HPR 2

421 23 8
                                    

2

Saya selalu sadar bahwa kamu dan saya memiliki sifat yang bertolak belakang.

Kamu itu seperti matahari, selalu memancarkan kehangatan pada siapapun yang berada di dekatmu. Dengan sifat ramah dan mudah akrab dengan orang yang baru dikenal, kamu jadi bisa dengan cepat menjadi pusat perhatian yang disukai banyak orang.

Kamu itu banyak bicara, selalu mampu membuat semua orang terdekatmu tertawa. Kamu juga ceria, sehingga bahkan hingga kamu pergi dari hidup saya pun, saya belum bisa memahami dan membedakan antara wajah bahagiamu dengan wajah sedihmu. Karena di mata saya, wajah kamu selalu ceria.

Berbeda dengan saya, yang mempunyai sifat kaku, dingin dan sulit tersenyum walaupun itu kepada orang-orang terdekat saya sendiri. Saya juga tidak bisa membuat orang-orang terdekat tertawa karena lelucon saya, karena saya memang tidak pernah melucu.  Saya selalu serius dalam hal apapun.

Perbedaan sifat itulah yang membuat saya sangsi jika kita bisa menjadi pasangan yang serasi. Tapi dengan segala sifat alamiah yang tidak banyak orang yang suka itu, bukan berarti saya tidak menyayangi orang tua saya. Saya menyayangi mereka, seperti saya menyayangi pekerjaan saya, dan tentu saja seperti saya menyayangi Allah.

Karena itu, saat mereka meminta saya menikahimu, saya setuju-setuju saja. Toh saya memang tidak punya calon istri di usia saya yang sudah sepantasnya untuk mencari pendamping hidup. Karena sejak awal saya sudah mengatakan bahwa pekerjaan adalah prioritas utama saya.

Dan saya juga tidak mau menipumu dengan mengatakan bahwa saya tertarik padamu dan ingin menikahimu. Tidak. Karena itu saya mengatakan semuanya padamu, dan jawabanmu benar-benar di luar ekspektasi saya. Kamu menerima bahwa saya tidak akan menjadikanmu prioritas utama saya, bahkan kamu malah berjanji akan membuat saya bisa jatuh cinta padamu dan jadi prioritas utama saya suatu saat nanti.

Yang terbersit di benak saya waktu itu adalah ... bagaimana kamu seyakin dan sepercaya itu pada pria yang bahkan dengan jujurnya tidak akan menganggap kamu sebagai istrinya? Bagaimana bisa kamu mau menghabiskan hidup bersama pria kaku seperti saya, yang bahkan tidak tertarik padamu? Apa saat itu kamu mulai tertarik pada saya?

Ah, bahkan saya sendiri menganggap bahwa saya adalah pedophilia karena menikahi perempuan yang usianya tujuh tahun di bawah saya. Itu adalah awal di mana saya menganggapmu tidak seperti perempuan pada umumnya. Kamu berbeda, meski saya tidak bisa menganggapmu istimewa.

Awal-awal pernikahan kita, kamu benar-benar selalu membuat saya pening. Kamu, yang selalu banyak bicara benar-benar menyusahkan saya, yang notabenenya lebih suka suasana sepi dan tenang di rumah yang sebelumnya hanya ditinggali oleh saya saja. Saya benar-benar harus menyesuaikan diri dengan segala sifat kamu yang seperti lalat pengganggu, terus berdengung di telinga tanpa henti hingga dalam mimpi pun saya masih bisa mendengar suaramu. Kadang, kamu juga bersikap kekanak-kanakan, membuat saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Kamu sudah mahasiswa tapi masih suka menonton film seperti itu? Dasar anak kecil," cibir saya suatu hari, saat kita berdua menghabiskan weekend dengan bersantai di rumah.

Saya masih mengerjakan laporan keuangan kantor, sementara kamu menonton televisi yang menayangkan gambar dua bocah botak yang kembar identik, memiliki seorang kakak perempuan yang galak dan nenek yang penyayang.

Kamu menyipitkan mata menoleh pada saya, "Kan enggak ada hukum dan aturan yang melarang  seorang mahasiswa menonton film kartun. Kalau pun ada, kan ada pengacara Edo Hartono yang nanti akan membelaku di pengadilan."

"Memang kamu yakin kalau saya akan membela kamu?" tanya saya.

Kamu memberengut, "Ya sudah kalau enggak mau. Nanti aku akan minta teman Mas yang tampan itu untuk membelaku!" ancammu.

"Coba saja kalau berani," saya menyahut datar.

Kilatan matamu berubah menjadi kerlingan jahil, dan kamu tersenyum penuh arti, "Mas cemburu?"

Saya hampir tersedak mendengar pertanyaan kamu itu. "Jangan terlalu percaya diri," tukas saya.

Namun kamu makin tersenyum lebar, "Ini kemajuan!"

"Saya bilang jangan terlalu percaya diri."

"Akhirnya Edo Hartono bisa cemburu juga pada istrinya."

Lagi-lagi kamu tidak mempedulikan ucapan saya.

"Inggit!"

"Sudah aku bilang bukan, kalau aku bisa membobol gembok hati Mas?" Setelah itu kamu bangkit dan berjalan meninggalkan ruangan. Sebelum mencapai pintu, kamu berbalik, "Aku akan masak makanan kesukaan Mas. Anggap saja sebagai hadiah."

Saya hanya menatap punggungmu tanpa berkedip. Kamu itu ajaib. Tak pernah takut pada tatapan mematikan maupun ucapan tajam yang suamimu ini selalu lontarkan padamu. Tapi entah mengapa semakin kita melewatkan waktu bersama, saya semakin terbiasa dengan keajaiban yang ada pada dirimu.

Saya tidak tahu bahwa saat itu ada gelenyar aneh yang menyusup ke dinding hati, tiap kali melihat wajah ceriamu. Bahkan saya tidak sadar bahwa saya lebih banyak bicara setelah menikah denganmu.

***

Versi wattpad cuma sampai sini ya, guys. Yang penasaran lanjutannya bisa beli pdfnya di aku, harga 9k bisa via transfer atau pakai pulsa. Hubungi nomor WhatsApp ku ya 081215662514. Thanks sudah mampir 😊😊🤗

Hujan Pengantar RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang