Epilog

218 23 14
                                    

Tari mengamati padatnya lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman dari lantai 12. Terdengar redam rekan-rekan kerjanya yang mengabarkan tentang kecelakaan kecil di Bundaran Hotel Indonesia. 

Sebentar lagi polisi akan datang, katanya. 

Tidak ada korban jiwa, ujar yang lain.

Separuh - ah, mungkin hampir seluruh hati dan pikirannya masih tertinggal malam itu di Skye. Kenyataan bahwa orang-orang menjalani aktivitas mereka seperti biasa keesokan hari menambah murung hatinya. 

Ia tidak ingin membagi pengalamannya semalam ke teman-temannya. Ia malas pula menguraikan pengalamannya ke dalam beratus-ratus karakter di akun Twitternya. 

Untuk apa?

Ia ingin menyimpan ingatan tersebut dengan baik karena hanya itu kenangan termanis yang pernah ia alami sebagai penggemar Tay. 

Lagipula yang ia butuhkan saat ini bukanlah jumlah retwit serta likes di aplikasi tersebut. Ia hanya mau Tay berada di sampingnya. Banyak hal yang ingin Tari sampaikan pada laki-laki itu dan nyalinya baru muncul hari ini. 

Tentu saja ia tidak bisa mengantar Tay di bandara layaknya penggemar-penggemar lain. Pekerjaannya menunggu untuk diselesaikan dan kondisi tubuhnya yang masih lelah akibat kurang tidur memperburuk semuanya.

Singkatnya, perasaannya yang campur aduk memaksa Tari untuk mengamati lalu lintas ibu kota yang tak berubah. Ia sulit fokus pada monitornya dan Ia enggan memainkan telepon genggamnya sebab saat ini teman-temannya di LINE dan Twitter sedang ramai membicarakan Tay. Sekelumit kecemburuan timbul di lubuk hatinya, akan tetapi ia tidak mungkin pergi begitu saja ke bandara dan meninggalkan kewajibannya. Kalaupun ia nekat melakukannya, kemacetan di ibu kota siap menghambat perjalanannya. 

Tari ingin segera pulang dan tidur hingga fajar tiba, namun jarum jam masih menunjukkan pukul 9. 

Ia menghela napas panjang. Ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupnya.

***

Pernah ada yang berucap bahwa bekerja merupakan cara seseorang untuk melupakan kesenduannya sejenak. Tari menyetujui itu.

Selepas jam makan siang, ia menyemangati (atau lebih tepatnya memaksa) dirinya sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sempat tertunda. Ia bahkan menolak ajakan rekan-rekan kerjanya untuk rihat sejenak di pantry ketika matahari hampir terbenam. 

Pikirannya dibayangi ranjang yang empuk serta bantal-bantal yang membuat tubuhnya nyaman ketika berbaring. Ia hanya ingin cepat pulang dan memejamkan kedua pelupuknya yang semakin berat. 

Tari mematikan komputernya ketika jam di dinding ruangan menunjukkan pukul 21:00. Beberapa koleganya masih betah di bilik masing-masing yang hanya diterangi binar putih-kebiruan dari layar komputer. 

Setelah berpamitan, Tari melangkah keluar lobby menuju stasiun MRT terdekat. Ketika menunggu kereta di salah satu peron, telepon genggam Tari bergetar. Ia mematikan pilihan bunyi dan getar untuk segala pemberitahuan di telepon genggamnya, kecuali whatsApp untuk pekerjaan, e-mail pekerjaan dan panggilan masuk. 

Kali ini nama Lisa terpampang di layar. 

"Ya, Lisa?" ujar Tari seraya berpindah ke samping pintu pembatas untuk memberikan tempat bagi penumpang yang akan keluar kereta.

"Tari, Lo baik-baik aja? Lo nggak ada kabarnya di grup, WhatsApp gue juga nggak dibales," suara Lisa di seberang sambungan terdengar khawatir. 

"Aduh sorry, hari ini gue sibuk banget. Mendadak ada banyak meeting," balas Tari, tidak sepenuhnya berbohong. "Gue baik-baik aja kok, makasi udah nanyain."

"Gue takut lo masih sedih gara-gara semalem."

"Nggak kok, gue baik-baik aja," jawab Tari sambil melangkah masuk ke dalam kereta dan memilih berdiri di dekat pintu penyambung gerbong yang masih kosong. Tak banyak penumpang  di gerbong tersebut, mungkin karena malam juga semakin larut.

"Tar, cek Instagram-nya Tay deh."

"Kenapa?"

"Ada yang aneh, masa' sih - "

Suara Lisa mendadak hilang.

"Halo? Lisa?" Tari mengulang pertanyaannya, namun sia-sia. Ketika ia mengecek barisan sinyal di layar telepon genggamnya, semuanya penuh. 

Mungkin sambungan Lisa yang sedang eror, kata Tari dalam hati. Akan kuhubungi ia sesampainya di rumah nanti.

Tari hendak memutar lagu kesukaannya ketika ia teringat perkataan Lisa sebelum sambungan mereka terputus. Jantungnya berdebar saat memikirkan Instagram Tay. Seharian penuh Tari tak mengecek akun idolanya karena pasti berisi foto-foto acara semalam dan entah mengapa hatinya masih terasa sedikit sakit.

Namun Lisa tak mungkin berbohong dan barangkali ada yang aneh dengan Instagram milik Tay, sehingga Tari akan mengeceknya sekejap saja. 

Detakkan jantungnya makin terasa setelah ibu jarinya mengetuk ikon kamera beragam warna tersebut. Beberapa detik kemudian, ia menemukan sebuah foto yang membuatnya memekik dan hampir menjatuhkan telepon genggamnya.

Hampir seisi gerbong menatapnya dan Tari hanya bisa tersenyum dengan pipi memanas. Ia yakin tak lama lagi rona merah akan menjalar di wajahnya. 

Setelah bergeser ke sebuah gerbong yang lebih sedikit jumlah penumpangnya, Tari memilih tempat duduk dan kembali melihat gambar yang mendebarkan tersebut.

Di antara foto-foto Tay di atas panggung dan di ruang VIP saat menghadiri promosi film Happy New Year, Best Friend semalam, ia mendapati sebuah foto yang memperlihatkan tangan Tay di samping jendela pesawat. Di pergelangan tangannya melingkar sebuah gelang yang tak asing.

Tari membekap mulutnya sendiri, menahan dirinya agar tak menjerit kembali ketika melihat dua emoji serta sebuah kalimat di bawah potret tersebut.



💙🍵

See you soon, Jakarta!







Reverie | a Tay Tawan storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang