Aplomb

1K 119 11
                                    

Sasuke tak pernah mengenal Sakura lebih dari teman satu sekolah atau rekan satu ekstrakulikuler yang terkadang bisa diajak kerjasama. Ia tak pernah memberikan atensi lebih, meski beberapa kali suara-suara lain berbisik bahwa Sakura adalah pemain piano handal, bahwa Sakura ketua perhimpunan siswa, bahwa Sakura adalah teman dari Uzumaki Naruto yang cantik dan juga (ehm) seksi. Sekali pun, Sasuke tidak pernah memikirkannya lebih jauh.

Tidak sampai hari ini.

Ketika langkahnya hampir sampai di gerbang Konoha Gakuen dan hujan datang tanpa peringatan rintiknya yang kasual.

Maka Sasuke memperhatikan.

Hujan turun begitu saja, membawa serta semilir angin yang mengembus main-main dirambutnya. Payung lipat yang ia gunakan tidak benar-benar berguna, sepatu dan celananya nyaris kuyup.

Sial, ia mengumpat. Seharusnya ia memang tak usah mendengarkan Naruto. Seharusnya ia ikut pulang bersama Itachi. Seharusnya ia tidak datang untuk mengambil proposal yang akan digunakan dalam rapat tahunan organisasi.

Naruto bahkan tidak mau menemaninya, berargumen "ini sudah sore Sasuke, ibuku pasti akan mengomel. Kau saja sana, kau kan ketua"

Dasar tidak punya pripersahabatan.

Namun ia sudah sampai sini, dengan baju kuyup di sana-sini. Dan sendiri. Ia menatap gerbang Konoha Gakuen yang berdiri kokoh, setengahnya sudah tertutup, disambut dengan petir-petir di sekitar.

Dan Sasuke memutuskan untuk kembali meneruskan langkahnya, biarlah, sudah telanjur dan basah kuyup juga, dan yang ia perlukan sekarang hanyalah mengambil proposal di lemari dan pulang; atau mungkin bertemu dengan salah satu (atau beberapa) anak-anak dari klub musik yang sedang berlatih.

Tapi sore itu—mungkin memang karena jam pulang sekolah sudah lewat dari setengah jam yang lalu—Sasuke mendapati Konoha Gakuen begitu sepi. Hanya suara hujan mendominasi.

Hanya tersisa beberapa anak dari klub tertentu yang tengah berteduh di dalam kelas. Ia sendiri masih berusaha meneruskan langkah, walau dengan tatap-tatap memuja dan heran disekitar (lihat saja seragamnya yang kuyup! belum lagi jejak air karena sepatu yang ia pakai menghiasi lantai putih).

Sasuke ingin mengstagnasikan langkah, mungkin—sedikit berlari ke ruang klub musik yang biasanya ia gunakan, tapi, dengan melihat tatap-tatap heran itu, Sasuke membatalkan keinginannya.

Dan di belokan koridor berikutnya itulah, ia, pada akhirnya, melihat entitas familier. Berjalan cepat dengan tas selempang di pundak. Matanya indah—seperti emerald, dan rambutnya yang merah muda membuat Sasuke begitu yakin, bahwa sosok yang dilihatnya dari sini adalah Haruno Sakura.

Sasuke mempercepat langkah, berlari gegas tak peduli tetes-tetes air jatuh dari bajunya yang basah, menggenangi sedikit-demi sedikit lantai koridor yang sudah agak licin. Ketika jarak mereka semakin dekat, Sasuke mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh pelan bahu gadis itu.

"—Sakura?"

Yang dipanggil berjengit barang sebentar, alisnya mengerut dan perlahan wajahnya membentuk transfomasi kentara dari heran, pelan, pelan, pelan, menuju senyum yang menawan.

"Sasuke?"

Sakura punya banyak kriteria, yang mungkin, dapat membuat para lelaki jatuh cinta; penuh senyum dan uar-uar positif, penuh keceriaan dan supel dalam berkonversasi, baik, dan ia sopan, juga cantik. Tapi Sasuke menyimpan rapat-rapat asumsi terakhirnya, opini terakhir hanya membuatnya terdistraksi akan keadaan saat ini.

"Hari ini latihan klub wanita, jadi mereka mungkin sedang berkumpul." Sakura mengujar dihadapannya, matanya yang hijau bercahaya, membuat Sasuke hampir tak sadar bahwa mendung di luar sana menelan segala cahaya yang ada sore ini.

"Kau tidak bersama Ino?" Ia bertanya pelan, menahan diri untuk tak duduk di sebelah Sakura (mereka berada di ruang penyimpanan alat musik dan berkas-berkas yang dibutuhkan klub). "Maksudku, kau selalu terlihat bersamanya." Sasuke memberi satu ungkapan lagi.

Sakura membalasnya dengan senyum di mata. "Ino absen hari ini, katanya Sai ulangtahun hari ini. Mungkin mereka akan kencan."

Sasuke hanya mengerutkan alisnya, mencoba membuang jauh-jauh pemikiran bahwa seorang seperti Ino yang digilai pria manapun tunduk dengan teman menyebalkannya itu. Tapi, pikirannya malah meluas pada satu pertanyaan baru; apa Sakura juga sudah punya kekasih? Tiba-tiba saja ia merasa sangat penasaran.

"Jadi ... Sasuke ada perlu apa ke sini?" Suara Sakura hampir hilang ditelan resonansi hujan. Juga angin yang ketika itu lewat. Matanya masih menatap pada Sasuke yang duduk di hadapannya.

"Ah. , Aku ingin mengambil proposal organisasi?" Sasuke mengambil proposal yang sedari tadi tertumpuk di meja. "Untuk rapat besok—hatciii—"

Ada hening singkat yang membenteng di antara keduanya. Satu, dua, tiga, lima, sepuluh detik, sebelum akhirnya satu tawa meluncur dalam tremor-tremor singkat yang melesap. Di sana, di hadapannya, Sasuke melihat Sakura yang tertawa sampai kedua matanya tertutup rapat.

Sasuke jadi malu. Namun merasa ingin tertawa bersama gadis itu.

"Ahahaha—, maaf-maaf, sasuke." Sakura berusaha menutup mulutnya ketika mengatensi ekspresi Sasuke yang serba salah. "Eh, Sasuke hujan-hujanan, ya?"

Sakura berdiri, dengan ringan mendekat kepada Sasuke yang tetiba menegakkan tubuh. Dalam sepersekian detik berikutnya, tangan gadis itu terangkat dan menyentuh hati-hati pada ujung seragam Sasuke.

Saat itulah, untuk pertama kalinya, Sasuke merasa ritme aneh yang menyenangkan di rongga dadanya.

Ia menatap lama pada jemari Sakura yang lentik, masih mengikutinya bahkan ketika Sakura mengelap lembut tisu di bajunya berharap bisa sedikit mengeringkan.

"Tidak baik memakai pakaian basah seperti ini," katanya. Lalu matanya beralih pada wajah Sakura, yang berbalik untuk beberapa saat, mengambil sesuatu pada tasnya, dan kembali dengan satu potong jaket di tangan. "Ini punya Gaara, sih, tapi lebih baik pakai ini daripada Sasuke basah-basahan seperti itu."

Sasuke menatap jaket merah gelap yang disodorkan Sakura. Masih terlipat rapi, mungkin juga belum dipakai si empunya. Ada sedikit rasa gengsi menghampiri mengingat jaket yang diberikan Sakura adalah milik Gaara, rivalnya (yang sebentar lagi akan menjadi rival sesungguhnya, kalau kalian mengerti) namun senyum Sakura yang tulus dan tatapannya yang serius entah bagaimana membuatnya luluh.

Membuatnya merasa—dipedulikan.

Belum lagi debar-debar di dada ini—ia benar-benar tak ingin menolak kebaikan Sakura.

Pada akhirnya, meski masih dengan tanya-tanya yang menggantung di otak (kenapa jaket Gaara ada di tas Sakura?) Sasuke mengambil alih jaket itu, membuka serta kemejanya yang basah dan menggantinya dengan jaket milik Gaara.

Masih dengan suara rintikan hujan yang mulai berkurang intensitasnya, Sasuke tak menyadari ada yang berubah pada wajah Sakura. Ia tak menyadari rona kemerahan di belah-belah pipi gadis itu, ia tak menyadari, bahwa—meski sudah berkali-kali melihat berbagai jenis perut kotak-kotak milik siswa lain yang akan berenang, pemandangan tadi tetaplah dosa (manis) yang membuat Sakura berdebar-debar tak terkendali.

"Terima kasih." Sasuke mengujar dengan senyum-senyum tipis. "Aku berniat pulang dengan menembus hujan, tapi mungkin—tidak jadi."

Sakura tertawa kecil, masih dengan rona di wajah yang tak Sasuke sadari. "Sama-sama, Sasuke." Gadis itu tak menatap mata Sasuke ketika melanjutkan. "Aku tidak akan bilang Gaara untuk yang satu ini."

"Akan kukembalikan secepatnya nanti."

Sakura melambaikan tangannya cepat-cepat. "Tidak-tidak, santai saja. Gaara juga tidak akan menagih."

"Tapi aku tetap ingin mengembalikan secepatnya." Sasuke kekeuh dalam afirmatifnya. Membuat Sakura menatapnya dalam batas heran. Dalam rintik yang semakin berubah menjadi gerimis, Sasuke melanjutkan. "Supaya bisa bertemu denganmu lagi ... secepatnya."

Sakura merona hebat, namun sentuhan sekilas Sasuke dijemari membuat senyumnya menguar dengan kepak-kepak baru di sudut dadanya.

Suatu hari, di mana hujan turun dan Sasuke basah kuyup, ada cinta yang datang dan diam-diam menyusup.




She acts like summer and walk like rain.


(end.)

The Smell After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang