"serendipity"

149 4 0
                                    

Selamat datang di “Spring Day”
Aku ucapin terima kasih buat semuanya yang udah mau baca cerita ini, dan aku minta maaf juga kalo ceritanya kurang ngefeel dan juga banyak typonya.
.
.

Jangan lupa Vote.

Happy reading..


---------------------
Untukmu yang selama ini hanya berjalan di sampingku, langkahmu kian pasti.
Ku harap kita tak hanya menyejejerkan langkah, lebih dari itu, berjalanlah  sembari merekatkan genggaman”
-----------------------

Pagi Hari: saat sang surya diam-diam mengetuk jendela kaca, sinarnya perlahan masuk  menerobos ke seluruh ruangan dan hangatnya tanpa sengaja menyentuh wajah gadis yang masih tertidur pulas di ranjang dengan gundukan buku-buku disampingnya. Perlahan ia tersadar, meski kelopak matanya terasa berat dan enggan untuk menyapa dunia. Namun, buayan hangat yang kian membelai wajahnya cukup membuat ia tak nyaman. Ia memicingkan sebelah matanyam dan perlahan tersadar.

Setiap pagi adalah rutinitas yang menyibukan bagi gadis muda ini, Lee Hana. Sejak pukul 6 pagi ia sudah melakukan aktifitas seperti biasanya, mulai dari merapikan kamar tidur, mandi, membereskan buku kemudian menatanya, dan tak luapa ia menyepatkan diri untuk membaca. Bukan buku tentang Matematika, Bahasa Inggris, Studi Sosial atau Hanja yang ia baca kala pagi karena itu sudah ia lakukan di malam hari. Sedangkan di pagi hari adalah rutinitasnya untuk membaca novel dan komik.

Saat ini Hana sedang tergila-gila dengan sebuah novel klasik yang berjudul The Broken Wings karya Kahlil Gibran. Novel yang susah payah ia dapatkan saat datang ke bazar buku dua hari lalu. Walaupun harus merogo kocek yang lumayan mahal, ia tetap membelinya. Tabungan dari uang jajan selama tiga minggu menjadi pelampiasannya.


Sedikit menyeringai lantaran merasakan nyeri di bagian tungkai kakinya. Sendari tadi Hana memang  berjalan sambil berpegangan pada benda kokoh seperti meja, lemari dan tembok. Meskipun merasakan sakit yang teramat, tapi ia tetap memaksakan berjalan. Bagi Hana, hitus dari bangku persekolahan selama dya hari sangatlah merugikan. Bukan Lee Han namanya jika tidak memprioritaskan masalah pendidikan, jiwa rajainnya bahkan sudah melekat dengan otak serta pikirannya. Bahkan pagi ini ia berencana untuk masuk seklolah walaupun dengan keadaannya yang tak memungkinkan. Benar-benar percaya diri!!

Hana duduk di bibir ranjang sembari memegangi tungkai kakinya. “Ahh..., kenapa masih tersa sakit.” Ucapnya kecewa.

Sedangkan di dapur, Lee Herin yang biasa di panggil Mama oleh Hana. Sejak pagi, ia sudah  sibuk bergulat dengan alat-alat penggorenagan, memasak gyeran jjim andalannya, makanan berbahan dasar telur yang sedik pedas. Setelah yakin segala sesuatunya telah selesai, sebuah senyum mengembang mengikuti garis pipinya. Kemudian ia menghidangkan sarapan itu di atas meja persegi panjang berbahan kayu eboni di ruang makan.

“Papa, Hana. sarapannya sudah siap.” Panggilnya, suaranya memenuhi seisi ruamah.

Tak lama kemudian sesosok pria dengan setelan kemeja putih dan celana hitam perlahan menghampiri sumber suara kemudian duduk: seraya berucap “Selamat pagi.” Ia meneguk secangkir kopi yang telah disugukan.

Kopi hitam dengan campuran susu di dalamnya, minuman pembuka di pagi hari bagi pria paru baya yang biasa di panggil Papa.

Papa meneguk secangkir kopi untuk ke-empat kalinya, lidahnya kini sudah teramat candu sejak usianya masih muda. “Hana belum siap-siap, Ma?” tannyanya, sambil membuka surat kabar.

Kemudian Mama menoleh ke jam dinding. Pukul 06:45.

“Apa Hana belum bagun?”

“Tidak mungkin, kalo begitu Mama lihat ke atas dulu, Pa.”

Belum sempat Mama beranjak dan melangkah, anak semata wayangnya itu baru saja turun dari tangga dengan mengenakan seragam putih berbalut hodie abu-abu dan rok kotak-kotak berwarna hitam. Sebari menenteng sebuah tes berwarna Merah. Turun dari tangga dengan hati-hati dan langsung menuju meja makan.

“Pagi.” Ucapa Hana sembari melayarkan senyum.

“Apa masih terasa sakit?” tanya Mama dengan nada khawatir.

“Tidak terlalu.”

“Aigooo.., Mama mengkhwatirkanmu”

“Aniyo eomma, nan jinjja
gweanchanh-a” jelas Hana dengan penuh keyakinan. (Tidak ibu aku sungguh baik-baik saja.)

“Arasseo, kalau begitu berangkatlah dengan Ayah.” Tegas ibu. (Mengerti/oke/baiklah)

“Aniyo, aku naik bus saja.” (tidak)

“ Ini semua demi kesehatanmu.” Ayah pun ikut menambahkan.

“Arasseo” ucap Hana pasrah.

Tak ada kata-kata yang keluar lagi dari mulut gadis itu setelahnya. Ia hanya ingin secepatnya menghabiskan makanan-nya, lalu bergegas bangkit dari tempat duduknya.

***
Di seberang jalan, seorang gadis yang tengah berdiri bersama kerumunan pejalan kaki lainnya tepat di bawah tiang lampu lalu lintas. Wajahnya kian murung dan kesal bahkan goresan make-up pun tak dapat menutupnya. Kim Hyera, entah mengapa sepagi ini ia sudah menekuk wajahnya.

SPRING DAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang