Fifth Scoop; Blue Mint

25 1 0
                                    

Wangi parfum bvlgari semerbak menusuk hidung Oma di minggu sore Zang Crème. Sedari tadinya cucunya tampak berbeda dari biasanya, matanya cekatan menatap pintu depan Zang Crème ketika lonceng pintu berbunyi. Seperti mengharapkan seseorang yang datang.
Oma penasaran. “Kania datang jam berapa, Gus?” tanya Oma iseng menebak siapa yang ditunggu cucunya.
Gustav masih memandangi pintu depan “Paling sebentar lagi Oma, harusnya dia sudah datang!” jawab Gustav telah masuk dalam jebakan Omanya sendiri. “Loh, kok Oma tau Kania mau datang?”
Oma mengangguk-angguk tanda paham. “Nebak saja, ow ternyata yang ditunggu cucu Oma neng Kania toh, pantes sedari tadi gelisah menanti, ternyata menunggu kekasih hati,” ledek Oma.
Gustav menatap Omanya kesal, ia mudah sekali ditebak, Oma. “Apaan sih Oma, siapa yang kekasih? Kania hanya minta hari ini ditemani menonton konser musik,” Gustav mengklarifikasi kedatangan Kania dan hubungan dengan dirinya.
Arya berjalan mendekati konflik antara cucu dan Oma. “Biarin aja Oma, namanya juga mas Gustav sedang di mabuk asmara, sampe ngeluarin banyak jurus untuk menyangkal perasaannya,” Arya ikut andil dalam bullying ala Zang Crème sore itu.
Gustav menatap Arya, “Awas kau Arya, selalu saja menjadi pendukung Oma,” Gustav mengejar Arya.
Bel pintu berbunyi
Seorang wanita cantik terlihat dari balik pintu. Ia mengenakan dress bunga-bunga selutut dengan topi fedora berwarna krem berstripkan hitam. Di sisi kanan dan kiri topinya rambut hitam yang diujungnya di berikan sentuhan ombre berwarna neon blue. Kania tampil berbeda dari biasanya. Ia tampak feminin namun tetap santai. Make up menimalis ala wanita Korea memberikan pendekatan manis.
Gustav melihat Kania tak berkedip, ia tak pernah mengira Kania bisa tampil secantik ini, terkadang ia memang dandan jika sedang datang untuk memperkenalkan kekasih barunya ke Zang Crème. Namun ia melihat Kania yang berbeda hari ini.
Kania menyapa Oma yang berdiri dekat mesin kasir. “Halo Oma, apa kabar Oma hari ini?” ia melihat sekeliling Zang Crème. “Hari ini cukup ramai ya Oma?”
Oma senang dengan kedatangan Kania, setidaknya penantian cucunya berakhir. “Baik Kania, benar sekali zang Crème rame hari ini,” ia melihat cucunya masih terjebak lamunan. “Hush, Gustav liat bidadari Kania sebegitunya.”
Gustav terkejut, ia mengaruk-garuk kepalanya. Lalu terkekeh kecil, ia malu terpergok Oma. “Baru dateng non, kirain ga jadi,” ujar Gustav.
Kania tersenyum, “Sesuai janji kita tadi malam, aku pasti datanglah, kamu jadikan menemaniku nonton pertunjukan musik Adhitya Sofyan kan hari ini?” Kania memastikan, karena Gustav belum terlihat siap dengan tampilannya yang masih mengenakan celana jeans berwarna agak pudar dan kemeja kotak-kotak hitam andalannya. Sementara apron Zang Crème juga masih terpasang di bagian depan tubuhnya.
“Mau sekarang, ayok,” Gustav melepas apron yang ia kenakan.
“Kamu mau begini?” Kania menatapnya sinis, sementara ia sudah cantik, Gustav tampil seadanya. “Ga mandi dulu?”
“Jangan kau pikir karena sudah kau semprot tubuhmu dengan parfum lantas kau sudah merasa tampan, pakai lah pakaian yang layak seperti orang-orang yang ingin memadu kasih, nanti dipikiran orang yang melihat mu, non Kania jalan sama pengawalnya,” Oma setuju dengan Kania.
“Apaan sih Oma, udahlah, aku masih tampan, kok,” Gustav sombong, “emangnya Arya noh,” Gustav balik meledek Arya.
“Loh kok aku dibawa-bawa sih tuan pangeran,” Arya menyaut. “By the way, aku ikut dong mba Kania, boleh ya Oma, boleh,” rayu Arya ke Oma dan Kania.
“Enak saja kau Arya, trus kau mau membiarkan Oma sendirian, biarlah cucu Oma berjalan-jalan ala anak muda normal, kau di sini saja lah,” ujar Oma.
“Maksud Oma apa, anak muda normal,” Gustav tak terima dengan pembelaan Oma yang terkesan tendensius. Namun Gustav setuju lebih baik Arya tinggal di Zang Crème menemani Oma dari pada menggangunya dengan Kania. “Iya, Arya di sini saja yah menemani Oma,” saran Gustav yang disambut  muka masam Arya, lalu kemudian disambut tawa Oma dan Kania.
“Ya udah Oma, kami jalan dulu yah,” Kania berpamintan.
Mereka pun berlalu ditandai lonceng yang berdenting di pintu depan Zang Crème.
Jakarta malam untuk dua orang dalam kebimbangan………
Setibanya di kafe tempat Gustav dan Kania menonton mini konser Adhitya Sofyan, mereka lalu memilih tempat mereka hinggap menikmati malam jakarta, cukup rame malam ini gumam Gustav dalam hati. Semua orang menanti penampilan seorang Adhitya Sofyan. Begitu juga Kania yang memang salah satu penggemar seorang Adhitya Sofyan. Alunan lagu secret code yang dimainkan oleh adhitya sofyan langsung saja mengingatkan apa yang menjadi dilema seorang Gustav,
But the world can never see, They can never hear
They won't understand, This one's just for you
I think I'm in love, With you
Begitulah perasaan Gustav saat ini, ia ingin menyampaikan kode rahasia yang telah ia simpan dalam hatinya. Keinginan terus berkecamuk di pikiran Gustav, ia ingin Kania tahu apa yang selama ini ia pendam, namun bukan Gustav namanya kalau mampu jujur mengenai isi hatinya. Sedari tadi tubuhnya tak tenang, apalagi ia saat ini berada di sebelah Kania. Kania masih saja terlihat serius menikmati alunan musik dari penyanyi kesukaannya. Sesekali Gustav menatap bibir Kania sedang ikut melantunkan lirik dari pemusik yang ia nikmati alunan lagunya.
“Kania,” Gustav mengeluarkan kata pembuka.
“Iya, Gus,” Kania menoleh dengan wajah khasnya, “Kenapa Gus, kamu sakit yah?” Kania melihat sahabatnya Gustav wajahnya sangat pucat, keringat bercucuran.
Gustav terlihat bodoh malam ini, ia diselimuti ketakutan luar biasa. Ketakutan merusak jalinan yang lebih kuat sebelumnya. Sebagai seorang sahabat. Namun ia tak tahu bagaimana ia menahan transmisi perasaannnya sendiri yang semakin memaksa untuk diungkapkan.
“Kamu ga apa-apa kan, Gus?” tangan Kania mengambil sebuah tissue di depan meja di hadapannya dan langsung menempelkannya di kening seorang Gustav.
“Hancur sudah tembok yang telah dibangun,” Gustav dalam hati. Ia tak tahu bagaimana seharusnya ia sekarang. Pikirannya terbawa ke masa seminggu yang lalu, saat Gustav sudah berjanji akan selalu menjadi sahabat terbaik bagi Kania. Benar sahabat terbaik, haruskah ia meminta lebih dari janji yang telah ia dengungkan sendiri.
Kala itu Kania baru saja putus dari sosok yang menurutnya tepat, Kania marah semarah-marahnya.
“Memang ya semua lelaki itu sama aja,” ujar Kania mengumpat kaum adam kesal. Ia tak sadar di hadapannya saat ini duduk salah satu yang sejenis. Gustav.
Gustav menatap polos kemarahan Kania, ia tak bisa berkata-kata. Mungkin membiarkan Kania meluapkan emosinya adalah jalan terbaik.
Gustav menatap ke arah Oma, ia tak punya pengalaman menenangkan seorang wanita yang dilanda badai.
Oma memberi kode kecil, meminta Gustav menghampirinya, Oma terlihat menyiapkan satu cup gelato, chocolate chip gelato.
Gustav yang paham akan kode Oma bangkit dari duduknya dan meninggalkan Kania sejenak. Ia pun mengambil chocolate chip gellato yang telah disiapkan Oma dan kembali ke meja tempat di mana Kania masih saja dihujani amarah akan kehilangan sosok yang ia cintai. “Kania, ini, semoga bisa sedikit menenangkanmu,” Gustav pun membiarkan Kania menikmati penawar amarahnya sejenak.
“If someone you love, having an affair behind you, slap his face. Seriously slap his face and go get some gelato.”
Gustav masih menatap Kania lembut setelah apa yang baru diucapkan Kania. Tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Hanya menunggu, entah sampai kapan? Ia berusaha untuk selalu ada di setiap keadaan terburuk Kania. Mata Kania masih mengkristal. Mungkin, saat ini yang terburuk? Sudah hampir setengah jam ia masih belum memulai ceritanya. Hanya kalimat emosional tadi saja, padahal biasanya ia cukup ceriwis ketika sedang sangat emosional. Sesekali bibir lembutnya menikmati Chocolate Chip gelato yang ada di hadapannya. Setiap kali pula keadaan bukannya membaik, air matanya justru keluar lagi. Ia terisak tak sanggup menahan semuanya. ”Lalu?” kata itu keluar begitu saja.
Gustav mulai tak sabar ingin mendengar ada kalimat yang keluar dari bibir Kania. Wanita yang sedari tadi masih sibuk memagut gelatonya sambil terus terisak.
Kania pun tersadar ia sudah mendiamkan Gustav cukup lama. Ia menatap Gustav, tatapannya sayu seolah tidak ada harapan hidup lagi. Sedetik kemudian Kania mencoba menghapus air matanya sendiri yang sedari tadi terus turun dari ujung matanya. “Sudah selesai.” Kania dengan suara agak gemetar dan matanya kembali berkaca-kaca. “Ia bilang ini sudah berakhir." Seketika itu meledaklah air matanya.
Kania pun membenamkan dirinya, menutupi wajahnya di atas meja, napasnya tersengal, ini lebih hebat dari kehilangan-kehilangan seorang Kania biasanya.
Gustav menggeser duduknya di sebelah Kania untuk memberi dukungan lebih dekat.
“Gus,” Kania memanggil Gustav pendek, “lenganmu,” ujar lagi yang disusul berpindahnya kepala Kania bersandar di lengan Gustav. Gustav mengatur napasnya, ia tak pernah sedekat ini dengan Kania sebelumnya.
Gustav tak ingin dikira mencari kesempatan, ia perlahan meletakkan telapak tangannya di kepala Kania, ia belai sangat lembut menenangkan.
“Gustav,” suaranya lembut namun agak serak “jangan pernah bosan ya hadir di saat-saat terburukku?”
Gustav tidak menjawab, ia hanya memandangi sahabatnya—Kania—dengan lekat.
“Setiap kali aku jatuh sejatuh-jatuhnya, setidaknya izinkan kupagut sekali lagi gelato bersamamu di sini,” Melihat Gustav tak merespons, wajah Kania memelas, ia tatap wajah Gustav sangat dalam “please” Kania memohon karena Gustav tidak berjanji apa-apa dan hanya menatapnya.
Gustav pun mengangguk pelan, tanda setuju kalau ia akan selalu jadi pendengar yang baik dan seseorang yang selalu hadir di saat kondisi terburuk seorang Kania.
“Kamu memang sahabat terbaik, Gus,” ujar Kania tenang melihat Gustav setuju akan selalu menemaninya.
Titik itulah yang membuat seorang Gustav sadar, sejauh mana hubungannya dengan Kania. Tidak lebih dari sahabat, mungkin belum beranjak jauh dari titik itu.
“Gus, Gustav,” Kania menyadar Gustav dari lamunannya.
“Iyah,” Gustav tercekat menatap wajah Kania yang kebingungan dengan kondisinya. “Enggak kok, enggak apa-apa,” Gustav mencoba menenangkan.
“Kamu yakin?” tanya Kania lagi.
“Iya, semua baik-baik saja,” ujar Gustav memberikan penjelasan bahwa semua masih seperti biasanya. Baik-baik saja sebagai seorang sahabat. Gustav mengurungkan niatnya untuk mengubah sesuatu yang sudah lebih dari cukup. Cukuplah ia menjadi sahabat terbaik Kania, cukuplah hanya ia yang tahu seberapa cintanya ia dengan Kania. Belum akan beranjak lebih jauh. “Belum,” ungkap Gustav dalam hati.

Gelato of Love (Proses Terbit) END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang