1.

14 3 9
                                    

'Bahkan aku pun tidak tau apa yang terjadi. Semuanya tiba-tiba tanpa aba-aba.'

15. 03
Setelah pulang sekolah, Gesta merencanakan untuk pergi ke makam almarhumah ibunya. Sering ia sempatkan untuk berkunjung kesana. Sekedar untuk menceritakan apa yang terjadi di sekolahnya, bagaimana teman-temannya atau hal lainnya yang mungkin tak dapat Gesta ceritakan pada siapapun.

Kepergian ibunya lima tahun yang lalu secara tiba-tiba cukup menampar keras kehidupan Gesta waktu itu. Sosok yang begitu ia idolakan, sosok yang penuh dengan kasih sayang begitu cepat pergi tanpa pernah bisa kembali.

Setelah sampai di samping makam ibunya, Gesta duduk bersimpuh sambil menaburkan bunga diatas gundukan tanah dengan batu nisan tertulis nama Marisa. Butiran bening lolos dari kedua kelopak mata Gesta. Air matanya jatuh bersama isakan penuh kerinduan kepada sosok ibu. Dadanya sesak tiap kali mengingat saat Marisa menghembuskan nafas terakhirnya. Dimana saat itu Gesta seperti tak ada semangat untuk hidup lagi.

"Ma, Gesta kesini lagi buat jenguk Mama," Gesta berkata seolah Marisa ada di depannya. Ia menyeka air mata menggunakan punggung tangannya. "Mama baik-baik aja kan disana? Disini Gesta sama Papa juga baik-baik aja. Tapi sekarang papa lebih sibuk kerja. Pulangnya kadang sampai larut. Gesta jadi sering sendirian dirumah. Andai saja Mama masih hidup, pasti Gesta nggak akan merasa sendiri,"

"Oh iya, Ma. Gesta disekolah ada murid baru, namanya Jidan. Dia nyebelin tau Ma. Kerjaannya bikin Gesta kesel mulu. Masa tadi Gesta jadi dihukum sama Pak Handoko gara-gara dia. Kan nyebelin Ma,"

Setelah puas bercerita panjang lebar, Gesta beranjak dari makam Marisa. Dengan berat hati ia berjalan menjauh menuju gerbang TPU karena sepertinya hujan akan segera turun. Awan-awan diatas sana sudah berkumpul siap menurunkan rintik demi rintik.

Gesta memesan ojek online untuk pulang. Sembari menunggu, ia duduk di kursi panjang di samping sebuah warung. Tak berselang lama sebuah motor beserta pengemudinya menepi di depan Gesta.

"Mbak Ragesta ya?" tanya pengemudi tersebut dibalik masker hitamnya.

Gesta hanya mengangguk kemudian menerima uluran helm dari driver ojol tersebut. Lantas naik dibelakangnya.

Si driver tersebut akhirnya menjalankan motornya. Gesta yang berada dibelakang, hanya menatap kosong jalanan. Sampai tidak sadar bahwasanya si driver malah membelokkan motornya disebuah kafe.

"Loh, mas kok berhenti disini," tanya Gesta begitu motor berhenti dan tersadar dari lamunannya.

Si driver bukannya menjawab malah mengintruksikan Gesta untuk turun terlebih dahulu dan melepas helmnya.

"Nepi dulu mbak. Hujan, saya nggak bawa jas hujan," kata si driver ojol.

Gesta hanya pasrah karena dirinya juga tau butiran air sudah mulai membasahi bumi. Gesta tak mau jika harus pulang dengan keadaan basah kuyup.

Tanpa persetujuan terlebih dahulu, si driver malah menarik tangan Gesta untuk masuk ke dalam kafe. Gesta yang terkejut hanya pasrah mengikuti walau dengan perasaan was-was. Si driver lantas menyuruh Gesta duduk dulu tak jauh dari pintu masuk kemudian dirinya pergi untuk memesan minuman. Gesta hanya menatap punggung si driver yang terbalut dengan jaket hitam-hijau dengan raut muka kebingungan.

Tak lama, si driver kembali dengan membawa dua gelas minuman. Coklat panas untuk Gesta dan kopi hitam untuk dirinya.

Barulah saat si driver duduk di depan Gesta, dia baru membuka masker hitam yang sedari tadi menutupi wajahnya. Saat sudah terlepas sempurna, Gesta kaget bukan kepalang melihat siapa ternyata si driver ojol yang sedari tadi aneh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bright in the DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang