Thirth Scoop; Classic Vanilla

34 2 0
                                    

Kania, sosok yang turut memberi warna pada kehidupan Gustav, Oma dan Zang Crème.  Salah satu persona yang juga membuat Gustav berada di posisi yang sama tiga tahun belakangan ini. Sahabat, setidaknya belum melangkah jauh dari ikatan tersebut.
Pertemuan pertama Gustav dan Kania terbilang menarik, di Halte Busway Tebet. Hiruk-pikuk penumpang cukup ramai siang itu. Memang, Jakarta jarang lengang di hari aktif. Semua penumpang tampak fokus dengan tujuan mereka masing-masing. Namun bagi Gustav ada pribadi yang menarik perhatiannya, seorang wanita muda bersetelan kaos dibalut kardigan memanjang, lebih panjang dari roknya yang hanya sebatas lutut. Ia terlihat serius sekali memagut satu scoop ice cream cone di tangan kanannya. Terlihat nikmat sekali. Wanita itu Kania, Gustav cukup lama memandangi Kania. Suhu luar jakarta yang panas memang paling nikmat menikmati ice cream. Sementara di tangan kirinya wanita itu memegang sesuatu. Matanya mencari arah, sesekali ia menengok ke arah papan petunjuk jurusan yang tertempel di dinding halte.
Gustav melirik jam tangan yang ia kenakan. “Masih lima belas menit lagi,” pikir Gustav melihat jadwalnya sendiri. “Itu pun kalau tepat waktu,” Mustahil memang, di jalanan Ibu kota sebuah bus fasilitas umum bisa datang dan pergi sesuai jadwal. Tak berapa lama ada bus datang, bukan bus yang jadi tujuan Gustav tentunya. Wanita yang sedari tadi memagut gelato tersebut ekspresinya wajahnya berubah seketika ketika melihat benda yang ia genggam. Matanya membelalak tiba-tiba. Ia panik.
Semua orang sepertinya punya semangat membara memperjuangkan tujuan yang sama kala itu, mereka ingin menaiki bus yang sama, termasuk wanita tersebut. Entah bagaimana, ada sosok pria tinggi besar yang lebih cekatan ingin masuk bus, wanita itu tersungkur di lantai halte dengan ice cream-nya yang sudah melantai. Tak ada yang peduli. Ibu kota terlalu kejam untuk yang lemah, bahkan hanya untuk naik ke sebuah bus angkutan umum kota.
Wanita itu diam cukup lama meratapi ice cream-nya. Gustav yang berada di dekatnya lalu bangkit dan menolongnya untuk berdiri. Mata wanita itu cukup lama memandang ice cream yang bentuknya tak lagi jelas di lantai. Mata yang mengisyarakat kehilangan yang mendalam. “padahal hanya untuk sebuah ice cream,” Gustav meracau dalam hati. Tangan kiri wanita itu mengepal keras, menggenggam sebuah benda yang membuatnya terkejut sedetik lalu, seperti tak ingin kehilangan lagi untuk kedua kali.
Gustav pun tergoyahkan hatinya, seolah ada bisikan yang memintanya menolong wanita itu. Dengan cekatan, ia membantu wanita itu dan memintanya untuk duduk di kursi halte tepat di sebelahnya. Sempat terjebak dalam kondisi dua manusia saling membisu. Hingga kemudian wanita di sebelah Gustav bersuara.
“Padahal itu ice cream pertamaku setelah putus,” wajah wanita itu tiba-tiba buram.
“Wanita itu ternyata dapat berbicara,” pikir Gustav dalam hati. Tak berapa lama, ujung mata wanita itu pun mengkristal. Ia menangis di sebelah Gustav, wajah Gustav pun panik, ia melihat pandangan orang di sekitarnya, semua pasti mengira ia telah berbuat jahat dengan wanita yang duduk saat ini di sampingnya. “Mas kalau pacaran berantem, jangan di sini,” ujar ibu-ibu di depan Gustav menegur.
Wajah Gustav memerah malu, mimpi apa Gustav semalam, sungguh cepat orang-orang di halte menarik kesimpulan sebegitu dramatisnya. “Bukan bu, bukan, bukan sama saya,” Gustav panik. “Hey, kok malah nangis di sini sih,” Gustav mencoba berdialog.
Mata sebagian penumpang yang menunggu bus tampak menghakimi Gustav. Mereka seakan berkata, bajingan sekali kau Gustav membuat wanita menangis di depan umum.
Agak ragu, Gustav pun mendekatkan wajahnya untuk berbisik, tidak terlalu dekat tentunya. Cukup hingga wanita itu paham akan apa yang ingin ia ucapkan. “Sudah ... sudah, itu hanya ice cream,” Gustav mencoba menenangkan.
Wanita itu berhenti sejenak dari tangisnya, sesekali isaknya masih menemani. “Kamu tak akan tahu, kalau kamu belum pernah kehilangan,” Wanita itu kemudian menangis kembali makin menjadi.
Gustav tak dapat berkata apa-apa, hanya respons singkat, “oh itu,” Gustav teringat dengan apa yang pernah Oma ceritakan. Wanita ini sepertinya benar-benar kehilangan sesuatu yang dicintai. “Pantas dia cengeng sekali,” Gustav berpikir ini seperti yang sering diceritakan Oma, tentang sebuah kehilangan. Meskipun ini kehilangan yang paling sederhana. Tidak seperti kehilangan seorang Gustav atas kepergian kedua orang tuanya, ataupun kisah kehilangan seperti pelanggan-pelanggan gelato Oma.
Gustav mencoba cara lain untuk merayu wanita paling cengeng di sebelahnya itu. “mau nangis di sini terus?” Gustav mencoba berdialog kembali, “ayo ikut, akan kutraktir kudapan paling enak sedunia,” rayu Gustav. “Berbeda dengan ice cream yang kau ratapi, gelato namanya.”
Kania menatap Gustav dengan tatapan ragu.
Gustav mengubah wajahnya layaknya pria paling serius. Ia tegapkan tubuhnya. “Ayolah,” Gustav menarik tangan wanita yang menangis tersebut lalu berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam bus nya yang telah tiba. Sebuah pemaksaan memang, namun ia sudah kehabisan akal terjebak dari prasangka orang-orang di dalam halte.
Sepanjang perjalanan bus, gadis cengeng yang membuat heboh Gustav makin lama makin mereda tangisnya. “Terima kasih telah menolongku saat terjatuh tadi,” ujar wanita itu “Aku Kania,” wanita itu memperkenalkan diri lalu menjulurkan tangan kanannya.
Gustav mencoba terlihat cool. Suaranya agak direndahkan. “Cukup merepotkan memang, Orang di halte tadi pasti ngira aku lelaki bajingan yang nyakitin kamu,” gurau Gustav. “Aku Gustav, panggil saja namaku itu,” balas Gustav lalu ikut menjulurkan tangannya untuk saling berjabat.
Kedai Zang Crẽme........................
Zang Crẽme kali ini cukup ramai, walaupun ini bukan hari liburan. Oma dan Arya, tidak sempat terlalu lama menganggur. Apalagi dengan tidak adanya Gustav. Selalu ada pesanan, selalu yang meminta tambah. Apalagi suasana di dalam kedai cukup nyaman saat suasana panas di luar.
“Ting, ting, ting.”
Bunyi suara lonceng kecil khas yang berdenting cukup menyadarkan siapa pun di dalam kedai, pertanda ada yang memasuki kedai zang Crẽme.
Dari pintu muncul sosok Gustav. “eh, cucu Oma sudah pulang,” Oma menyambut Gustav seolah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya. Selalu seperti ini, setiap ia baru saja pulang.
Gustav telah terbiasa dengan respons Oma yang sedemikian berlebihan, namun tidak kali ini, mengingat ada Kania yang datang bersamanya. “Sudah Oma, aku sudah terlalu besar disambut dengan cara ini.” Gustav sedikit memasamkan raut wajahnya. Ia agak kesal memang, selalu dianggap anak-anak oleh Oma. Apalagi di usianya sudah menjelang 19 tahun.
Kania berbisik. “Itu nenekmu?” tanya Kania pelan.
Gustav ikut merendahkan volume suaranya. “Ya begitulah, ia lebih senang dipanggil Oma,” jawab Gustav sama lirihnya.
Oma meninggikan kepalanya hingga pundaknya sedikit terangkat, tanda penasaran. “Ehm ... hayo cucu Oma tersayang bisik-bisik apa di depan Oma?” ujar Oma melihat cucunya berbisik dengan wanita yang dibawanya.
Parahnya lagi sekarang Kania seolah menahan tawanya saat melihat sosok pria bersamanya yang merupakan sosok cucu kesayangan seorang nenek paruh baya.
Gustav bertambah kesal. “Kok malah ketawa sih?” Gustav menghardik Kania pelan. “Kau duduklah di sana!” ucap Gustav meminta Kania duduk di deretan kursi kosong dekat jendela.
Selepas itu Gustav langsung menuju ke belakang meja pelayanan, Oma mengikuti di belakangnya sambil sesekali memandang sosok anak perempuan yang datang bersama cucunya. Di meja pelayananan tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Oma, yang ada hanya ekpresi wajah yang tergurat senyum aneh yang belum pernah Gustav temui.
Gustav memandang Oma. “Puas Oma melihat aku ditertawakan gadis itu?” Gustav menanggapi senyum aneh Oma.
Wajah Oma berubah, sesekali tulang pipinya terangkat karena memberikan senyum usil “cucu Oma sudah besar, dia cantik dan sepertinya baik?” Oma tidak menanggapi keluhan Gustav barusan, ia justru memuji Kania.
Gustav bingung. “Oma ini aneh, bagaimana Oma bisa bilang ia anak baik kalau aku saja baru mengenalnya kurang dari sejam yang lalu.” ucap Gustav paham ke mana arah pembicaraan Oma. “Aku bertemu dengan anak perempuan paling cengeng itu di halte busway, namanya Kania, ia menangisi ice cream-nya yang terjatuh, semua orang menatapku seolah aku lelaki bajingan yang duduk di sebelah wanita menangis, mereka pikir kami pasangan yang sedang berkelahi, makanya aku bawa ke sini!”
Oma terbekas paham, “Oh belum pasangan,” Oma lalu menatap Gustav dalam lalu memalingkan wajahnya ke arah Kania. “Iya Oma percaya dengan semua ceritamu. Siapa namanya tadi? Kania? Nama yang cantik, sesuai apa yang Oma lihat,” Oma membalas kalimat pembelaan Gustav tapi tak sedetik pun matanya lepas dari Kania.
“Aku tidak perlu mengarang cerita, Oma!” Gustav berusaha meyakinkan. “Aku ajak ke sini juga karena teringat ucapan Oma dulu, bukannya siapa pun yang datang ke sini bisa sembuh dari rasa kehilangan, anggap saja ia baru saja kehilangan sesuatu yang benar-benar diinginkan.”
Oma menyetujui pembelaan cucunya bahwa apa yang Gustav lakukan hanya karena teringat pesannya. “Sekali lagi cucu Oma tak pernah salah. Dan Oma juga tak pernah salah, ia memang anak perempuan yang paling cantik yang pernah Oma temui,” ucap Oma sangat yakin.
Oma menghela napasnya sebentar
“seandainya....”
“Sudahlah Oma, aku baru saja mengenalnya.” Gustav memotong pembicaraan Oma, sambil sedari tadi ia mulai mengambil scoop demi scoop gelato untuk Kania. “Aku hanya ingin menolongnya, tidak lebih.”
Oma menampakan wajah kecewa kali ini. “Ah, kau ini mirip seperti ayahmu, sama persis” ujar Oma yang agak kesal namun terselip bahagia cucu semata wayangnya sudah cukup besar untuk mengerti cinta masa muda. Ia merasa sudah cukup tua sekarang, rasanya baru kemarin ia berdialog singkat dengan Gustav kecil yang menangis di ujung meja yang  sekarang ditempati Kania.
Gustav pun berlalu sambil membawa gelato yang ia janjikan untuk Kania. Ia tidak ingin berlama-lama bersama Oma. Ia tak nyaman ketika Oma terlihat menjadi seorang detektif. Haus akan segala informasi. Wajar memang, Gustav cukup penyendiri, tidak pernah sekalipun ada teman sebayanya yang datang menginjakkan kakinya ke kedai gelato Zang Crẽme. Nah, sekarang malahan ada sosok lawan jenis yang tiba-tiba datang bersamanya. Sosok Kania, yang menurut Oma gadis tercantik yang pernah ia lihat. Kania memang bukan tipe-tipe perempuan pesolek yang wajahnya dipenuhi dengan make up brand ternama. Ia malah sama sekali tak dipoles apa-apa. Wajahnya memang cantik alami, matanya indah, dan rambutnya yang sedikit ikal membuat ia jadi semakin menarik. Namun tetap saja tak menarik bagi Gustav. Gustav hanya memandang Kania sebagai sosok perempuan cengeng yang tak sengaja ia tolong.
Sesampainya di meja tempat Kania duduk. “ini!” Gustav memberikan gelato dengan sikap dingin.
Kania langsung menatap Gustav dengan pandangan tegas. Gustav yang selepas memberikan masih berdiri kaku di sebelah Kania. Wajah Kania berubah jadi agak memerah,  lalu disandarkanlah tubuhnya ke kursi yang ia singgahi.
“Hey, apa semua pelanggan di sini kamu berikan pelayanan dengan sikap sedingin ini?”
Gustav terkejut sejenak, “ternyata cewek cengeng ini bisa marah juga,” ucapnya dalam hati. Gustav sadar pernyataan Kania tadi ada benarnya, mana mungkin ia melayani pelanggan Zang Crème dengan cara seketus tadi. Bisa begidik Oma kalau Gustav berbuat seperti itu.
“Ini gelatonya tuan putri, silakan di cicipi!” Gustav mengulangi ucapannya yang lalu diikuti pandangan wajahnya yang ia alihkan ke sisi lain. Ia mengumpat pada dirinya sendiri, “kok bisa sih sok asik kaya gitu, bodoh kau Gustav,” umpatnya dalam hati.
Gustav tersadar Kania melongo menatapnya, sedetik kemudian Kania melepaskan senyum, lalu tertawa dengan renyahnya.
“Oke Tuan Muda Zang Crème,” Kania membalas tawaran Gustav, “gila yah, aku pikir kamu cowok songong yang cuma mau pamer gelato Omanya, ternyata bisa ngelucu juga.”
“Apa? ngelucu? Dia pikir baru saja ada festival stand up comedy di hadapannya?” Gustav dalam hati.
“Biarlah, setidaknya Kania sudah mulai bisa tersenyum, dan kalau dilihat-lihat anak ini manis juga kalau tersenyum seperti ini” Terselip ketenangan akan kondisi yang berubah dari sebelumnya dan pujian atas Kania dalam hati Gustav.
Ya, tepat di saat itulah awal Gustav menyadari kalau bersama Kania ia akan mengalami berbagai macam kontemplasi perasaan. Sedetik lalu ia baru saja melihat cewek cengeng di halte busway, sedetik kemudian dia melihat sosok ibu tiri galak, dan berikutnya ada bidadari surga dengan senyum terindahnya.
Sedangkan Kania, Selepas tertawa, ia tersadar telah jadi dirinya sendiri di depan pria yang baru saja ia kenal. Ia langsung cepat-cepat menundukan wajah dan memagut gelato vanila yang diberikan Gustav. Ia tak ingin terlihat aneh di mata Gustav. Ia baru mengenalnya, yang dapat ia lakukan hanya sok menikmati gelato sekarang. Sambil sesekali melalui ekor matanya ia mengintip, memastikan Gustav tak terus memperhatikannya. Karena sejak tadi ia terdiam berdiri menatapnya.
“Boleh aku duduk di sini?”
Kalimat itu cukup menyadarkan Kania, mau tidak mau ia menatap Gustav. “Ada darah pemilik toko ini yang mengalir di tubuhmu,” ucap Kania sekali lagi menegaskan, “jadi kamu berhak memilih sendiri mau duduk di mana di Tokomu sendiri, ngapain minta izin,”
Gustav sadar ia baru saja mengucapkan kalimat terbodoh di dunia, namun ia buru-buru memikirkan kalimat selanjutnya, tentu saja kalimat yang tidak akan membuatnya semakin kelihatan bodoh.
“Oma selalu bilang setiap pelanggan yang masuk ke Zang Crème adalah raja, dan tempat yang mereka pilih untuk mereka duduki adalah singgasana dan teritori kerajaan mereka sejenak di Zang Crème, bukan begitu, Oma?” jelas Gustav dengan suara tegas agar Omanya mendengar apa yang baru ia ucapkan.
Gustav tahu sedari tadi Oma menguping pembicaraan mereka, lalu mengapa tidak dilibatkan sekalian dalam percakapan ini, pikirnya.
Kania dan Gustav pun memalingkan wajahnya ke Oma, Oma yang sadar cucu lelakinya itu memergokinya menguping pembicaraan, berusaha mengalihkan. “Arya, itu yang adonan coklat sudah dicampur atau belum? Kalau belum biar Oma membantu di belakang,” Oma berbicara agak keras untuk mengalihkan pembicaraan dan berlalu ke dapur pembuatan gelato di belakang.
Kania pun tersenyum kembali melihat keanehan tingkah laku cucu dan Oma di hadapannya. “Silakan duduk putra mahkota Zang Crème” Kania lalu mempersilakan Gustav duduk meniru nada Gustav beberapa saat lalu ketika menawarkannya gelato.
Tidak menunggu terlalu lama, Gustav pun akhirnya memilih duduk lalu menyandarkannya tubuhnya ke sofa di meja tempat Kania memagut gelato.
Ekpresi Kania terlihat sama, sama-sama menikmati pagutan demi pagutan gelatonya. Sesekali tangan kirinya memainkan benda yang digenggamnya.
Gustav juga secara tak sadar memperhatikan gerik Kania bermain dengan benda di tanganya. “Kompas?” tanya Gustav penasaran.
Kania menunjukan benda di tangannya. “Iya, benda ini yang selalu menyelamatkanku ketika kehilangan arah, buatku tak ada yang lebih menyembuhkan sakit hati selain ones scoop ice cream dan berjalan mengikuti tujuan ke mana kompas ini memberi tanda,” jelas Kania panjang.
Gadis yang aneh, pikir Gustav dalam hatinya. Ia memandang tajam ke arah kompas yang digenggam Kania, jarumnya tak menunjuk arah yang jelas, bergoyang tanpa arah, tidak seperti kebanyakan kompas yang selalu menunjuk ke utara. Gustav penasaran “Rusak, Kompasmu, rusak, tak menunjuk satu arah, karena terjatuh tadi?”
Kania tersenyum, pipinya tertarik ke atas, ia geli melihat pria di hadapannya penasaran akan benda yang ia pegang.
“memang begini keadaannya, bukan rusak karena terjatuh, sudah begini sebelumnya,” Jelas Kania.
“ini seperti sebuah kompas keberuntungan buatku, terkadang kita butuh keberuntungan bukan, lebih dari kamu tahu ke mana kamu akan pergi, aku suka melihat ke mana kompas ini menunjuk tegas tiba-tiba, seperti menemukan arah perjalanan baru untuk menyembuhkan luka buatku.” Kania Melanjutkan penjelasannya
Gustav mulai tertarik dengan penjelasan Kania. “Lalu ke mana tujuan keberuntunganmu setelah ini?” tanya Gustav merespons penjelasan Kania.
Kania menggoyangkan kompas yang ia genggam. “Belum tahu, kompas ini tak biasanya berputar-putar selama ini pada satu titik, mungkin di sini tujuan terakhirku hari ini, by the way terima kasih sudah membuatku terdampar di sini,”
Gustav menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan wanita di hadapannya, Menarik, wanita yang kurang seharian Gustav kenal sepertinya akan punya banyak pengalaman yang akan mewarnai hari-harinya ke depan. Dilain pihak, Kania pun telah menemukan tujuan keberuntungannya, jika di lain hari ia jatuh sakit hati lagi, Zang Crème akan selalu jadi tempat singgahnya.

Gelato of Love (Proses Terbit) END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang