PROLOG

202 17 1
                                    

Derasnya hujan yang turun membasahi bumi, tak membuat pendengaran cewek ini terganggu. Ia menatap kosong kedua sosok berkain putih dengan wajah ditutupi kain. Ditambah lantunan ayat-ayat yang dilontarkan orang-orang didalam rumah itu begitu nyaring.  Air matanya telah habis. Menyisakan kebengkakkan di kelopak mata. Hidung yang merah dengan bibir yang bergetar.

Tak ada bedanya dengan sosok bayi mungil dipangkuannya. Terlihat begitu tenang meskipun mimik wajahnya yang murung. Seolah ia tahu suasana sedang berduka.

Rupanya, air mata itu ingin keluar kembali. Mewakili dada yang sesak dan kepala yang seakan-akan ingin meledak. Tak dipungkiri, setetes, dua tetes, tiga tetes air mata lolos begitu saja. Membuat bayi dipangkuannya terusik. Tangan mungil nya terangkat menyentuh wajah itu yang seakan tahu akan kesedihannya.

Bibirnya melengkung kebawah kala kakaknya tak mengindahkan pergerakannya. Akhirnya ia menangis kecil meminta perhatian.

"Nduk?"

Vallen tersadar dan mencoba melihat kesamping. Ia tersenyum tipis lalu menghapus sisa-sisa air matanya.

Kepalanya menunduk kebawah, dan menemukan adiknya tengah merajuk dengan mata berkaca-kaca.

Vallen mencoba untuk tersenyum memberi tahu bahwa ia baik-baik saja. Tidak, mereka harus baik-baik saja.

"Nak? Almarhum dan almarhumah harus segera dimakamkan. Semua sudah kami siapkan. Kita berangkat sekarang?"

Vallen mendongak menatap lelaki paruh baya itu lalu mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Ia memeluk lalu mengangkat bayi dipangkuannya itu diikuti perempuan paruh baya yang merangkulnya.

"Ibu-ibu! Harus ada salah satu diantara kita yang tinggal! Sebab rumah ini tidak boleh kosong!" ujar lelaki paruh baya tadi dengan tegas. Seisi rumah didalam itu mengangguk paham. Vallen berjalan semakin menunduk kala mengingat tak ada keluarga yang menemani. Hanya warga di kompleknya lah yang ada untuknya sampai saat ini.

"Nduk, hapus air matanya ya? Kita antarkan Ibu dan Bapak dengan perasaan ikhlas. Ya, nduk?" ucap perempuan paruh baya disampingnya itu dengan senyuman teduh. Sosok yang sangat peduli padanya dari semenjak ia tinggal dirumah itu, sampai sekarang.

Vallen mencoba menarik napas, menenangkan hatinya dan berusaha ikhlas menerima cobaan. Tangannya memeluk erat bayi digendongannya.

Lalu mereka berjalan bersama-sama mengikuti para lelaki paruh baya yang membawa kedua orangtuanya ke tempat peristirahatan terakhir.

Dari awal Vallen melangkah, ia mencoba bangkit. Meyakinkan diri dengan berkata lirih didalam hati, bahwa ia dan adiknya harus baik-baik saja.

Bantu Allen, tuhan. Allen mohon..

[PTS #1] RALLEN {New} (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang