TEN POV.
Pertemuan keluarga itu tidak berjalan baik. Jaehyun dan Taeyong menerima semua yang mereka berhak dapatkan. Warisan dan rasa malu. Sepertinya begitu. Mereka pulang dengan senyum yang dipaksakan dan wajah sembab karena tangisan. Jeno memeluk ibunya posesif karena melihat wanita itu menangis.
Abojie membantuku dan Bibi Son membersihkan ruang makan. Dia juga tidak terlihat senang. Kami saling menutup mulut sekian menit.
"Bagaimana pendapatmu tentang Taeyong, Ten?" Tanya abojie tiba-tiba. Aku meletakkan kembali piring kotor di meja makan karena terkejut.
"Taeyong eonnie... Selama saya tinggal bersamanya dia wanita baik abojie." Sudah cukup wanita itu mendapatkan perlakuan buruk. Aku tidak boleh memperlakukannya buruk juga di belakang.
"Dia baik padamu?"
"Iya. Jeno juga. Dia anak yang manis."
Abojie kembali terdiam. Bibi Son menyelesaikan semuanya sementara aku masih menunggu abojie berkata sesuatu. Mungkin untuk menutup pembicaraan singkat ini.
"Tentu saja walau dia baik, saya tidak terlalu menyukainya." Ucapku lagi dengan jujur.
"Itu wajar untuk tidak menyukai orang yang menyakitimu. Menurutmu wajar juga kan kalau seorang ibu tidak menyukai orang yang membuat anaknya melakukan hal buruk."
"Sebenarnya itu bukan salah Taeyong sepenuhnya abojie. Jaehyun juga...."
"Abojie tau... Iya, Jaehyun juga bersalah. Tapi lebih mudah untuk membenci orang lain dari pada membenci anak sendiri. Bukan begitu?"
Aku terdiam. Abojie benar. Meski perasaan itu salah karena hanya membenci satu orang dari dua orang yang berbuat salah, tetapi kenyataannya itu memang benar.
"Apa eommoni membenci Taeyong eonnie?" tanyaku. Aku rasa aku harus tahu yang sebenarnya. Jadi aku tidak kebingungan.
Abojie berjalan menuju ruang keluarga. Aku mengikutinya. Duduk di sebelahnya.
"Tidak ada orang di dunia ini yang tahu betapa bencinya istriku pada wanita itu. Kecuali aku." Beliau menatapku. "Apa kau senang dengan jawaban itu?"
"Saya tidak tahu...."
"Mungkin sekarang kau bingung. Jika eomma Jaehyun membenci Taeyong, lalu kenapa dia memberikan banyak barang berharga padanya. Iya kan?"
Benar. Itu benar. Karena barang-barang itu, Taeyong jadi berpikir eommoni menyukainya.
"Itu jebakan. Perhiasan itu tidak ada nilainya, kalau Taeyong cukup cerdas untuk memahami. Kedepannya, dia akan menggunakan perhiasan itu ketika pergi ke pesta-pesta. Tapi orang sudah lebih dulu mencapnya sebagai wanita buruk. Selanjutnya dia tidak akan punya muka untuk pergi ke pesta lagi, kehilangan kesempatan untuk memamerkan perhiasannya."
Aku terdiam. Tidak tau harus merespon bagaimana.
"Taeyong juga tidak akan bisa menjual perhiasannya. Sebagai menantu yang baik, dia tidak mungkin mungkin rela mempertaruhkan predikat menantu baik dengan uang ratusan juta won kan? Beban itu, beban moral itu. Apa kau memahaminya Ten?"
Apakah aku memahaminya? Sepertinya iya. Setelah kupikir lagi, di tangan Taeyong perhiasan itu memang tidak berharga lagi. Dipakainya akan terlihat rusak, dijualnya akan mencoreng namanya sendiri. Pada akhirnya, perhiasan itu hanyalah simpanan hidup yang tak bernilai. Seperti Lee Taeyong? Wanita yang disukai, baik tapi tak dipandang cantik. Jaehyun hanya bisa menyimpan wanita itu untuk diri sendiri, atau mempertaruhkan wajahnya hanya untuk memperlihatkan pada dunia wanita cantik yang dia punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasanqua [Johnten | Jaeten]
FanfictionWhen my husband came home with his second wife, my heart shattered into pieces Warning! Genderswitch!