Bag 3

248 52 11
                                    

"Soal berita-berita viral yang tengah hangat diperbincangkan mengenai artis saya, Gavin. Saya selaku manajer memberikan klarifikasi bahwa artis saya, Gavin telah membenarkan hubungan dengan wanita di sebelah saya bernama Windiana Azzahra. Mereka terlibat pendekatan beberapa bulan lalu, lalu memutuskan menjalani ta'aruf sebagai jalannya."

Bip

"Apa-apaan itu, bohong kan itu semua! Gila banget, Gavin cuma milik gue!"

"Shiren, lo terima aja keputusannya, napa sih? Itu udah jadi pilihan dia, kita gak perlu ngeribetin keputusannya."

Wanita yang dipanggil Shiren itu berjalan mendekati lelaki yang baru saja meledeknya.

"Apa loe bilang, ribet? Kalo gue ribet juga gak mungkin selama ini loe mau tinggal sama gue, Faris."

"Ya, ya itu kan gue mau jagain loe biar gak keseringan macem-macem." Jawab lelaki bernama Faris itu.

"Lagian, harusnya loe ngeliat dong, ada cowok yang selalu berada di sisi loe tapi loe malah pilih cowo yang liat sendiri kan dia gak ada ketertarikan khusus sama loe."

"Kalo loe mau bilang orang itu adalah loe, gue gak perduli. Gue bakal tetep mengambil apa yang udah seharusnya jadi milik gue, liat aja." Ujar Shiren memasang senyuman liciknya.

Faris hanya menghela nafas kasar mendengar ungkapan serius sahabatnya, sahabatnya tidak pernah bermain-main. Jika dia bilang A maka perkataannya itu serius.

| W I T H L O V E 🖤 |

Entah kenapa, Dian tiba-tiba terserang panic attack. Seharusnya Dian dan Gavin akan menemui wartawan untuk diwawancarai. Tetapi Dian kabur duluan begitu melihat berapa banyak wartawan yang akan mewawancarai mereka.

Bagaimana tidak, belum masuk sesi wawancara saja mereka sudah diserbu bertubi-tubi pertanyaan yang membuat Dian terdiam kebingungan. Langsung saja Dian kabur karena hal itu.

Tadinya Gavin ingin mengejar wanita itu karena pergi tiba-tiba. Tapi Hana menahannya untuk tetap berada di sana dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para wartawan.

"Loe kenapa pergi?" Tanya Hana mendapati Dian yang duduk diam.

"Ehm maaf Han. Saya tadi gugup banget, jadi malah pergi tiba-tiba. Saya gak biasa jadi pusat perhatian." Jelas Dian pada Hana.

"Loe minta maafnya sama Gavin aja deh. Kayanya dia bakalan diserang tuh, tadi kan loe pergi tiba-tiba."

Dian mengerti maksud perkataan Hana. Pasti saat ini Gavin tengah diserbu berbagai pertanyaan aneh dari para wartawan yang melihatnya pergi tiba-tiba tadi.

Belum lama terdiam, Gavin mengejutkan Dian karena tiba-tiba datang dan duduk disampingnya. Gavin merebut botol tupperware berwarna biru yang berada dalam tas milik Dian dan langsung meneguk habis air di dalamnya.

"Gak waras emang yang ngadain sesi wawancara. Minum gak disediain, cemilan gak ada, tempat duduknya cuma kursi kayu, apaan coba, jir."

Masih seperti mimpi, Dian tidak pernah menyangka bahwa sosok lelaki ambruadul dengan rambut yang dicat putih seperti aki-aki disampingnya sedang dalam hubungan serius dengannya.

"Baru dateng malah ngomel-ngomel gak jelas." Sindir Dian pada Gavin.

Dian terlonjak kaget ketika Gavin menoleh ke arahnya, tubuh lelaki itu semakin mendekat dengannya.

"Kam-kamu mau ngapain! Jauh-jauh sana! Bukan mukhrim!" Ujar Dian terbata-bata.

"Elu yang ngapain?"

Mata Dian berkedip memproses pertanyaan Gavin, ngapain apa?

"Lu ngapain pergi tiba-tiba tadi? Wartawan itu pinter-pinter, lu pergi gitu aja mereka bisa tuh bikin pertanyaan aneh-aneh." Jelas Gavin pada Dian.

"I-iya saya minta maaf, ta-tapi bisa kan kamu jauhin saya sekarang?"

Seakan tersadar dengan posisi mereka yang berdekatan, Gavin menjauhkan tubuhnya dengan segera. Mencari kesibukan dengan berpura-pura membenarkan rambut.

"Kamu gak risih apa, tua sebelum waktunya?" Tanya Dian membuka suara dari suasana canggung yang menyelimuti mereka.

"Maksud lu?"

"Rambut kamu warna putih, keliatan kaya uban, keliatan tambah judes juga." Jelas Dian pada Gavin.

"Tuntutan pekerjaan. Menurut lu, ini rambut cocoknya diwarnain apa?"

Sejujurnya Dian cukup terkejut ketika Gavin meminta pendapat darinya. Memangnya, kalau Dian beri pendapat akan dipakai? Belum tentu, kan.

"Kamu kan putih. Bagusnya sih warna gelap aja. Lebih bagus lagi kalau warna hitam biasa, auranya bakal lebih keluar." Jawab Dian seadanya.

Entah kenapa Gavin merasa ucapan Dian barusan terdengar seperti pujian untuknya. Rasa-rasanya dia keliatan jadi salah tingkah.

"Ayo, balik. Acaranya udah kelar." Ujar Gavin pada Dian.

"Oh, oke. Saya mau pesen takol dulu."

"Gak perlu. Lu balik sama gua."

Ah, Dian masih belum terbiasa melihat perlakuan baik yang di berikan Gavin. Mengingat 1001 imej negatif yang melekat dalam diri Gavin. Sepertinya, Dian harus mulai membiasakan diri dengan sikap baik yang diberikan Gavin, toh mereka juga terlibat dalam sebuah hubungan sekarang. Dian kan tidak mau menipu banyak orang dengan status palsu mereka. Walaupun susah, mau tidak mau Dian harus belajar membuka hati untuk Gavin si cowok tengil.

| W I T H L O V E 🖤 |

Vote and comment 🙂

With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang