dua langkah lagi di depan Pandan Wangi.
"Ada apa di dalam sana, Kakang?" Pandan Wangi langsung saja menyambut dengan pertanyaan.
"Bangunan di dalam sudah hancur terbakar. Dan banyak mayat di sana," sahut Rangga.
"Oh...?! Apa yang terjadi...?" tanya Pandan Wangi agak terkesiap.
"Entahlah, Pandan," sahut Rangga seraya mengangkat pundak sedikit. "Kau ingin melihat ke dalam?"
"Aku rasa tidak ada salahnya, Kakang. Barangkali saja masih ada orang yang hidup di dalam sana," sahut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sedikit Kemudian....
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, dan tahu-tahu sudah kembali hinggap di atas dinding tembok batu ini. Tapi sebentar kemudian pemuda itu sudah melompat turun ke dalam. Sementara, Pandan Wangi menuntun kudanya mendekati pintu yang sangat besar dari kayu jati tebal ini. Dan begitu dekat, pintu itu bergerak terbuka dengan memperdengarkan suara berderit menggiris hati.
Pandan Wangi terus saja melangkah masuk. Namun ayunan kakinya dihentikan setelah sampai di samping Rangga. Agak terkesiap juga hati gadis itu melihat bangunan di dalam tembok bagian benteng ini sudah hangus terbakar. Bahkan hampir tak tersisa lagi. Sementara di sekitar puing-puing bangunan yang menghitam hangus itu terlihat puluhan mayat bergelimpangan, dengan tubuh berlumuran darah kering.
Bau anyir darah langsung menyeruak, merasuk ke dalam hidung. Pandan Wangi menghampiri salah satu mayat yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya. Sebentar diperhatikannya keadaan tubuh orang itu. Beberapa luka seperti terbabat pedang, terlihat di tubuhnya yang berlumuran darah mengering. Gadis itu kembali menghampiri Rangga yang masih saja belum menggerakkan kakinya. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, seakan-akan tengah ada yang dicarinya. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah berada kembali di sebelah kanannya.
"Sepertinya sudah cukup lama ini terjadi, Kakang," ujara Pandan Wangi menduga. "Darah mereka sudah mengering semua."
"Apa perkiraanmu, Pandan...?" tanya Rangga, seperti menguji.
"Tempat ini seperti sebuah padepokan, Kakang..," keluh Pandan Wangi seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Ya, memang ini sebuah padepokan," sahut Rangga. "Padepokan Merak Sakti. Aku juga kenal ketuanya, Eyang Banaspati."
"Kalau kau kenal, kenapa tidak kita cari saja di antara mereka, Kakang...?" usul Pandan Wangi.
"Aku tidak yakin Eyang Banaspati berada di antara mereka, Pandan. Dia bukan saja pemimpin padepokan, tapi juga seorang pertapa sakti. Malah ilmu-ilmunya pun sangat sukar dicari tandingannya."
"Dan mereka semua muridnya, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku rasa, iya...," sahut Rangga terdengar ragu-ragu nada suaranya.
Saat itu, pandangan mata Rangga tertuju ke satu arah. Dan tanpa bicara lagi, kakinya terayun melangkah. Pandan Wangi memperhatikan sebentar, kemudian mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan dua ekor kuda tunggangan mereka berdua. Sementara, Rangga terus berjalan melewati tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak tentu arah di sekitar puing-puing yang sudah menghitam hangus ini.
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah sampai di dekat seorang gadis yang tergeletak di antara pecahan batu tembok. Tak ada luka sedikit pun di tubuhnya, seperti yang lain. Tapi di mulutnya penuh menggumpal darah yang sudah membeku kering. Rangga berlutut, lalu menyentuhkan ujung jari tangannya ke bagian leher dekat dagu gadis itu. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku merasakan denyut nadinya, Pandan. Tapi sangat lemah...," ujar Rangga pelan, tanpa berpaling sedikit pun.
"Apa itu berarti dia masih hidup, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Rangga mendesah panjang.
Pendekar Rajawali Sakti memeriksa beberapa bagian tubuh gadis ini. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan jari-jari tangan Rangga yang bergerak lincah dan teratur. Tampak beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memberi totokan pada beberapa bagian tubuh gadis yang kecil mungil ini. Tapi dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau usianya sekitar delapan belas tahun.
"Hhh...!"
Terdengar berat sekali tarikan napas Rangga. Dia bangkit berdiri lagi, dan berpaling menatap Pandan Wangi yang tengah memperhatikan gadis muda yang tergeletak di antara pecahan batu bekas tembok ini.
"Bagaimana? Masih bisa ditolong...?" tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.
"Aku tidak yakin. Dia terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, tepat di bagian pusat peredaran darahnya," jelas Rangga, perlahan sekali suaranya.
"Oh...," desah Pandan Wangi panjang.

***

89. Pendekar Rajawali Sakti : Pedang HalilintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang