part 1

65 14 7
                                    

Senja menghilang kala hadirnya malam. Suasana sunyi dan redup menyelimuti perasaan Ruby. Gadis yang masih berpakaian seragam sekolah itu berjalan di tepi jalanan yang begitu sepi sambil menggenggam ponselnya yang berdering beberapa kali serta beberapa pesan masuk yang mungkin akan membuat ponselnya meledak.

Ruby menghela napas, lelah. Akhirnya, ia memutuskan untuk mematikan ponselnya, lalu menyimpannya ke dalam tas. Ia memandang sekitar, tersadar bahwa hanya ada dirinya sendiri. Perasaan takut mulai menghampirinya. Ruby terus berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri.

Selama hampir sepuluh menit Ruby berjalan tak tentu arah, ia tersesat. Maka, ia menghentikan langkahnya, dan kembali memandang sekitar.

Masih dengan perasaan takutnya, Ruby bergumam, "Merinding gue."

Tak lama, Ruby mendengar suara deruman motor yang tak jauh dari tempatnya. Gadis itu menyipitkan kedua mata karena cahaya lampu motor tersebut tepat mengadah ke arahnya dan kembali normal setelah motor gede itu melewatinya. Ruby menghela napas. Ia tak tau harus melakukan apa sekarang. Menekuk kedua lututnya, ia berjongkok sambil memeluk dirinya sendiri.

"Ayo, naik."

Ruby mengadahkan kepalanya ke sumber suara, langsung saja ia bangkit berdiri dengan ekspresi terkejut. "Biru? Lo ngapain di sini?"

"Penting? Udah, naik dulu."

Ruby menggelengkan kepalanya. "Nggak. Gue nggak mau."

"Buruan kalau nggak mau ditangkap preman disini," ujar si pemilik motor gede itu. Ia menoleh ke arah belakang, lalu melirik Ruby yang mulai ketakutan mendengar banyaknya suara motor yang mendekat.

Dalam hitungan detik, Ruby sudah duduk di atas motor tersebut dan menepuk pundak Biru, menyuruhnya untuk menjalankan motornya dengan cepat. Dan benar saja, dengan jarak jauh pun Ruby bisa melihat betapa banyaknya motor mengejar mereka.

"Lo ada utang sama mereka?" tanya Ruby dengan berteriak kecil.

"APA?"

Ruby mendengus, lupa kalau orang di depannya memakai helm fullface ditambah angin kencang menghalangi mereka untuk berbicara. "NGGAK JADI."

Lelaki itu menggelengkan kepalanya, membuat Ruby menoleh kembali ke belakang, alhasil ia terkejut dengan membelalakan matanya. Panik. Para preman yang mengendarai motor itu semakin mendekat mengejar ke arah mereka.

Dengan mata tajam, Biru melihat keadaan di belakangnya lewat kaca spion. Maka dari itu, Biru semakin menambah kecepatan motornya sehingga Ruby terkejut dan reflek melingkarkan kedua tangan di pinggang Biru sambil menutup mata dengan perasaan takut.

Sepanjang perjalanan, Ruby merasakan motor yang ia tumpangi hampir terjatuh, maka ia semakin mengeratkan kedua tangannya, tanpa sadar. Sehingga beberapa menit kemudian, gadis itu kembali merasakan jika motornya terhenti di suatu tempat. Ruby membuka matanya perlahan sambil melonggarkan kedua tangan dari pinggang Biru.

"Mereka nggak ngejar lagi?" tanya Ruby memandang sekitar.

Lelaki berparas tampan dan tinggi itu turun dari motornya, membiarkan Ruby untuk tetap duduk di sana. Ia melepas helmnya, lalu membalas dengan nada dingin, "Enggak."

"Kenapa? Mereka buta jalan?"

Biru menggeleng. Tak berniat menjawab pertanyaan bodoh tersebut. "Turun. Ini udah sampai."

"Sampai man-" Ruby terkejut, baru sadar bahwa ia berada di depan rumahnya sendiri. Ia melemas, lalu melirik Biru yang mengangkat satu alisnya. "Aduh, Biru. Lo kenapa nganterin gue pulang, sih?"

"Bukannya ini udah malem?"

"Iya udah malem, tapi gue nggak mau pulang ke rumah. Ayolah, anterin  gue lagi ke tempat tadi," ujar Ruby dengan memohon.

Biru mendengus. "Lo mau mati?"

"Gue lebih mending mati di sana, deh, daripada harus mati di rumah."

Lelaki itu menggelengkan kepalanya, heran. Mengamati seragam sekolah yang masih dipakai oleh gadis itu. "Mau coba kabur?"

Ruby mendelik. "Enggak."

"Terus?"

"Terus apa? Nggak ada terus-terusan."

"Ya terus lo ngapain keluar malem?"

Ruby mengedikkan bahunya. "Harusnya gue yang tanya, kenapa lo bisa ada dan kebetulan  lewat daerah tadi? Terus, preman-preman tadi, lo kenal semua?"

"Panjang ceritanya."

"Dih." Ruby mendengus kesal, menyilang kedua tangan di depan dada. "Ngomong-ngomong, lo masih inget rumah gue? Terakhir kali kayaknya lo mampir kesini pas SMP kelas dua, deh. Berarti sekitar 3 tahun yang lalu."

"Gue udah hapal."

Ruby hanya menganggukan kepalanya. Melirik wajah Biru, dan baru tersadar bahwa ada luka lebam di wajah tampannya. Maka, Ruby memanggil Biru untuk melihat ke arahnya. "Muka lo, Bi."

Tanpa ekspresi, Biru menjawab. "Bukan apa-apa."

Mendengar jawaban Biru, Ruby langsung memicingkan matanya, curiga. "Tiga tahun nggak pernah ngobrol sama lo lagi. Sekalinya ngobrol, rasanya sama aja. Kayak dulu."

Biru hanya mengangkat satu alisnya, sekilas. Sebagai respon.

"Dasar manusia es batu."

"RUBY OERA! MASUK KE RUMAH SEKARANG!"

Seseorang berteriak dari balkon.

Ruby menepuk dahi. Lalu bergegas. Tak lupa, Ruby menengok Biru yang juga sedang bersiap-siap. "Luka lo belum diobatin."

"Nggak per-,"

Ruby memotong. "Nggak perlu diseret kan?"

--

salam, helonav.

birubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang