Can I Hug You?
Chapter 4.
.
.
.
Bian berlari kencang dengan mata yang melirik ke segala arah rumah sakit untuk mencari seseorang. Butuh waktu beberapa menit untuk menemukan orang itu.
Langkah pria tinggi itu terhenti ketika melihat sosok Evo yang sedang terduduk diam dengan kepala tertunduk.
"Apa yang dokter katakan?"
Evo mendongak kemudian memeluk Bian, menutupi wajah sedihnya di perut sang kekasih.
"Penyakitku berkembang lebih cepat dari yang di perkirakan dan dokter memintaku untuk memulai menjalani pengobatan,"
Setelah lama memandang pria kecil itu dan berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan, Bian menarik tangan si kecil dan memeluknya erat berharap dapat menghapus kesedihannya, walaupun hanya sedikit.
.
.
.
.
Matahari pagi menembus gorden dan menerangi kamar evo, membuat tidur si kecil sedikit terganggu. Matanya berkedip -kedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke kornea matanya.
Evo mengusap matanya pelan kemudian melirik ke sekitar mencari sang kekasih yang sepertinya kini tengah menyiapkan makanan untum sarapan kami.
Evo kini terdiam di tempat tidur. tubuhnya sangat tak bertenaga dan kepalanya mulai terasa sedikit sakit.
Si kecil menatap langit - langit kamar sembari mengingat perkataan dokter beberapa minggu yang lalu.
Haruskah aku memberitahukan hal ini ke orangtua ku?
Mungkin lebih tepatnya, beranikah aku memberitahukan ini.
Reaksi kedua orang tuaku lah yang aku takutkan ketika mereka mengetahui tentang penyakitku. aku tak ingin melihat air mata mereka.
Aku takut kekhawatiran mereka padaku nanti akan berdampak pada kesehatan mereka. Aku hanya tak ingin menjadi beban baru untuk orang di sekitarku.
.
.
.
.
Evo terdiam menatap pantulan dirinya melalui cermin bundar di depannya. ia tersenyum kecil berusaha untuk membuat mimik wajah yang bagus. berharap dapat kekasihnya itu tak sadar akan kesakitan yang sedang ia rasakan.
Senyuman manis yang tampak di paksakan itu mungkin saja beberapa orang tak akan sadar dengan kesakitan itu tetapi Evo lupa akan satu hal, kekasihnya itu adalah orang yang peka.
Apalagi membahas tentang orang yang Bian sayang.
"Selamat pagi, pacar kesayangan" ujar Evo semangat. Bian hanya tersenyum lembut sembari mengusap kepala Evo gemas.
"Apa masih sakit?" Tanya Bian sambil memandang Evo yang kini tengah meraih roti yang telah di siapkan Bian. Evo menyadari sesuatu, ada kekhawatiran di mata sang kekasih.
Evo tersenyum dan berkata, "ngak sakit,"
Bian terdiam sejenak kemudian membalasnya dengan anggukan kecil tetapi tak ada senyum di wajah Bian.
Pria tinggi itu tau benar jika Evo sedang berbohong.
Dada Bian terasa sangat sakit ketika mengingat suara rintihan kesakitan si kecil dari dalam kamar dan Bian benar - benar tak tau harus berbuat apa.
Bian ingin memberitaukan semua ini kepada keluarga Evo tetapi Bian ingin kekasihnya itu yang menceritakannya. karena Bian tak ingin orang tua Evo mengetahui hal berat ini dari orang lain.
Harus orang yang bersangkutan yang bercerita.
Jika Evo belum siap, Bian hanya bisa mendukung apapun keputusan Evo.
Jujur saja Bian tak mengerti, bagaimana bisa pria kecil itu masih dapat tertawa lepas dan tersenyum manis dengan penyakit yang dengan perlahan menyiksa tubuh kecilnya.
Senyum yang seakan menunjukan kebahagiaan tanpa beban. Senyum manis yang dapat membuat hati Bian menghangat tetapi sakit secara bersamaan.
.
Bian berjalan mendekat lalu menyentuh pipi Evo yang basah karena air mata, mengusapnya lembut sembari memandang kedua bola mata si kecil yang berkaca - kaca."Kau menangis? Hmm" Evo diam tertunduk sembari menggeleng cepat.
Bian menatap Evo yang kini terdiam dengan mata memandang kosong kearah Bian, seakan ada sesuatu yang ia pikirkan.
"Janjilah satu hal padaku. Apapun yang akan terjadi nanti, tolong jangan pernah mengatakan kata selamat tinggal," Evo mengangguk lalu memperdalam pelukan.
"Karena itu akan sangat menyakitkan.."
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Hug You?
RomanceSebuah cerita kecil mengenai diriku dengan penyakit yang datang untuk menjauhkanku dengan orang yang ku cinta. :)