"Sini, biar aku suapi buburnya," ujar Naruto dengan senyum hangat.
Naruto menahan tangan Sai yang hendak mengambil mangkuk bubur. Sai terkejut dengan perhatian Naruto, dan tanpa sadar rona merah muncul di pipinya. Namun, Naruto mengira rona itu hanyalah demam, mengingat ia memang cenderung kurang peka soal hal-hal seperti ini.
Dengan telaten, Naruto menyendokkan bubur dan menyuapi Sai yang berbaring di sofa sementara Naruto duduk di depannya, menggunakan kursi kecil. Suapan demi suapan masuk ke mulut Sai hingga tak terasa bubur di mangkuk itu habis.
"Wah, meskipun sedang sakit, nafsu makanmu tetap besar!" ujar Naruto terkekeh. Ia membawa mangkuk kotor ke dapur lalu kembali dengan sepiring potongan buah yang ia siapkan sebelumnya. Sai tersenyum, dengan rona merah yang masih bertahan di pipinya. Perhatian Naruto membuat hatinya hangat.
Naruto membawa nampan berisi piring buah, segelas air, dan beberapa obat. Sebelum beranjak, ia berkata, "Ini buah dan obat untukmu. Maaf, aku nggak bisa menemanimu lebih lama. Kalau pulang terlambat, ibuku pasti mengamuk."
Naruto menaruh nampan di meja dan berpamitan. Sai hanya mengangguk dan tersenyum, mengisyaratkan 'hati-hati'. Melihat punggung Naruto perlahan hilang dari pandangannya, Sai merasa sedikit enggan melepaskannya, sekaligus senang dengan perhatian yang Naruto berikan. Sepertinya, Sai mulai merasakan sesuatu yang lebih pada sahabat pirangnya.
...
Naruto memarkir motor sport berwarna oranye dan hitam di garasi rumahnya. Setelah turun, ia melepas helmnya, menaruhnya di jok, dan melangkah menuju pintu. "Tadaima," sahutnya, memberi salam.
"Okaeri, Naru," jawab ibunya, Uzumaki Kushina, dengan senyum hangat. Wanita cantik berambut merah itu memperhatikan Naruto yang melepaskan sepatu lalu menghampirinya untuk memeluk. Kebiasaan Naruto sejak kecil, selalu memeluk ibunya saat pulang.
"Kenapa kau baru pulang?" tanya Kushina. Naruto menjawab sambil tersenyum, "Barusan jenguk teman." Kushina membalas pelukan sejenak lalu melepaskannya.
"Oh, iya! Nanti malam kita ada acara makan malam dengan kerabat ibu dan ayah. Bersiaplah dari sekarang, ya, dan tampil rapi!" ujar ibunya, memberi arahan tegas.
"Ibu, aku selalu menawan, rapi atau tidak!" Naruto terkekeh.
"Dasar, anak ini! Cepat bersiap! Acara ini penting. Kemarin kau boleh absen, tapi tidak hari ini!" kata ibunya dengan suara lebih tegas.
"Iya, bu, aku ngerti," jawab Naruto, tak punya pilihan selain mengikuti perintah ibunya.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, Naruto mengenakan sedikit skincare, menepuk-nepuk wajahnya, lalu menyemprotkan parfum. Melihat bayangannya di cermin, dia tersenyum puas. "Aku memang tampan."
"Ibu, aku sudah siap!" seru Naruto, menuruni tangga untuk menemui ibunya di ruang tamu. Melihat putranya dengan kemeja putih yang digulung sampai siku, Kushina terpesona. "Astaga! Anakku memang tampan," pujinya.
"Tentu saja! Aku kan memang tampan," balas Naruto, tersenyum percaya diri. Ayahnya, Minato, hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mereka.
"Kita akan terlambat kalau tak segera berangkat," ujar Minato, mengingatkan. Mereka pun langsung menuju mobil yang sudah disiapkan.
...
Mereka tiba di mansion kerabat mereka yang bertanda kipas merah dan putih, simbol khas keluarga Uchiha. Saat mereka dipersilakan masuk, Naruto kagum melihat dekorasi mansion yang memadukan gaya tradisional Jepang dengan kemewahan modern.
Mereka disambut oleh Fugaku Uchiha, kepala keluarga Uchiha, beserta istrinya, Mikoto.
"Selamat datang, lama tak jumpa, Minato," sambut Fugaku dengan ramah.
"Baru dua bulan, Fugaku, jangan berlebihan," balas Minato terkekeh.
Saat menuju ruang makan, Minato bertanya, "Di mana anak-anakmu, Fugaku? Belum lihat mereka sedari tadi."
"Itachi sedang dalam perjalanan, dan Sasuke bilang tidak bisa hadir karena ada tugas kelompok di rumah temannya," jawab Mikoto sambil tersenyum.
Naruto hanya mengamati suasana, bingung mengapa dia dibawa dalam acara makan malam keluarga ini. Di sepanjang perjalanan ia bertanya berkali-kali pada ibunya, namun hanya mendapat jawaban, "Ini rahasia. Kau akan tahu nanti. Anggap saja kejutan."
Hingga akhirnya ayahnya membuka suara, "Naruto, bagaimana pendapatmu soal perjodohan ini? Kau setuju?"
Mendengar pertanyaan itu, mata Naruto membelalak. "APA?! PERJODOHAN? AYAH! IBU! KALIAN BERCANDA, KAN?"
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me Right
Fiksi PenggemarBerawal dari pertemuan yang tidak diduga sebelumnya! Naruto ©Masashi Kishimoto Sai x Naruto x Sasuke