Prolog

560 43 9
                                    

Aku melangkahkan kakiku menuju taman yang tak jauh dari rumah. Mencoba tersenyum melihat dua orang paling berharga dalam hidupku bertengkar hebat. Aku tidak tahu apa permasalahannya. Ku yakin ini ada kaitannya dengan sekertaris papa yang baru. Aku berpikir dalam. Mengapa kisah keluarga ku ini benar-benar mirip sinetron di luar sana? Belum lagi papa yang menuntut ku mendapatkan nilai sempurna. Memang dia pikir otakku adalah komputer yang bisa menelan bulat-bulat semua materi hingga tak ada satupun kesalahan terjadi. Sialan. Aku terduduk dengan kesal sebelum seseorang dengan suara baritonnya menghampiriku.

"Ada masalah bung?" tanyanya. Sok kenal-batinku. Jujur aku agak risih didekati dengan orang asing. Apalagi seseorang yang nampak seperti preman jalanan.

Ku lihat dia asyik menghisap rokoknya. Aku sedikit menjauh dari barang itu.

"Haha kau tidak suka asapnya?"

Hanya diam. Toh, malas menanggapi manusia satu ini aku berdiri. Mencoba mencari ruang lain. Aku tidak suka jika seseorang ikut campur urusanku. Apalagi orang asing ini.

Aku merasa seseorang mengikuti langkahku. Ku coba menengok ke belakang. Argh! Dia lagi- batinku. Aku berhenti lantas memandangnya tajam.

"Mengapa kau mengikutiku. Ini ku beri kau lima ratus ribu lantas menjauh lah" ucapku kesal.

"Haha bung. Lima ratus ribu tidak cukup buatku"

Aku membulatkan mata. Sialan.

"Pertama itu tidak cukup untuk dirimu yang telah memfitnah. Toh siapa juga yang mengikutimu? Aku hanya ingin pulang ke rumahku. Paham?" ucapnya terkekeh lantas menyebrang jalan memasuki sebuah perkampungan ibukota.

Aku terdiam. Tanpa sadar kaki ini membawaku memasuki perkampungan penduduk. Kumuh itu yang aku pikirkan. Aku melihatnya memasuki sebuah gang lantas berhenti di sebuah rumah sederhana. Amat sederhana. Namun, aku merasa di dalamnya penuh canda. Tidak seperti rumah yang kuhuni.

"Kau mengikutiku?" pemuda itu mengagetkanku. Sontak aku meninju lengannya kasar.

"Sialan kau ini. Sekarang siapa mengikuti siapa" tanyanya. Aku memutar bola mata malas. Mencoba mencari alasan.

"Hanya berkeliling" balasku.

"Tidak mungkin kan tuan muda sepertimu memasuki perkampungan kumuh yang kastanya jauh di bawahmu" dia berujar sambil terkekeh.

"Terserah kau saja" ucapku malas.

"Kak Blaze!!! Taufan kira kakak lembur hari ini" seorang anak laki-laki bernetra biru saphire menghampiri kami.

"Haha! Hari ini bengkel tidak terlalu ramai. Mungkin esok kakak akan mencari pekerjaan tambahan" ucap pemuda itu dengan senyum yang tak memudar. Aku mulai penasaran dengan seluk beluk kehidupan disini.

"Kalau begitu siapa kakak tampan ini" ucapnya.

"Dia temanku" balas pemuda bernama Blaze itu.

"Siapa nama kakak" tanyanya.

"Ice. Panggil aku Ice" jawabku singkat.

"Salam kenal kak. Namaku Taufan umurku baru delapan tahun" ia memperkenalkan dirinya. Aku hanya mengangguk.

"Hey kak! Kak Ice ini temanmu? Kok tidak diajak masuk sih" Taufan berseru garang. Aku tersenyum melihatnya.

"Kak. Masuk dulu. Em, mungkin rumah kami terlalu kecil untukmu. Ah! Tidak apa-apa kan" Taufan tersenyum lantas menarik tanganku.

Aku mengangguk sekilas. Menyenangkan juga anak ini. Berbeda jauh dengan kembaranku Halilintar.

"Hey Thorn. Salaman dulu dengan kakak ini" Taufan menyuruh seorang anak kecil yang mungkin usianya sekitar empat tahunan. Bocah bermata hijau itu mengangguk lantas menghampiriku. Aku terkekeh.

"Duduk kak. Biar aku buatkan teh" Taufan tersenyum.

Aku mengedarkan pandangan. Rumah sederhana dengan ruang tamu merangkap ruang keluarga. Sebuah televisi kecil menyala menayangkan kartun. Tembok kiri kanan yang mulai rusak catnya. Namun rumah ini begitu rapi.

"Jangan bandingkan situasi disini dengan di rumahmu" Blaze membuka suara. Aku hanya tersenyum canggung. Sungguh, aku merasa tidak enak jika begini.

"Ngomong-ngomong mengapa kau mengikuti hm?" tanyanya.

"Entah"

"Jangan-jangan kau menyukaiku ya! Jauh-jauh lah kau. Aku laki-laki normal tahu!" ucapnya hiperbola.

Aku memutar bola mata malas. Toh, aku juga laki-laki normal yang masih menyukai seorang wanita.

"Benar itu kak. Kak Blaze normal kok. Buktinya tadi siang dia habis menggoda Kak Rani anaknya pak RT" Taufan menyela. Menyuguhkan teh manis yang ia buat disusul Thorn Yang membawa mainan mobil-mobilan.

"Heh! Kau ini Fan!" Blaze menjitak pelan kepala Taufan.

"Baik silakan diminum kak. Aku akan masuk kamar" Taufan berucap sambil tersenyum.

Aku mengangguk sekilas.

"Hey kau. Dari sekolah mana?" tanya Blaze sambil menyeruput tehnya.

"SMA 1" balasku.

"Hmmm pandai juga" ucapnya mengangguk.

Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya sebatas sekolah. Lalu aku undur diri. Kembali ke tempat yang bisa kalian sebut rumah. Namun, rumah itu kini tak sama seperti dulu. Aku menghela napas. Mencoba tabah menjalani kisah pahit yang dia menghadang.






















Hey! New Story nih. Authornya gabut banget:) Silakan vote dan comments ya gaes! Awas lu sider gue santet online_-

Oke kirim pendapat kalian tentang cerita ini. Kao ga yaudah gw ga akan lanjutin cerita ini__- Palingan gw lanjutin cuma di akun sebelah sebagai teenfic. Ya, teenfic biar di novelin wkwkwkwk

Dah ah bye!

SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang