6

4K 506 60
                                    

Kugerakkan tubuhku, menggeliat. Mengerjap dan menyadari betapa damainya wajah Birawa di sampingku. Pelukan posesifnya sangat terasa meskipun ia masih terlelap.

Wajahku menghangat mengingat percintaan kami semalam. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya dicintai, tapi perlakuan Birawa semalam membuatku merasa istimewa. Ya, setiap kali Birawa menyentuhku, selalu membuatku merasa seperti ini. Kecuali saat dia marah tentu saja. Karena saat ia marah, ia akan menyetubuhiku dengan kasar dan brutal.

Telunjukku bergerak, menyusuri garis tulang hidung, rahang dan berakhir di bibirnya. Aku mengaguminya, sangat. Aku memujanya, sangat. Aku mencintainya, sangat.

Dahi Birawa berkerut. Tidurnya terganggu dengan gerakan jariku. Tiba-tiba bibirnya bergerak membuka, mengulum jari telunjukku yang meraba bibirnya.

"Uhmmm.... nakal!" gumamnya membuka mata.

Aku tersenyum.

"Dingin," celetukku tanpa sadar.

Birawa menoleh ke bawah, lalu terkekeh. Ia berguling menindihku. Tubuh telanjangku kini tertutup tubuh besar Birawa. Tidak ada selimut yang menutupi kami. Entah, Birawa membuang benda itu kemana.

"Aku akan menghangatkanmu lagi," senyum miringnya membuatku membelalak.

"Aku belum beres-beres sama sekali, Bi."

"Nanti saja. Sekarang aku mau kamu," ujarnya mengecupku sambil menggoyang pinggulnya menggodaku.

"Bi, aku capek. Kamu membuatku tidak tidur semalaman," rengekku.

"Siapa suruh kamu menggodaku terus?"

Aku memutar bola mataku. Bukankah dia yang memancingku?

Birawa meremas dadaku dan terkekeh mendengarku mendesis dan mengerang.

"Lihat, siapa yang menggoda?" ejeknya.

"Tanganmu kemana-mana!" protesku kembali mengerang saat Birawa menggoda tubuh bawahku.

"Tapi kamu menyukainya kan?"

"Ugh... Bi...."

Dan Birawa kembali membawaku melambung tinggi. Salah satu pagi yang akan kukenang dalam hidupku nanti.

.

=====

.

Aku memisahkan diri begitu saja ketika kulihat dari kejauhan Shareen menunggu di pintu penjemputan. Tunangan Birawa itu terus menerus menelepon Birawa, menanyakan kapan Birawa pulang.

Kini mereka berpelukan, layaknya pasangan yang sedang menumpahkan rindu. Kubuang pandanganku, bergegas mencari taksi.

Sepanjang perjalanan aku hanya memandang nanar keluar jendela, seolah pemandangan di luar sana sangat menarik perhatianku. Tiba-tiba saja aku ingin sendiri.

"Pak, saya berhenti di kafe depan saja."

"Baik Neng," supir taksi itu melambatkan mobilnya dan menepi.

Aku segera membayar argo-nya dan turun, memasuki kafe yang nampak lengang. Kafe ini hanya empat blok dari apartemen yang kutinggali.

Sambil menunggu datangnya makanan yang kupesan, aku melihat beberapa medsos di ponselku, mengomentari beberapa postingan temanku dan menjawab pesan.

"Cathleya."

Aku menoleh ke arah suara dan serentak berdiri dengan kikuk. Dasta berdiri kira-kira tiga meter dari tempatku. Pakaian kasualnya mencetak dada bidangnya. Hilang sudah kesempatanku untuk sendiri.

(Not) Your Mistress (EBOOK tersedia di Google Play Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang