BAGIAN 3

448 22 0
                                    

Rangga tidak bisa menolak permintaan Pandan Wangi untuk menyembuhkan luka gadis yang ditemui di antara puing-puing reruntuhan bekas Padepokan Merak Sakti. Meskipun tidak yakin akan berhasil, tapi sekuat tenaga diusahakan untuk menyembuhkannya.
Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin kalau gadis itu bisa disembuhkan. Buktinya, dia mampu bertahan, walaupun habis terkena pukulan bertenaga dalam sangat tinggi, tepat pada bagian pusat peredaran darahnya. Padahal, biasanya orang sangat sukar untuk bisa bertahan. Kecuali, telah memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi pula. Dan itu pun masih ditambah penguasaan pengendalian hawa murni yang sudah terlatih baik.
Tapi, itu juga sangat sulit untuk bisa mengembalikannya seperti sediakala. Paling tidak, akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam pengerahan tenaga dalam. Dan yang lebih parah lagi, bisa mengakibatkan kelumpuhan. Tapi, Pandan Wangi tetap berharap gadis ini bisa pulih kembali seperti semula. Apa lagi, dia yakin betul kalau Rangga memiliki kesempurnaan dalam pengerahan tenaga dalam dan hawa murninya.
Sementara, Rangga berusaha menyembuhkan gadis yang ditemuinya. Sedangkan Pandan Wangi memeriksa keadaan sekeliling. Diperhatikannya satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam lingkungan tembok yang menyerupai benteng ini. Tapi sampai matahari berada di atas kepala, tetap saja tidak ditemukan lagi orang yang masih bisa ditolong. Dan kebanyakan dari mereka menderita luka yang sangat parah, hingga menyebabkan kematian.
Si Kipas Maut itu kini kembali menghampiri Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tampaknya juga sudah menghentikan usahanya dalam menyembuhkan gadis itu dengan pengerahan hawa murni yang dipadu pengerahan tenaga dalam.
"Bagaimana, Kakang? Ada kemajuan...?" tanya Pandan Wangi, seraya duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita tunggu saja sampai besok. Kalau belum juga sadar...," Rangga tidak melanjutkan kata-katanya.
"Tidak ada harapan...?"
Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian disambut hembusan napas panjang Pandan Wangi.
"Kau sudah memeriksa semuanya, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Sudah," sahut Pandan Wangi singkat
"Kau temukan Eyang Banaspati?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi menggeleng. Walaupun belum pernah mengenalnya, tapi dari ciri yang diberitahukan Rangga, Pandan Wangi tetap mencari. Hanya saja, orang yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ditemukan. Dan memang, dia tidak melihat adanya seorang laki-laki tua yang seperti disebutkan Rangga padanya.
"Ayo, kita cari tempat yang lebih baik," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
Pandan Wangi ikut berdiri. Sementara, Rangga mengangkat tubuh gadis yang ditemukan dan meletakkannya secara telungkup di atas punggung kudanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menghampiri kudanya. Tapi gadis itu tidak juga menaiki kuda putihnya. Sedangkan Rangga sendiri sudah berjalan sambil menuntun kudanya, kemudian diikuti gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Kini mereka berjalan sejajar berdampingan.
Mereka terus berjalan sambil menuntun kuda masing-masing, keluar dari Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Sementara suasana di luar juga masih tetap sunyi seperti tadi, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Tapi kesunyian itu sudah tidak lagi membuat khawatir, karena mereka sudah yakin kalau tidak ada seorang pun yang akan dijumpai lagi.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan Padepokan Merak Sakti, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat menyeberang jalan ini, tidak jauh di depannya. Dan kebetulan, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang melihatnya.
"Kau tunggu di sini, Pandan," ujar Rangga cepat-cepat.
"Heh...?!"
"Hup!"
Belum juga Pandan Wangi bisa mengucapkan sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi mengambil tali kekang kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu tidak berani melanggar pesan Rangga, sehingga tetap berada di tengah-tengah jalan sambil memegangi tali kekang kedua ekor kuda tunggangan mereka.

***

Sementara itu, Rangga sudah bisa melihat seorang laki-laki berlari menuju hutan di kaki Bukit Merak ini dengan kecepatan tinggi. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menggenjot tubuhnya. Kini, dia bagaikan terbang saja saat mengejar orang itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah cukup dekat dengan orang itu. Dan....
"Hup...!"
Sungguh sangat ringan dan cepat lompatan Rangga, hingga bisa melewati kepala orang yang dikejarnya. Lalu, begitu manis Pendekar Rajawali Sakti mendarat di depan buruannya.
"Berhenti...!"
"Oh...?!"
Orang itu tampak terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya menghadang seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggung. Seketika itu juga, larinya langsung dihentikan.
"Jangan lari, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu," ujar Rangga.
"Siapa kau? Aku tidak mengenalmu...," terdengar bergetar suara pemuda itu.
"Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini," sahut Rangga menjelaskan. "Dan kau siapa?"
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dengan bola matanya yang bersinar tajam, diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, dia tengah mencari kebenaran dari jawaban Rangga barusan. Hati-hati sekali sikapnya, ketika kepalanya berpaling ke belakang. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Kemudian kembali dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sekitar satu batang tombak di depan.
"Kau pasti bukan penduduk Desa Bangkalan ini," tebak pemuda itu lagi.
"Memang. Aku datang dari jauh, dan kebetulan saja lewat di desa ini. Tapi aku merasa heran, karena tidak menemui seorang pun di sini. Baru kau saja yang kutemui, Kisanak," jelas Rangga, tenang.
"Lalu..., siapa temanmu itu?" tanya pemuda itu lagi.
"Dia teman seperjalananku," sahut Rangga, langsung teringat Pandan Wangi yang ditinggalkannya bersama seorang gadis yang masih belum sadarkan diri.
"Dan yang terbaring di punggung kuda...?" tanyanya lagi.
Rangga tersenyum mendengar pertanyaan yang beruntun itu. Disadari kalau pemuda itu pasti sudah mengamatinya sejak tadi. Tapi, tampaknya dia tidak tahu kalau gadis yang terbaring pingsan di punggung kuda itu ditemukannya di Padepokan Merak Sakti yang ada di Desa Bangkalan ini.
"Aku tidak tahu namanya. Dia kutemukan dalam keadaan terluka parah di antara mayat-mayat yang ada di dalam Padepokan Merak Sakti," sahut Rangga baru menjelaskan, setelah melangkah beberapa tindak mendekati pemuda itu.
"Kau.... Kau sudah masuk ke sana...?" Pemuda itu tampak terkejut mendengar penjelasan Rangga barusan.
"Benar, kenapa...?"
"Kau pasti salah seorang dari mereka!"
Kali ini suara pemuda itu terdengar bergetar agak tertahan. Bahkan wajahnya pun jadi memerah, meregang kaku. Kedua bola matanya tampak berkilatan, bersinar tajam menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Sedangkan kedua tangannya langsung terkepal, menampakkan urat-urat kejantanannya yang membiru dan menonjol. Sementara, Rangga agak terkejut juga melihat perubahan sikap pemuda itu, setelah menjelaskan tentang gadis yang ditemuinya di dalam Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Dan belum sempat Pendekar Rajawali Sakti berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja....
"Kau harus mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat..!"
"Heh...?! Tunggu...!"
Tapi, pemuda yang belum menyebutkan namanya itu sudah lebih cepat melompat menyerang. Langsung dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan cepat sekali. Mendapat serangan mendadak ini, membuat Rangga terpaksa harus melompat mundur sambil meliukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gencar pemuda ini.
"Hap!"
Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang memang hanya digunakan untuk menghindar. Dengan jurus ini, tidak mudah bagi lawan untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti, meskipun gerakan-gerakan yang dilakukan seperti tidak beraturan sama sekali. Bahkan seperti orang yang kebanyakan minum arak.
Sampai sejauh ini, serangan-serangan gencar yang dilancarkan pemuda itu tidak juga berhasil mendapatkan sasaran tepat. Semuanya dapat mudah dimentahkan Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan menggunakan satu jurus saja.
"Tunggu dulu, Kisanak. Kenapa kau menyerangku...?"
Rangga berusaha menghentikan serangan-serangan pemuda itu, tapi sama sekali tidak dihiraukan. Bahkan pemuda yang tidak dikenalnya itu semakin gencar melancarkan serangan. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang semakin terasa dahsyat saja.
"Ups..!"
Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan pemuda itu menghantam dada. Untungnya, Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi satu sodokan tangan kiri ke arah perut. Begitu cepat sodokan yang diberikan, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Desss!
"Ugkh...!"
Pemuda itu kontan mengeluh pendek. Dan tubuhnya jadi terbungkuk, terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya langsung mendekap perut yang terkena sodokan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Rangga sudah melompat cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Lalu, dengan cepat pula dilepaskannya satu totokan yang disertai pengerahan tenaga dalam ke tubuh pemuda itu.
Tukkk!
"Akh...!"
Pemuda itu sempat terpekik kecil, lalu tubuhnya langsung ambruk begitu jalan darahnya tertotok. Rangga bergegas menghampiri. Sementara pemuda itu sudah tergeletak tak bertenaga lagi, begitu jalan darahnya tertotok.
"Maaf, aku terpaksa melumpuhkanmu sementara," ucap Rangga buru-buru.
"Phuih...!" pemuda itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sinar matanya menyorot begitu tajam, memancarkan kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti.
Walaupun tahu, tapi Rangga tidak membalas sorot mata penuh kebencian itu. Bahkan diberikannya senyuman yang lembut penuh persahabatan. Sikap lembut Pendekar Rajawali Sakti ini membuat pemuda itu jadi keheranan juga. Terlebih lagi pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak membunuhnya, tapi hanya menotok jalan darahnya saja. Sehingga, seluruh tenaganya lenyap seketika. Dan kini, tubuhnya bagaikan tidak memiliki tulang lagi. Begitu lemas, sampai sulit digerakkan.
"Kenapa kau tidak membunuhku...?!" dengus pemuda itu bertanya.
"Aku bukan pembunuh, Kisanak," sahut Rangga tetap kalem, tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun juga.
Sementara, pemuda itu terus memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata yang kini berubah memancarkan rasa curiga dan penuh selidik. Tapi, Rangga tetap saja tersenyum.
Saat itu, terdengar suara langkah kaki kuda dan langkah kaki ringan. Rangga berpaling sedikit ke arah datangnya suara yang didengarnya. Kini, tampaklah Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Dan di atas punggung kuda Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti tampak tertelungkup seorang gadis bertubuh kecil mungil dengan kulit sangat putih dan halus. Sangat pas dengan warna pakaian yang dikenakannya, walaupun pakaiannya tercemar bercak-bercak darah.
Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di belakang Rangga yang berjongkok di samping kanan pemuda yang dikejarnya tadi. Dan sekarang, pemuda itu tergeletak lumpuh tak berdaya sama sekali, setelah mendapat totokan yang cukup kuat dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil menatap pemuda yang masih tergeletak tak berdaya di tanah.
Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit "Kau belum memperkenalkan namamu, Kisanak," ujar Rangga.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Yang penting sekarang, kau harus enyah dari sini secepatnya!" kasar sekali nada suara pemuda itu.
"Kau masih terus mencurigaiku, Kisanak. Padahal, aku sudah menjelaskan siapa diriku yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat padamu. Bahkan merasa heran dengan keadaan di desa ini. Ketahuilah, Kisanak. Aku dan Pandan Wangi selalu berusaha membela yang lemah," kembali Rangga menjelaskan dengan gamblang.
"Benar, Kisanak. Kalau kau mau memberi tahu peristiwa yang telah terjadi di desa ini, barangkali saja kami bisa membantumu. Syukur kalau bisa memulihkan keadaan seperti sediakala," selak Pandan Wangi menyambung ucapan Rangga.
"Kalian benar-benar bukan orang jahat..? Bukan salah satu dari mereka?"
Tampaknya pemuda itu masih juga belum percaya. Dan dia masih ingin memastikan kalau kedua orang yang tidak dikenalnya itu memang benar-benar bukan orang jahat. Bahkan bisa membantu memulihkan keadaan di Desa Bangkalan yang terasa begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.
Cukup lama juga pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan-akan masih juga diliputi keraguan. Hatinya ingin diyakini, tapi tidak tahu cara yang benar untuk menunjukkannya. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Kemudian, terlihat kepala mereka menggeleng perlahan beberapa kali.
"Aku akan membebaskan totokanmu, Kisanak," ujar Rangga.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung membebaskan totokannya pada pusat aliran jalan darah pemuda itu. Sebentar saja, pemuda yang belum diketahui namanya itu sudah bisa menggeliat. Kemudian, dia bergegas bangkit berdiri. Kakinya lalu ditarik dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada gadis yang masih tertelungkup di punggung kuda hitam Dewa Bayu.
"Hm.... Apakah dia Lastri...?" gumam pemuda itu. Nada suaranya sepreti bertanya pada diri sendiri.
"Aku tidak tahu, Kisanak. Dia kutemukan terluka sangat parah. Bahkan sampai kini belum juga sadarkan diri," jelas Rangga, tanpa diminta.
Kembali pemuda itu memandang Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kakinya melangkah menghampiri gadis yang masih pingsan, tertelungkup di punggung kuda Dewa Bayu. Memang sulit mengenalinya, karena wajahnya tidak terlihat sedikit pun juga. Kini diangkatnya sedikit kepala gadis itu, hingga wajahnya dapat terlihat cukup jelas. Seketika itu juga, matanya terbeliak sambil terpekik kecil.
"Kenapa kau, Kisanak?" tanya Rangga seraya cepat menghampiri.
"Benar.... Dia Lastri. Putri Eyang Banaspati," jelas pemuda itu seraya memutar tubuhnya. Kini dia menghadap langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. "Di mana kalian menemukannya?"
"Di reruntuhan padepokan Eyang Banaspati," sahut Rangga.
"Di sana juga banyak mayat," sambung Pandan Wangi.
Tampak jelas kalau wajah pemuda itu langsung memucat mendengar penjelasan kedua pendekar muda ini. Perlahan kakinya ditarik ke samping, menjauhi Rangga dan kuda hitam Dewa Bayu.
"Kenapa, Kisanak? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu...?" tanya Rangga, keheranan.
"Kalian akan mendapat celaka bila menolongnya. Sebaiknya, kalian pergi saja dari sini dan tinggalkan dia...," terdengar bergetar suara pemuda itu.
"Kisanak! Sejak tadi kau bersikap aneh. Dan kata-katamu juga tidak bisa kumengerti. Kenapa kau berkata begitu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini, hingga membuatmu tampak begitu ketakutan?" tanya Rangga meminta penjelasan.
Tapi pemuda itu tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga beberapa saat, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, pandangannya pun berganti pada gadis bernama Lastri yang masih tertelungkup tidak sadarkan diri di punggung kuda hitam Dewa Bayu. Kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih memandanginya, menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Namaku Jalakpati. Aku sebenarnya juga bukan penduduk desa ini. Kedatanganku ke sini justru untuk menuntut ilmu pada Eyang Banaspati yang mengetuai Padepokan Merak Sakti. Tapi, Eyang Banaspati tidak langsung menerimaku dan ingin menguji dulu. Aku diminta menunggu untuk beberapa waktu. Entah untuk berapa lama harus menunggu, maka kuputuskan untuk tetap berada di desa ini sampai Eyang Banaspati bersedia menemuiku lagi. Tapi...," pemuda yang mengenalkan diri sebagai Jalakpati itu menghentikan kata-katanya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya terdiam saja memandangi. Mereka menunggu kelanjutan cerita pemuda itu.

***

89. Pendekar Rajawali Sakti : Pedang HalilintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang