Equanimity

688 106 11
                                    

Sasuke menyukai hal-hal seperti ini;

Sore hari yang mendung, rintik hujan yang malu-malu, aroma Sakura yang melebihi keringat di seragamnya.

Mereka terjebak diantara halte kosong dan suara klakson sana sini, udara terlalu memanjakannya sehingga yang Sasuke lakukan adalah bersandar di kursi untuk sekadar memperhatikan Sakura disebelahnya—memperhatikan Sakura yang asik merapalkan kata dari kabel putih di telinga, menarik ujung jaket untuk kemudian membungkus tubuh rampingnya.

Gelitik senyum menghampiri bibirnya, melihat Sakura yang begitu (ehm) cantik terkadang membuatnya tak percaya; ah, mungkin ia sedang bermimpi. Bermimpi dikemudian hari melihat Sakura dengan balutan apron yang ternoda kuah sup tomat, jemari lentik penuh busa sabun cuci, helai rambut dikuncir tinggi-tinggi di atas tengkuk.

Tapi kenyataan selalu menamparnya lebih keras—sebut ia gila, karena tamparan ini terasa begitu nikmat—sebab kemudian ia menyadari, hal-hal itu bukanlah mimpi; cita-cita di masa depannya, hidup bersama Sakura, perempuan dengan uar-uar energik yang sepuluh tahun lalu masih menjadi gadis berisik yang terus menganggunya, gadis penuh senyum dengan kerut-kerut di kening lebarnya, gadis yang akan mengekorinya (dan Ino—sahabatnya) ketika mereka bertindak konyol, gadis ini—gadis yang sama.

"Sasuke-kun, setelah lulus kau ingin jadi apa?"

Suara hujan yang mulai deras hampir menenggelamkan suara tegas Sakura. Udara semakin dingin, Sasuke makin ingin lari kerumahnya. "Arsitektur"

Sakura menyeringai penuh arti, mengangkat tangannya yang menggenggam handphone. "Kenapa Arsitektur?"

Sasuke menoleh, menangkap raut-raut penasaran di wajah gadis merah mudanya, membuatnya tidak bisa menahan senyum. Mereka berhadapan, di sini, ia masih melihat hujan yang turun begitu lembut—membawa angin dan uaran petrikor yang semakin tipikal—juga payung warna warni yang mendekat dan menjauh.

Sasuke menggosok-gosok telapak tangan, kulitnya yang mendingin sedikit menghangat beberapa saat kemudian. Ia kemudian merasakan sentuhan Sakura di lengannya, mengusap lengannya yang dingin dengan begitu lembut.

Ini adalah hal lain yang ia sukai; ketika Sakura menekannya lembut. Ia rela Sakura menahannya disini sampai makan malam menjadikan lengannya taruhan—bagaimanapun ia tidak akan menolak. Bahkan ketika Sakura berulang kali mengeluh kesal kenapa pertanyaannua tidak di jawab, ia akan diam memperhatikan.

Mengujar hal-hal berisik berikutnya—, Sasuke tak apa, tak apa asal saat-saat seperti ini bisa ia nikmati seringkali.

"Jadi kenapa Arsitektur Sasuke-kun?"

"Kenapa pacarku cerewet sekali?"

Sasuke mendengar dengus-dengus kesal dari sampingnya, membuatnya terkekeh kecil dan memiringkan wajah untuk mengintip ekspresi Sakura—"Hei, jawab!"—Sakura mengeretak dan itu tidak membuat Sasuke membuka mulut.

Terkadang Sasuke ingin menstagnasikan waktu, di saat-saat seperti ini. Sore yang tenang, hujan yang deras (seolah mengingatkannya untuk tak perlu pergi kemana-mana), dengan Sakura di sisinya, berbicara dengannya, menguarkan cebik-cebik menggemaskan di bibirnya (lihat, senyumnya yang manis, pipinya yang merona dingin, dan kuncir rambutnya yang terlampau acak-acakan).

Meski mereka tak pernah berverbalisasi manis setiap waktu, tapi suasana ini lebih manis dari yang bisa Sasuke bayangkan. Ia bisa merasakan renjana yang menguar dari sentuhan Sakura, afeksinya yang samar namun begitu pekat, senyumnya yang tersembunyi di balik lesap-lesap mata.

"Sasuke kun?"

Di saat-saat seperti ini ia membayangkan, bahwa bersama Sakura saja, dunia sudah bisa ia dekap. Bahwa ada masa di mana semua orang menjadi gila akan dunia, Sasuke akan tetap waras bersama Sakura di sisinya (mungkin bonus satu atau dua entitas mungil yang menguarkan senyum selembut bunga Sakura musim semi atau sedamai musim dingin ), itu saja cukup. Sasuke tidak akan meminta apa-apa lagi.

Maka Sasuke menarik lengan Sakura, membiarkan jerit kecil Sakura yang tak siap. "Sasuke-kun, sepatuku basah!" Dan memeluknya erat, memiringkan wajah pada bahu beraroma bunga sakura, mengecupnya, berbisik lekat-lekat, "karena aku ingin membangun rumah impian kita, rumah untuk ucapan tadaima dan okaeri, rumahku dan juga Uchiha Sakura."

Sasuke mendengar kekeh kecil dari bibir Sakura, serta balas-balas dekap di sekitar punggungnya, "I love you ... to the moon and back" Dan saling berlomba mendekap erat masing-masing.

Sasuke memutuskan, satu diantara mimpinya, ada Sakura yang akan ikut berjalan disisinya—sampai mereka berhenti.

.

.

(end.)




645 kata.
// selamat membaca, saya lagi suka menulis dari sudut pandang Sasuke. Tidak ada hubungan dengan cerita sebelumnya //

The Smell After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang