Ia Juga Buku Kosong

6K 461 28
                                    

Jana POV

Setelah percakapan malam itu, ia menghilang, ia pergi, ia tidak ada diantara pengunjung perpustakaan, tidak ada di taman kota, tidak ada di pasar, tidak ada di gedung kesenian. Lama setelah malam alkohol itu, kami memutuskan pergi dari jembatan. Kami membicarakan banyak hal, tentang perbincangan yang mungkin akan nampak membosankan jika di bicarakan orang lain. Tentu saja tidak dengan kami, karena dia berbeda, dia selalu saja membawa segala perbincangan kami menjadi bermakna. Dan malam itu adalah malam pertama aku berjalan bersama seorang lelaki, setelah aku hampir tidak bisa lagi mempercayai laki-laki karena ayah. Ah sudahlah, memikirkannya membuat pikiranku kacau. Lebih baik aku membicarakan tentang sosok teman dan obat bagiku. Ya Biru.
Aku masih ingat, malam setelah mengantarku ke depan Flat. Ia senyum dan menanyakan sesuatu kepadaku,

"Jana, mana yang lebih kau pilih. Buku kosong? Atau buku penuh coretan?"

"Buku kosong untuk diisi penuh coretan."Jawabku tanpa tau maksud perkataannya.

"Baiklah. Selamat malam," Ia menunduk sebentar sebelum menatapku dan tersenyum.

Pagi harinya, aku merasa kehilangan sesuatu. Bukan hal penting tetapi membuat pikiran sehari ini. Biru tidak menampakan dirinya dimanapun!
Dia membuatku tidak mengerti, apa yang salah. Mengapa aku tidak bisa lepas dari ucapan-ucapannya.

Brak!!

Astaga, aku melamun! Dan aku membentur sesuatu hingga seluruh barang bawaan seseorang didepanku hancur begitu saja.

"Maafkan aku, bisakah aku menggantinya?" aku sungguh terkejut ketika aku merusak sebuah lukisan.

"Ah tidak masalah, akan ku buat lagi" jawabnya tenang. Sungguh aku merasa tidak enak meski jawaban dari sang empu memang terlihat santai. Tetapi itu benar-benar membuat semakin bingung.

"Aku sungguh menyesal." Pemuda itu membereskan beberapa lukisan yang sudah hancur itu. Sebenarnya aku sendiri yang tak yakin. Apakah aku bisa menggantikan lukisan itu. Hanya saja, aku tidak mengerti bagaimana meminta maaf atas ketledoranku.

"Apakah kau ingin menggantikan lukisan ini? Sungguh?" Aku tersentak ketika pemuda itu bertanya, jujur saja. Aku tidak yakin.

"Eem.. em aku.."

"Bisakah kau datang ke pameranku pekan nanti? Itu cukup sebagai penggantinya." Aku berbinar, aku memang tidak pernah ke pameran lukisan. Oh baik sekali pemuda ini.

"Tentu saja." Jawabku dengan semangat.
"Siapa namamu?"

"Jana."

"Aku Bana."

Dia menggunakan kacamata, rambutnya yang tersisir rapi serta, kemeja putih yang ia gulung sampai siku. Sebenarnya tidak ada raut seniman dalam mukanya. Tapi aku tak mau menilai kemampuan seseorang hanya dari cara berpakaian saja. Itu adalah kebodohan!

"Terima kasih Jana. Ah iya, di gedung kesenian tempatnya"

"Akan aku ingat. Maafkan aku merusak lukisanmu Bana"
Dia hanya tersenyum dan kembali melewati diriku.

Aku memilih ikut melanjutkan perjalananku sore ini. Aku menyusurui jalan, mengingat satu hari ini. Biru menghilang. Ia tidak ada dimanapun. Atau dia sakit? Entah aku juga tidak tahu. Sayangnya, Kita tidak pernah bertukar nomor. Aku tidak bisa untuk tidak peduli. Biru sekarang adalah tokoh dalam hidupku.

Sial. Sial. Sial. Semua tentang Biru, aku tak bisa jika seperti ini. Aku memutuskan segera memasuki komplek flatku. Aku tidak langsung mengunjungi kamarku. Yang ku kunjungi adalah flat sebelahku.
Adakah nafas disana?Adakah sebotol anggur didalam sana?Adakah sebuah kertas berisi puisi Biru disana?Atau adakah sosoknya disana?
Aku tidak mengira akan seheboh ini tidak bertemu Biru dalam sehari.

"Kalau berniat bertamu, ketuklah pintu, Nona" bisik suara di samping telingaku membuatku terkejut bukan main.
Aku berjingkat kaget.Sedangkan sang empu, hanya tersenyum memandangku hangat dengan mata gelap terang miliknya. Senyumnya yang menawan.

"Aku.. aku tidak.."

"Kau merindukanku Nona? Benar?" aku justru terperosok masuk dalam lesung pipi diseblah kiri. Lelaki yang begitu menawan itu menatapku dengan lembut, gelap terang matanya sungguh memikat. Ingin sekali aku masuk kedalam kokohnya dada Biru dan menenggelamkan diriku diantara pelukannya. Oh ayoalah Jana, darimana fantasi mengerikanmu ini datang?

"Oh tidak! Jangan terlalu berprasangka Biru. Aku hanya khawatir kau hilang" Aku gugup. setengah mati aku benar-benar menahan diri agar tidak langsung kabur ke dalam Flatku sekarang.

Jana POV Off
________________

"Jana?" Biru memanggilnya dengan lembut.

"Apa?" rona merah sudah muncul diwajah Jana sedari tadi, mencoba menghilangkan pikirannya yang sempat datang dengan menggelikan itu.

"Hidup adalah milik mereka yang mau berkata, berduka dan bercerita dengan jujur."

"Kita sedang tidak membahas itu Biru. Aku membahasmu."

"Masuklah ke dalam, Aku habis belanja bulanan." Biru mendekatkan dirinya ke arah Jana, lalu membisikan sebuah kata padanya.

"Aku banyak memiliki anggur kalau kau mau," Jana tersimpul sipu dan ikut Biru memasuki Flatnya.

Tata ruangnya mirip milik Jana, hanya saya ruangan ini didominasi warna hitam putih dan abu-abu.

"Ku kira kau suka warna biru" Ucap Jana sambil duduk di karpet berbulu dengan meja kecil yang melingkari didepannya.

"Bukankah kau yang menyukai Biru? " Jawabnya yang mampu membuat Jana melotot.

"Kau adalah tipe orang perayu"

"Dan kau tipe orang yang mudah dirayu, Nona" Jawab Biru sederhana.
Jana memilih menyibukan dirinya dengan handphonya. Ia tidak mau berakhir salah tingkah di hadapan Biru. Sedangkan Biru, Ia tersenyum sambil meracik kopi. Setelah selesai, Ia menghidangkannya pada Jana. Kopi panas serta beberapa biskuit disana.

"Ku kira kau akan menghidangkanku anggur"

"Aku masih cukup waras untuk tidak membiarmu menyentuhnya,Nona "
Hening, hanya detak jarum jam serta seruputan kopi yang tersesap bibir.

"Satu hari ini kau pergi kemana?"

"Aku tidak kemana-mana" Jana ingin sekali berlagak mengintrogasi, tetapi justru senyum menawan Biru membuatnya gagal focus.

"Bohong"

"Jana, adakalanya kau harus membiasakan sendiri. Jangan cari kebahagianmu, tapi bentuklah ketenanganmu "

"Aku, aku rasa.. aku mulai nyaman denganmu"

"Aku memang mudah memikat wanita Nona " Mereka saling menertawakan perbincangan konyol yang bahkan tak ada unsur komedi disana.

"Jana"

"Hem?"

"Tuhan tidak menciptakan manusia dengan kelebihan yang sempurna. Mereka punya titik bahagia masing-masing."

"Lalu?"

"Suatu saat ketika kebahagiaanmu menghilang, kamu hanya cukup mencari kebahagiaan lain."

"Semudah itu Biru?"

"Tidak, tapi tuhan selalu punya cara untuk membuatmu menemukannya."

"Salah satunya adalah dengan bertemu denganmu."

"Ku harap begitu Nona yang memabukan."
____________________
( kutuklah aku malam ini, Hingga segala rindu luluh lantah.Kutuklah aku malam ini,Hingga segala kisah meleburKutuklah aku malam ini,Agar pesan 'aku membutuhkanmu' tak lagi sampaiKutuklah aku malam ini,Agar aku tak lagi menunggumu.. )

Biru-Pelarian Romantis yang MembahayakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang