part 2

60 15 4
                                    

"Jelasin."

Ruby mematung, menundukkan kepala, tak berani melihat mamanya, Lea, yang sedang berkacak pinggang di hadapannya. Wanita paruh baya itu memasang raut wajah yang mengerikan, seperti ibu-ibu pada umumnya ketika anak gadisnya pulang larut malam.

"Jawab, Ruby," tagih Lea, gadisnya masih menunduk. Namun, tatapannya bergeser kepada lelaki tinggi yang berdiri di sebelah Ruby. Ia mengerutkan dahinya. "Siapa kamu?"

"Ini loh, Ma. Biru yang dulu pernah ke sini, waktu SMP," sahut Ruby, membuat Lea menatap tajam ke arahnya.

"Saya nanya dia. Bukan kamu, Ruby."

Ruby kembali menunduk.

"Saya Biru, Tan. Temen sekolahnya Ruby."

"Nak Biru, bisa jelasin kenapa Ruby pulang jam segini?" tanya Lea dengan nada halus tapi tetap mengerikan.

"Tadi abis ngerjain tugas kelompok," sahut Ruby lagi, melirik dan menyenggol Biru dengan sikutnya, lalu mengedipkan matanya, mengode sesuatu.

"Ruby, saya lagi ajak ngobrol dia, kenapa kamu terus yang jawab?!" Lea mulai emosi.

Wanita paruh baya yang sangat mementingkan penampilan itu memang wanita yang tegas, mudah terpancing emosi tapi hatinya tetap baik. Namun saking seringnya ketegasan Lea keluar membuat Ruby menjadi takut dengannya. Dan tentu bukan hanya Ruby.

Kembali, Biru menoleh dan mengerti maksud senggolan dan kode dari Ruby. Maka ia mencoba menjelaskan kepada Lea, memulai dengan tersenyum tipis.

"Heh, ngapain lo senyum? Mama gue nggak ngaruh sama senyum lo," bisik Ruby pada Biru.

Biru mengabaikan ucapan gadis itu. Menurut Biru, ia tersenyum bukan karena ingin meluluhkan hati Lea, melainkan hanya menjaga pandangan Lea terhadap Biru bahwa ia bukan sembarang orang yang Ruby temui di tengah jalan.

"Jadi gini, Tan. Tadi kelamaan pulang karena ban motor saya bocor, jadi harus ke tukang bengkel. Dan sebelumnya memang ada tugas kelompok di rumah temen yang lain," jelas Biru, mengetahui pandangan Lea sekarang berada di wajahnya yang lebam. "Kalau tentang luka saya, itu udah dari kemarin."

Lea menganggukan kepalanya. Meskipun masih sedikit curiga, tapi penjelasan Biru sudah cukup baginya. "Tapi, luka kamu mesti diobati lagi," ujarnya perhatian, lalu melihat Ruby yang masih terdiam mematung. "Ruby, kamu tau kan apa yang harus kamu lakuin sekarang?"

Ruby mendongak. "Lakuin apa, Ma?"

"Cuci mobil di teras sekarang."

"Hah? Yang bener, ah," tanya Ruby memastikan, lalu ia terkekeh. "Becanda, kan?"

"Ya kamu pikir aja ngapain saya nyuruh kamu cuci mobil malam-malam begini."

"Iya, Ma."

"Obatin luka temen kamu. Sampe bekasnya hilang."

Lea berlalu pergi, meninggalkan Ruby dan Biru, merasa sudah cukup menginterogasi anak gadisnya.

"Wah, ngelawak ni orang tua."

***

"Ruby!"

Gadis yang baru saja keluar dari angkutan umum itu menoleh ke sumber suara, ia tersenyum, lalu menghampiri sahabatnya, Arum.

"Tumbenan lo ke sini naik angkot. Rai mana?" tanya Arum, memandang sekitar.

Sambil berjalan masuk ke gerbang sekolah, Ruby merangkul Arum, dan berbisik. "Rai udah nggak ada."

"Dih, serius lo?" Arum melepas rangkulan Ruby di bahunya sambil memincingkan matanya curiga.

"Serius gue. Makanya gue naik angkot tadi."

"Kalau dia udah nggak ada, pasti lo nggak masuk sekarang, Monyong. Sepupu macam apa lo tetep masuk sekolah kalau dia udah nggak ada?!"

"Oh iya juga ya," cengir Ruby sambil menggarukkan kepalanya nggak gatal.

Arum menatap Ruby sinis, sementara Ruby hanya menyengir, merasa dirinya terlalu bodoh untuk membodohi Arum.

Arum, gadis yang selalu menanyakan keberadaan Rai itu mendengus, kesal dengan perkataan Ruby. Meskipun Arum tau jika Ruby hanya bercanda, tapi tetap saja ucapannya seakan membuatnya percaya akan hal itu.

"Terus, kenapa dia nggak bareng sama lo?"

Ruby menoleh, lalu menunduk sejenak. "Nggak tau, tiba-tiba aja dia nggak mau bareng sama gue."

"Masa, sih?"

"Tanya aja sendiri sama orangnya. Tuh," balasnya sambil menunjukkan keberadaan Rai dengan dagunya, membuat Arum menoleh ke arah parkiran sekolah. Kemudian, ia berjalan meninggalkan Arum sendiri menatap Rai dengan kagum, padahal Rai hanya dan baru saja turun dari motor dan melepaskan helmnya.

Ruby menoleh ke belakang sejenak, melihat Arum yang masih berdiri menatap sepupunya itu lalu melanjutkan langkahnya. Ruby menggelengkan kepalanya, tak heran melihat Arum berperilaku seperti itu. Pasalnya, Arum menyukai Rai dari semasa SMP sampai sekarang, tapi Arum terlalu malu untuk mengungkapkan isi hatinya pada lelaki itu.

Padahal, menurut Ruby, untuk mengungkapkan isi hati kepada seseorang bukan masalah. Hanya perlu bersiap menghadapi risikonya. Diterima, syukur. Ditolak, ya nasib.

Hendak menginjak lantai kelas, mata Ruby langsung tertuju pada lelaki yang ia temui kemarin. Mengurungkan niatnya masuk ke kelas, ia berjalan menghampiri lelaki tersebut yang duduk di depan kelas sambil mengotak-atik ponselnya dengan wajah serius.

"Gimana luka lo?"

Biru mendongakkan kepalanya, terdiam sejenak, lalu mengangguk, kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku sebelum Ruby duduk di sebelahnya. "Lumayan."

"Lumayan apa?"

"Ya sembuh," jawab Biru. "Hampir."

Belum sempat Ruby membalas, Biru bangkit berdiri dan bersiap membuat gadis itu ikut berdiri. "Loh, lo nggak masuk kelas? Bentar lagi bel masuk."

"Ada urusan," jawab Biru sambil melirik jam tangannya.

"Ke?" tanya Ruby, penasaran.

"Gue pergi, ya."

Ruby menghela napas, melihat punggung Biru yang semakin lama semakin jauh dari pandangannya. Gadis itu merasa sekarang ia ditolak oleh seorang lelaki, padahal Ruby hanya bertanya dan kebetulan Biru terlihat buru-buru dan sedikit panik, membuat Ruby terus berpikir apa yang terjadi padanya.

Dan tersadar sampai menggelengkan kepalanya, sejak kapan ia jadi memikirkan lelaki tersebut?

***

salam, helonav.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

birubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang