BAGIAN 7

413 23 0
                                    

Pertarungan antara Rangga dan Pendeta Gondala kembali berlangsung sengit. Mereka kali ini langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi pertarungan tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda sedikit pun kalau pertarungan itu bakal berhenti.
Dan setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, Pendeta Gondala kembali menghentikan pertarungan. Dia melompat ke belakang sejauh satu setengah batang tombak. Sementara Rangga juga tidak mau meneruskan pertarungan. Dia berdiri tegak, menanti apa yang akan dilakukan pendeta tua itu.
Pendeta Gondala sendiri juga masih tetap berdiri tegak. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata seakan-akan tidak percaya, kalau pemuda yang sangat jauh lebih muda sekali usianya mampu menandinginya sampai puluhan jurus. Bahkan sudah hampir semua kepandaian yang dimilikinya dikerahkan, tapi belum juga mampu mendesak pemuda itu. Malah Rangga juga menghadapinya tanpa mencabut senjata pusaka. Hal ini membuat Pendeta Gondala jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Tapi sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan tengah meyakinkan diri sendiri dengan apa yang sedang dihadapinya.
"Anak muda, katakan sejujurnya. Siapa kau sebenarnya...?!" tanya Pendeta Gondala.
Kali ini nada suaranya terdengar sangat lain. Terasa jelas sekali, seakan-akan tidak yakin akan dirinya.
"Rasanya aku tadi sudah mengenalkan diri padamu, Paman Pendeta. Namaku Rangga. Dan aku hanya seorang pengembara yang kebetulan saja lewat di tempat ini," sahut Rangga kembali memperkenalkan diri.
"Hm.... Melihat dari cara bertarungmu, kau tentu seorang pendekar yang berilmu sangat tinggi. Dan kau pasti punya julukan. Apa nama julukanmu, Anak Muda...?" tanya Pendeta Gondala lagi
Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dia memang paling enggan menyebutkan julukannya sendiri. Bukannya tidak senang, tapi tidak ingin menyombongkan diri dengan menyebutkan julukannya yang sudah terkenal dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan.
"Anak muda! Jurus-jurus yang kau miliki tadi, sepertinya pernah kulihat. Tapi...," suara Pendeta Gondala langsung terputus. Pendeta Gondala menatap Rangga dengan sinar mata penuh selidik. Perlahan kakinya terayun. Dan senjatanya kini sudah kembali melingkar di pinggang, menjadi ikat pinggang yang kelihatannya tidak memiliki keistimewaan sama sekali. Tapi, ikat pinggang itu tadi sangat dahsyat. Bahkan hampir saja Rangga mencabut pedang pusakanya, kalau saja Pendeta Gondala tadi tidak cepat-cepat menghentikan pertarungan.
"Terus terang saja padaku, Anak Muda. Apakah kau yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Pendeta Gondala, seakan-akan ingin meyakinkan diri sendiri dengan pertanyaan yang terlontar tadi.
"Kenapa kau terus mendesakku dengan pertanyaan seperti itu, Paman?" Rangga malah balik bertanya.
"Kau akan tahu, kalau sudah menyebutkan julukanmu, Anak Muda," sahut Pendeta Gondala juga masih bermain rahasia.
"Hm...," Rangga menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti terdiam beberapa saat, dan memandangi pendeta tua itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan ingin ditebaknya, apa maksud dari pendeta tua ini hingga terus-menerus mendesak ingin mengetahui julukannya.
Sedangkan Pendeta Gondala sendiri malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam. Dan dari sorot matanya, jelas terlihat kalau tengah menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
Sementara, Rangga masih tetap diam membisu. Sepertinya Pendekar Rajawali Sakti juga merasa keberatan untuk menyebutkan julukannya sendiri. Entah kenapa, dia jadi merasa enggan untuk menyebutkannya.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tahu, kau pasti merasa keberatan menyebutkan julukanmu," kata Pendeta Gondala membuka suara lebih dahulu. "Aku akan mengalah sedikit padamu, Anak Muda."
Rangga masih tetap membisu, dan terus memandangi pendeta tua itu dengan sinar mata yang sama sekali tidak berubah. Tetap terlihat menyorot tajam, penuh nada menyelidik.
Sementara, Pendeta Gondala mengayunkan kakinya perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya baru berhenti, setelah jaraknya tinggai sekitar lima langkah lagi. "Begini, Anak Muda. Sebenarnya aku sedang mencari seseorang yang...."
Belum juga kata-kata Pendeta Gondala selesai, tiba-tiba saja dari mulut gua melesat secercah sinar bagai kilat. Begitu cepat sekali sinar itu meluruk ke arah pendeta tua ini. Dan Rangga yang melihat kelebatan sinar kilat itu langsung saja melesat. Gerakannya cepat luar biasa, hingga sukar diikuti mata biasa.
"Hap...!"
Brukkk!
Rangga langsung jatuh bergulingan, begitu berhasil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan mereka terus bergulingan di tanah beberapa kali, sementara cahaya-cahaya kilat terus berhamburan mencari sasaran. Akibatnya kedua laki-laki yang baru sekali bertemu itu harus bergulingan di tanah menghindarinya.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga melesat ke atas sambil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya, jauh dari mulut gua. Dan cahaya-cahaya kilat tadi langsung berhenti melesat dari mulut gua yang aneh itu.
"Phuuuh...!" Rangga menghembuskan napasnya dengan berat. Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya beberapa langkah dari Pendeta Gondala. Tampak bibir pendeta tua itu menyunggingkan senyum. Dan begitu Rangga melihatnya, keningnya langsung berkerut. Dia jadi heran melihat senyum terukir di bibir laki-laki tua berpakaian pendeta itu.
"Kenapa kau tersenyum, Paman?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Walaupun masih ragu-ragu akan dirimu, tapi aku sudah begitu yakin melihat kemampuanmu, Anak Muda. Kau begitu hebat. Mampu bergerak cepat, tanpa sempat kusadari," kata Pendeta Gondala.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Paman...," ujar Rangga meminta penjelasan.
"Rasanya memang tidak bisa lagi diragukan. Sekarang ini, hanya ada satu orang yang bisa bergerak begitu cepat. Hm.... Katakan, agar aku benar-benar merasa yakin, Anak Muda. Siapa julukanmu sebenarnya...?"
Rangga jadi tertegun mendengar pertanyaan itu. Sedangkan semua pertanyaannya belum juga terjawab, tapi Pendeta Gondala sudah memberi pertanyaan lagi yang bernada mendesak. Dan itu membuat Rangga semakin tidak mengerti. Segala gerak-gerik dan semua yang diucapkannya selalu menyimpan teka-teki yang sulit sekali diterka.
"Benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda?" tanya Pendeta Gondala ingin memastikan, melihat Rangga hanya diam saja memandangi.
"Benar," sahut Rangga akhirnya mengalah juga.
"Hm.... Boleh kulihat pedangmu yang terkenal itu?" pinta Pendeta Gondala.
"Untuk apa...?" tanya Rangga.
"Hanya ingin memastikan saja, Anak Muda," sahut Pendeta Gondala seraya tersenyum. "Sebab, penampilan luar saja bisa mengelabui mata seseorang. Tapi, sesuatu yang hanya ada satu di dunia ini, tidak bisa membohongi orang. Dan Pedang Pusaka Rajawali Sakti hanya ada satu-satunya di dunia. Jadi, hatiku baru merasa yakin kalau kau sudi memperlihatkan pedang pusaka yang ampuh itu."
Rangga terdiam dengan kening berkerut beberapa saat. Kata-kata yang diucapkan Pendeta Gondala barusan memang terasa aneh sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti juga tidak ingin mengecewakan orang tua ini. Terlebih lagi, di dalam kepalanya ada dugaan kalau pendeta tua itu tidak bermaksud buruk padanya. Dan pasti, ada sesuatu yang sangat tersembunyi, sehingga begitu gigih ingin mengetahui tentang diri pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini.
Sret!
Perlahan Rangga mencabut pedang pusakanya yang selalu tersimpan dalam warangka di punggung. Dan baru saja tercabut setengah, cahaya biru yang berkilauan menyilaukan mata sudah terlihat membersit keluar. Begitu terangnya, sampai-sampai Pendeta Gondala terlompat ke belakang dua langkah sambil menghalangi kedua matanya dengan tangan kanan.
"Cukup...!" sentak Pendeta Gondala.
Cring!
Rangga kembali memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Padahal, belum seluruhnya tercabut. Kini Pendeta Gondala menurunkan lagi tangan kanannya. Senyum di bibirnya tampak semakin lebar terkembang. Sedangkan Rangga memandangi wajah pendeta tua itu dengan kelopak mata agak menyipit
"Dewata Yang Agung.... Kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti yang selalu datang dalam mimpiku hampir setiap malam. Ternyata, kaulah pemuda yang selama ini kunanti-nantikan...," desah Pendeta Gondala disertai hembusan napas panjang sekali.
Sementara, Rangga masih tetap diam memandangi. Sinar matanya tampak memancarkan ketidakmengertian. Saat itu, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri. Tangan kanannya segera diulurkan, dan ditepuknya pundak Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap penuh persahabatan.
"Ayo, duduk di sana. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Dan ini sangat penting," kata Pendeta Gondala mengajak, sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang tidak jauh darinya.
Rangga tidak menjawab sedikit pun juga. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri pohon itu, lalu duduk di bawahnya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi. Beberapa saat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, lalu duduk bersila tidak jauh di depan pendeta tua ini.
"Maaf, aku tadi menyerangmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tadi hanya ingin menguji kebenaran dugaanku," ucap Pendeta Gondala, setelah keadaan kembali menjadi tenang tanpa terselimut ketegangan.
"Katakan saja yang sebenarnya arti semua ini, Paman," pinta Rangga langsung.
"Aku sedang berada dalam kesulitan, Pendekar Rajawali Sakti...."
"Panggil aku Rangga saja," selak Rangga meminta.
"Baiklah, Rangga."
"Katakan, Paman. Apa kesulitanmu?"
"Pusaka dari Persatuan Para Pendeta Selatan telah hilang dicuri orang. Sedangkan saat itu, aku sendiri yang bertugas menjaganya. Dan seluruh anggota meminta agar aku harus mengembalikan pusaka itu, atau harus bunuh diri," Pendeta Gondala mulai mengutarakan kesulitannya.
"Hm.... Pusaka apa itu, Paman?" tanya Rangga seraya menggumam.
"Sebilah pedang."
"Hanya sebilah pedang...?"
"Ya! Tapi, itu bukan pedang biasa, Rangga. Namanya, Pedang Halilintar. Pedang itu mempunyai satu kekuatan yang sangat dahsyat. Kau sendiri sudah merasakannya...," Kata Pendeta Gondala sambil menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Maksud, Paman...?" Rangga masih juga belum mengerti.
"Pedang Halilintar itu kini berada dalam gua bersama pencurinya."
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik ke arah gua yang berada sekitar delapan batang tombak di sebelah kirinya. Tampak mulut gua itu masih kelihatan aneh dan mengerikan. Dan memang, sudah beberapa kali serangan-serangan dari lecutan cahaya kilat yang muncul dari dalam gua itu harus dihadapinya.
Namun sama sekali Rangga tidak menyangka kalau lecutan cahaya kilat itu berasal dari sebilah pedang yang bernama Pedang Halilintar, milik Persatuan Para Pendeta Selatan. Dan yang pasti, pedang itu sangat berharga. Sampai-sampai seluruh anggota Persatuan Para Pendeta Selatan menginginkan pedang itu kembali, atau Pendeta Gondala yang bertanggung jawab harus membunuh dirinya sendiri. Hal itu karena kelalaiannya, tidak bisa menjaga Pedang Halilintar dari tangan pencuri.
"Lalu, apa yang kau harapkan dariku, Paman?" tanya Rangga.
"Hanya kau yang bisa mengembalikan pedang itu ke dalam puri, Rangga. Dan itu kuketahui dari mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam setiap tidurku. Mimpi itu terus muncul, sampai kau sekarang datang ke sini," sahut Pendeta Gondala.
"Paman yakin itu?"
"Ya! Hanya kaulah yang mampu."
Rangga kembali terdiam. Sedangkan Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Cukup lama mereka terdiam. Dan tanpa disadari, mereka sama-sama memandang ke arah mulut gua yang kelihatan gelap, sedikit tertutup semak belukar yang sudah luring.
"Siapa pencuri Pedang Halilintar, Paman?" tanya Rangga ingin tahu.
"Jaka Anabrang," jelas Pendeta Gondala. "Dia bukan orang lain bagi kami para pendeta. Dia adalah murid utama yang selama ini selalu dipercaya."
"Hm.... Kenapa dia bisa mencuri pedang itu?" tanya Rangga lagi.
"Dia sakit hati."
"Sakit hati...?"
"Ya! Sakit hati karena kami tidak dapat membela adiknya yang dijatuhi hukuman mati."
Rangga berpaling menatap Pendeta Gondala.
"Jaka Anabrang meminta kami para pendeta untuk membebaskan adiknya dari hukuman gantung. Namun kami tidak bisa berbuat banyak, karena kesalahannya memang sangat besar. Dia membunuh putra seorang patih, hanya karena perselisihan dalam berjudi. Kau tahu sendiri, Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa membebaskan orang lain dari hukuman karena kesalahan seperti itu. Tapi, Jaka Anabrang tidak peduli, dan tetap menuntut kami para pendeta membebaskan adiknya. Dia minta agar kami bersedia menampungnya, dan memberinya ilmu-ilmu olah kanuragan serta ilmu-llmu kedigdayaan. Tapi, permintaannya kami tolak, dan dia merasa sakit hati," jelas Pendeta Gondala panjang lebar.
"Hm.... Lalu, dia mencuri Pedang Halilintar...?" suara Rangga terdengar menggumam.
"Benar! Dengan pedang itu, dia sudah berhasil membunuh lima orang anggota kami para pendeta. Bahkan bermaksud menguasai dunia dengan pedang itu. Dan, hanya kau saja yang mampu menghentikannya, Rangga. Karena, kau memiliki pedang pusaka yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar."
Rangga kembali terdiam. Benar-benar sulit dimengerti, kenapa Pendeta Gondala begitu yakin kalau dia orang satu-satunya yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Padahal, Rangga sendiri belum pernah melihat bentuk pedang itu. Tapi melihat yang berkata seorang pendeta, Rangga tidak bisa menolak. Terlebih lagi, Pendeta Gondala sudah terang-terangan meminta bantuannya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Jaka Anabrang.
"Baiklah, Paman. Aku akan mencobanya," ucap Rangga akhirnya.
"Terima kasih, Rangga. Aku benar-benar mengharapkan kau bisa merebut pedang itu dari tangan Jaka Anabrang. Masalahnya, jika dibiarkan akan semakin banyak orang yang mendengar tentang pedang itu. Dan tentu saja akan semakin banyak pula yang ingin memilikinya. Maka, dunia ini akan semakin kacau, jika semua orang ingin memiliki pedang itu," sambut Pendeta Gondala gembira, juga khawatir.
Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum. Mungkin karena hal seperti itu sudah terlalu sering dihadapi. Sebuah benda yang memiliki kesaktian dan pamor dahsyat menjadi rebutan orang-orang persilatan. Dan kalau mendengar cerita dari Pendeta Gondala dan juga apa yang telah disaksikannya, rasanya Pedang Halilintar memang tidak bisa dipandang ringan kemampuannya.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Pandangannya terus tertuju ke arah mulut gua yang kelihatan gelap menghitam pekat, seperti tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Tapi gua itu sangat berbahaya untuk didekati. Dan baru saja kaki Rangga terayun dua langkah, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat dari kejauhan. Derap kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Kemudian, terlihat debu dan dedaunan kering beterbangan ke udara. Rangga berpaling menatap ke arah kepulan debu itu. Dan tak lama kemudian, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda, memacu cepat kudanya menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti berdiri.
"Hooop. .!"
Gadis cantik yang tak lain Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kuda putihnya, setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia langsung mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga. Sementara itu, Pendeta Gondala sudah berdiri. Tapi dia tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya.
"Pandan, kenapa kau ke sini...?" tegur Rangga langsung.
"Aku khawatir padamu, Kakang. Sudah lama kau pergi," sahut Pandan Wangi.
"Bagaimana Lastri?"
"Dijaga Jalakpati. Kalau sudah sembuh, Jalakpati akan membawanya ke padepokannya yang dulu," jelas Pandan Wangi, singkat
Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sebentar matanya melirik Pendeta Gondala. "Kau tunggu di sana bersama Paman Pendeta Gondala, Pandan," ujar Rangga.
Belum juga Pandan Wangi berbicara, Rangga sudah melompat cepat sekali. Dilewatinya atas kepala gadis itu, dan tahu-tahu Rangga sudah berada tidak jauh di depan mulut gua. Pandan Wangi hanya bisa terpaku memandangi. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini.

***

89. Pendekar Rajawali Sakti : Pedang HalilintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang