Stay healty everyone, stay hydrated. Jangan kemana mana yaa kalo gak penting bangettt dan mendesak. Bukan panik atau takut mati, tapi biar Corona cepet pergi dan kita bisa beraktifitas normal lagi #dirumahaja
🕊🕊🕊🕊🕊
Alan duduk menyendiri di bawah pohon yang rindang. Gustaf dan Daniel sempat mengajaknya ke kantin tapi Alan menolak. Gak nafsu makan. Alan lebih memilih pergi ke kopsis, membeli roti dan susu sebagai sarapan merangkap makan siangnya hari ini.
Alan membuka roti yang ia beli, kemudian memakannya. Selagi mengunyah, pandangan Alan kosong menatap lapangan basket. Beberapa hari ini harinya terasa hampa, kayak ada yang hilang. Alan tau penyebabnya. The one and only, Erlista.
Belakangan ini memang dirinya sengaja menjauhi cewek itu. Gak bisa dipungkiri kalo kejadian tempo hari dimana Erlista berani meninggalkannya pergi bersama Radit berdampak begitu besar bagi dirinya. Bagi hati dan pikirannya.
Kecewa? jelas. Marah? Sangat. Tapi Alan bisa apa? Status mereka saja masih gak jelas. Mau marah lagi juga rasanya percuma. Ketakutan cewek itu cuma sesaat, setelahnya dia akan kembali berulah.
Disinilah Alan merasa tertampar kenyataan. Jika dipikirkan lagi, semua yang dia lakukan belakangan rasanya percuma. Nyatanya Erlista masih gak pernah berhasil dia genggam.
Setelah menghela nafas berat, Alan meneguk susunya sampai habis. Meremasnya lalu melemparnya ke dalam tong sampah yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Hap. Tepat sasaran. Membuktikan keahliannya sebagai kapten tim basket kebanggaan sekolah. Setelah itu Alan kembali merenung lagi. Kerjaannya hanya merenung beberapa hari ini. Merenungi semua yang telah terjadi hingga detik ini.
Alan sadar dirinya salah. Sejak awal posisinya memang sudah salah. Tapi dia juga gak bisa memutar waktu kembali ke masa itu untuk memperbaikinya. Yang bisa dia lakukan hanya mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di masa sekarang dan medatang.
Alan gak mau melepas Erlista. Selain karena dia mencintai cewek itu, dia juga dihantui rasa bersalah dan tanggung jawab. Alan merasa hamil ataupun enggak, dia tetap harus mempertanggungjawabkannya. Memastikan Erlista gak bunuh diri karena ulahnya. Seperti yang dikatakan sahabatnya.
Makanya, sejak hari itu Alan selalu mengikuti Erlista kemanapun saat di sekolah, dan diam dirumah cewek itu setelah sekolah usai. Sebenarnya Alan malu, dia juga gak nyaman. Setelah apa yang dia lakukan, bersikap santai di sebelah Erlista rasanya berat.
Tapi Alan berusaha keras menutupi semua itu. Erlista sudah terlihat gak nyaman, kalau dirinya juga menunjukkan ketidaknyamanan, maka semuanya gak akan berjalan. Mau gak mau Alan harus berusaha mengesampingkan malunya. Bersikap semanis mungkin didepan Erlista, agar cewek itu gak merasa tertekan dan perlahan menjadi nyaman dengan kehadirannya.
Tapi ternyata gak semudah itu. Apalagi respon Erlista selalu seperti itu setiap kali dirinya berusaha bersikap manis yang jatuhnya malah terkesan kekanak-kanakan dimata cewek itu. Ternyata Erlista jauh lebih parah dari mantannya. Cewek itu sulit diajak bekerjasama, selalu saja menolak, menguji kesabarannya. Kadang kalau sudah lelah membujuk, Alan kehilangan kesabaran dan berujung emosi.
Alan lelah. Penolakan Erlista pada apapun yang dia usahakan, membuat dirinya merasa sangat tidak diinginkan di dunia. Egonya terluka. Kadang ada rasa ingin menyerah, ingin pergi saja meninggalkannya. Gak lagi peduli apapun yang cewek itu lakukan.
Tapi nyatanya gak bisa, Alan bahkan gak bisa tidur nyenyak setiap malam. Bagaimana kalau saat dia pulang Erlista bunuh diri? Bagaimana kalau saat dia tidur Erlista mengakhiri hidup? Pertanyaan itu menghantuinya setiap waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped
Teen FictionKetakutan akan victim-blamming membuatnya memilih diam ketika menerima pelecehan dari teman sekolahnya. Was in #1 trauma since December 2019 🕊🕊🕊🕊🕊 Tak kenal maka tak sayang. Coba baca aja dulu, siapa tau suka. This story contains of my unpopula...