Rush Hours

972 37 6
                                    

Derap langkah Tari berpacu dengan rintik hujan yang malam itu turun dengan derasnya di Jakarta. Sambil memayungi tubuhnya dengan jaket jinnya, Tari berlari menyusuri trotoar menuju mal Grand Indonesia diiringi bisingnya klakson mobil dan motor.

"Sialan," umpatnya pelan di sela tarikan napasnya. Pikirannya mengulang kejadian tadi sore di kantor. Tari dan bosnya sudah siap sejak jam 3 untuk meeting dengan klien mengenai proyek terbaru mereka. Namun sang klien terlambat setengah jam dan, ketika rapat berlangsung, berdebat dengan bos Tari tentang bagaimana proyek mereka sebaiknya dieksekusi. Alhasil, meeting yang dijadwalkan selesai dalam waktu satu jam setengah jadi molor hingga tiga jam.

Setelah meeting selesai, Tari bergegas ke stasiun MRT Bendungan Hilir untuk naik kereta menuju stasiun Bundaran Hotel Indonesia. Meskipun gerimis sudah turun sejak ia keluar dari lobby kantor, Tari tetap melanjutkan perjalanannya.

Ia tahu jaketnya kuyup dan sepatunya lembap, bahkan mungkin rambutnya juga sudah basah tak karuan. Tapi Tari tidak peduli sebab hanya ada satu sosok yang dari tadi terbayang di benaknya: Tawan Vihokratana.

Tay, begitu laki-laki itu kerap disapa, adalah aktor Thailand yang sedang mengunjungi Indonesia untuk promosi film terbarunya, Happy New Year, Best Friend, di bioskop yang ada di dalam mal. Kesempatan ini terhitung langka karena jarang ada artis Thailand yang datang ke Indonesia.

Tari sangat menggemari Tay, bahkan sejak laki-laki itu masih menjadi pembawa acara di sebuah programa musik Thailand bernama Five Live Fresh di tahun 2014. Tidak hanya tanggal lahirnya, Tari juga hafal golongan darah, makanan favorit dan merek baju ternama kesukaan Tay.

Sesampainya ia di teras mal, Tari segera memasukkan jaketnya ke dalam tasnya – ia tidak peduli bagian dalam tasnya akan ikut basah – lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru.

Ia menghela napas lega karena kotak tersebut selamat dari tetesan air hujan, kemudian memasukkannya ke saku celananya.

Setelah melewati bagian pemeriksaan tas, Tari bersicepat menuju bioskop yang letaknya di lantai 8. Meskipun hari itu hari Kamis, Grand Indonesia tetap dipadati pengunjung dan Tari harus berhati-hati agar tidak menabrak orang di sekitarnya atau tersandung tali sepatunya sendiri.

Teleponnya berdering ketika ia baru sampai di lantai 6. Nama Lisa, sahabatnya, terpampang di layar telepon tenggamnya.

"Halo?"

"Lo di mana, Tar?" Lisa nyaris berteriak di seberang sambungan, diiringi suara bising para penggemar Tay yang menyerukan nama artis kesukaannya. Sahabat Tari sekaligus penggemar Tay itu sudah berada di bioskop.

"Sedikit lagi sampai," ujar Tari, terengah-engah.

"Cepetan Tar, sebentar lagi udah dibolehin masuk," kata Lisa. "Lo udah bawa tiketnya, 'kan?"

Eh?

Tari menghentikan langkahnya. Dengan tangan gemetar ia melepas tas ranselnya dan mencari-cari barang yang dimaksud.

Harusnya ada di sini! Aku yakin sudah memasukkannya ke tas tadi pagi!

Namun kertas yang dicarinya tak kunjung ketemu.

"Tar, cepetan, pintunya udah dibuka!" teriak Lisa, lalu sambungan mereka terputus.

Sambil terus mencari di sela-sela lipatan tasnya dan jaketnya, Tari setengah berlari menuju eskalator. Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi kepalanya dan rasa cemas bercampur sedih lambat laun timbul di dalam hatinya.

Bagaimana jika tiketnya tidak ketemu? Bagaimana jika ia tidak bisa bertemu Tay?

Mimpi-mimpinya tentang Tay seakan memudar. Sejak tiga bulan yang lalu ketika acara pemutaran film baru diumumkan, Tari membayangkan bagaimana momen istimewa itu terjadi – ia melihat Tay secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, bukan melalui video di Twitter atau foto dari manajemen Tay. Ia sudah membayangkan betapa manis senyum Tay nanti dan betapa ramah nada suaranya ketika menyapa penggemarnya.

Aku tidak boleh menyerah, gumam Tari di dalam hati sambil mengelap air matanya dengan punggung tangannya.

Tari hendak mengulang pencariannya sekali lagi ketika tubuhnya menabrak sesuatu yang keras, lalu terjungkal beberapa senti dari tempatnya berdiri tadi.

"Aduh!" Tari merintih saat tubuhnya mendarat di ubin mal yang dingin. Ia merasakan sakit di dahi, siku dan betisnya. Bukan hanya itu, hampir seluruh isi tasnya juga berhamburan tak jauh dari tempatnya terjatuh.

Tapi di antara jaket jin dan dompet cokelatnya yang berserakan di lantai mal, Tari menemukan apa yang ia cari: Tiket bioskop. Tiket tersebut begitu spesial karena berlatar poster film Happy New Year, Best Friend dengan wajah Tay sebagai pusatnya. Tiket itu adalah tiket khusus yang ia menangkan dengan menjawab kuis di Twitter tentang film tersebut beberapa minggu lalu.

Tari berusaha meraih tiketnya ketika sebuah tangan terbuka di hadapannya.

"I'm so sorry, are you ok?"

Terdengar tidak asing, gumamnya. Wajah Tari mendongak ke asal suara dan ia pun tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat itu.

Tawan Vihokratana. Aktor asal Thailand. Impiannya. Sumber kebahagiannya. Mataharinya. Berlutut di hadapan Tari sambil mengulurkan tangannya.

"I'm very sorry, does your body hurt?"

Suara Tay begitu merdu di telinga Tari dan ia merasa sudah terbuai terlalu jauh di dalam mimpinya yang anehnya terasa semakin nyata. Mungkin kepalanya terbentur kaca etalase toko dan ia sedang jatuh pingsan. Mungkin dalam beberapa menit ke depan ia akan terbangun dan mendapati dirinya dikelilingi pengunjung mal yang melihatnya dengan tatapan kasihan sekaligus dengan bibir yang bergetar menahan tawa.

"Lihat orang ini," Tari membayangkan cibiran salah satu dari mereka. "Dia jatuh setelah kepalanya terbentur ke etalase toko. Bodoh sekali, 'kan?"

Tay menjentikkan ibu jari dan jari manisnya, lalu pikiran Tari mulai kembali ke kenyataan, namun kedua matanya masih mengerjap beberapa kali.

Kok Tay masih ada di hadapanku? Seharusnya dia sudah menghilang...

"Hey!" seru Tay sambil menepuk kedua tangannya di depan wajah Tari.

Seketika Tari sadar bahwa Tay yang ada di hadapannya adalah Tay. TAY. YANG. ASLI.

Tari menahan napasnya sambil berusaha menyembunyikan kekagetannya.

"I'm very sorry, my bodyguard just bumped into you – we're in a hurry," Tay terbata-bata menjelaskan penyebab Tari terjatuh. "Can you stand?"

Tari mencoba berdiri sembari menenangkan dirinya. Aktor kesukaannya ada di depannya, gumam Tari dalam hati, dan ia harus melakukan sesuatu – foto bersama? Tanda tangan? Memberinya hadiah?

Namun di saat seperti ini, entah kenapa yang ia inginkan hanyalah tiket pemutaran film.

"Err... my bag..." ia menunjuk ke arah tasnya sambil berusaha menahan tubuhnya yang bergetar, mungkin gugup atau trauma akibat terjatuh tadi.

"Ini tasnya, Bu," salah satu bodyguard Tay yang berpakaian serba hitam dan bertubuh tinggi besar menyerahkan ransel yang dimaksud kepada Tari.

"Err... Tay – "

"Tay!" teriak salah seorang perempuan berambut pendek kecokelatan yang berdiri tak jauh dari idola Tari. "Let's go!"

"B-but – " Tay seakan enggan untuk beranjak.

"C'mon, we're already late!"

"Give me one second," ujar Tay, lalu tatapannya beralih ke perempuan berwajah pucat dan bermata sembap yang baru saja menabrak tubuh salah satu bodyguard-nya. "What's your name?"

"Umm... Tari," suara Tari terdengar terlalu nyaring dan serak.

Bibir Tay tersenyum, membentuk lengkungan sempurna yang selama ini hanya Tari pandangi di layar telepon genggamnya, tetapi senyuman itu menghilang bersamaan dengan perginya Tay dari hadapannya.

Reverie | a Tay Tawan storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang