Chap 4

153 4 0
                                    

"Buruan woi! Lari!" teriak Andre sambil berlari.

Sreekkk sreekkk

"Nana masih belum sadar juga, astaga," batin Fitri.

Mereka terus berlari hingga akhirnya sampai ke suatu Desa yang diyakini adalah Desa Gandupa.

Alunan gamelang terdengar dari arah Desa tersebut, seperti penyambutan untuk mereka.

"Kita dah sampai?" tanya Dian.

"Tadi yang ngejar kita itu, apa?" tanya Fitri dengan lelahnya.

"Mboh, yang kulihat bayangan hitam yang ngejar-ngejar kita," balas Wanto.

"Na, bangun, Na,"

Di tengah situasi tegang di antara mereka, muncul seorang pria tua menghampiri mereka.

"Nak, kalian ngapain di sini? Udah ditunggu, loh, di sana," ucap pria tua itu.

"Ditunggu?" ujar Ari.

Mereka mulai masuk ke Desa tersebut dan benar saja, beberapa warga berdiri di pintu masuk Desa tersebut seolah tahu bahwa mereka akan datang.

"Kalian datang juga, gimana? Masih lelah, ya? Kami udah siapin tempat kalian," ucap salah satu warga Desa tersebut.

Muncul seorang pria dengan blangkon menghampiri mereka.

"Nak, nama Saya Yanto, kepala Desa di sini, kalian nanti sementara tinggal di rumah saya, ya," ajak Pak Yanto.

"Pak," kata Fitri.

"Nanti aja Saya ceritain ke kalian, ya," ujar Pak Yanto.

Ari dan teman-temannya mulai berjalan menuju rumah Pak Yanto.
Selama perjalanan, mereka menjumpai hal-hal aneh, posisi rumah di Desa ini saling membelakangi. Tidak seperti rumah pada umumnya, saling berhadapan di seberangnya.

Setiap rumah dipasangi selendang putih, persis seperti yang terlilit di pohon.

**

Mereka tiba di rumah Pak Yanto.

"Nah, kamar buat yang perempuan aja, ya, laki-laki bisa di ruang tengah," ucap Pak Yanto.

"Pak, anu, katanya mau cerita," tanya Fitri.

"Eh, si Nana, gimana ini? Masih belum sadar, loh," jelas Ari.

"Udah, tenang aja, bentar lagi Dia sadar," balas Pak Yanto sembari menghisap rokok nya.

Jadi gini, Saya mau bicara dengan nak Dian terlebih dahulu, nanti saya tunjuk yang boleh bicara, ya" ujar Pak Yanto.

"Nggih, Pak,"

**

Pagi itu, suasana di rumah Pak Yanto seketika hening, dan masih gelap. Pak Yanto mulai berbicara dengan Dian.

"Dian, Supri udah kasih tahu semua ke sampeyan?"

"Udah, Pak,"

"Kalau kalian gak lengah, mungkin kalian cuma liburan aja di sini, tapi tuhan udah berkehendak lain, pendahulu kalian yang mau bebasin Desa ini udah nyerahin mandat ke ke kalian,"

"Bebasin Desa ini dari apa, Pak?"

"Dari Bahwati, Dia gak ada bentuk, hanya berbentuk apa yang kalian bayangi,"

"Berbentuk apa yang kami bayangi?"

"Saya ndak bisa kasih tahu cara ngalahin Dia, semua ada di kalian, kalau niat kalian baik buat nolong Desa ini, nanti petunjuk akan muncul di mata kalian, Saya juga lihat ada yang punya pegangan kuat di sini, ada Dua orang,"

"Siapa, Pak?"

"Kamu Ari, sama yang belum sadar itu," tegas Pak Yanto sambil menunjuk Ari dan Nana.

"Ha, aku, Pak?" tanya Ari.

"Dian juga punya, tapi Dia gak mau cari ribut, gak mau nunjukin dirinya" ucap Pak Yanto.

Ariii....

Nana pun sadarkan diri, semua orang yang tadinya cemas, kini sudah bisa lega dengan keadaan.

"Nana! Eh, kasih minum, buruan!" bentak Fitri.

**

Malam pun datang, semua orang tertidur, Pak Yanto dan Dian masih di teras rumah.

"Nak Dian, kalian harus kompak, saling percaya, ya, persiapin diri kalian, cuma kalian yang tahu jawabannya,"

"I..iya, Pak,"

"muga-muga kowe kabeh slamet (Semoga kalian semua selamat)"

Bersambung.

P.U.N.T.E.NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang