Secret

168 16 3
                                    

Tari bersumpah ia tidak tahu pasti bagaimana ia bisa sampai di Skye. 

Ia hanya ingat berjalan mengikuti Yui dan sang bodyguard melewati pertokoan demi pertokoan di dalam mal hingga tiba di depan pintu lift yang membawa mereka ke lantai 56. Ujung jemarinya yang gemetar terasa dingin dan jantungnya berdebar cepat. Ia bahkan tidak sadar bahwa ia sudah tiba di salah satu rooftop bar terkenal di Jakarta jika sang bodyguard tidak memberitahunya. 

Binar menyilaukan dari penerangan toko berganti menjadi temaram ketika mereka tiba di lobby bar. Dinding-dinding yang dihias dengan dekorasi kelabu serta lantai marmer beraksen hitam-emas semakin menegaskan perbedaan suasana. Terdengar sayup-sayup denting piano disertai suara orang-orang yang sedang mengobrol. 

"Tari, are you ok?" tanya Yui, cemas.

"Y-yes," suara Tari terdengar melengking dan serak. 

"He's been waiting for you by the pool," kata Yui seraya melangkah menuju meja penerima tamu di ujung lorong. 

"Di sana, Mbak," ucap sang bodyguard, menunjuk ke teras terbuka yang diterangi lampu kekuningan. 

Di salah satu sisi teras, Tari menangkap sosok laki-laki yang berdiri memunggunginya, menghadap panorama pencakar langit ibu kota yang memancarkan titik-titik cahaya. Sosok itu mengenakan pakaian hitam - mungkin kemeja dan celana dengan warna senada, sementara rambutnya bergerak mengikuti tiupan angin. Tari merasa pikirannya kacau, terlebih ketika ia makin dekat dengan sosok tersebut. 

Harusnya ia merasa takut, apalagi ia berada di tempat asing bersama orang-orang yang tidak ia kenal. 

Jika sesuatu terjadi padaku, gumamnya, aku akan menghubungi Lisa - paling tidak dia tahu apa yang harus dilakukan.

Tari berharap agar waktu bisa berhenti, paling tidak untuk sementara. Ia ingin mengabadikan apa yang ia lihat ke dalam ingatan dan hatinya. Sosok itu nampak bersinar berkat pantulan cahaya dari kolam renang dan latar gedung perkantoran yang mengagumkan membuat indra penglihatannya berkaca-kaca. 

Ketika sosok itu berbalik, Tari merasa tubuhnya kaku seketika. Ia ingin menyapa laki-laki itu, namun menarik napas saja rasanya sulit.

"Are you ok?" Tay akhirnya bersuara sambil mendekati Tari.

"Hm-mm," Tari mengangguk pelan, ucapannya masih tertahan.

Bibir Tay menyunggingkan senyum tipis, mungkin ia menyadari betapa gugupnya perempuan yang ada di depannya. "Here, come with me," katanya seraya membimbing Tari untuk berdiri di sampingnya, mengarah ke panorama kota. "If you're nervous, just breathe. Slowly."

Tari mengikuti saran laki-laki itu berkali-kali hingga merasa lebih baik. 

"Better?" tanya Tay. 

"Yes,"  tukas Tari. 

"I'm sorry if this scares you," ujar Tay, sekali lalu melirik ke dalam bar. "I just want to talk to you, Tari, but it's hard when you're surrounded by many people. You can go if you're uncomfortable, I won't force you to stay. I promise I won't hurt you."

Mendengar namanya disebut oleh Tay membuat jantung Tari kembali berdebar tak karuan. Kalaupun ini mimpi, batin Tari, ini mimpi terindah yang pernah kualami. 

Kemudian keduanya terdiam. Tari masih setengah percaya bahwa Tay ada di hadapannya, sementara laki-laki itu memandangi kelamnya cakrawala.

"T-Tay," Tari memberanikan diri bersuara, lalu idolanya menoleh ke arahnya. "How long will you stay in Jakarta?"

Reverie | a Tay Tawan storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang