Secuil Kebenaran

366 70 0
                                    

Setelah sampai di apartemen, Aryan segera membawa Khey ke kamar tidurnya. Aryan mengusap rambut Khey sejenak, hatinya masih terasa sakit melihat jejak-jejak air mata yang masih tergambar jelas di pipi sang anak. Aryan menghapus bekas air mata itu dengan usapan lembut kedua ibu jarinya. Setelah memberikan kecupan hangat di puncak kepala Khey, Aryan beranjak dari kamar anak laki-laki itu untuk menemui Jaz yang masih menunggu.

"Yan, gue jadi pinjem motor ya." Ujar Jaz dari arah dapur saat mendengar suara pintu yang ditutup. Abangnya yang satu itu tengah meneguk air putih untuk menghilangkan sedikit dahaga.

"Iya, bawa aja Bang. Mau langsung balik?"

"Iya, langsung balik aja. Keburu kangen istri." Jaz berujar asal.

"Yeu, bucin." Aryan geleng-geleng kepala. Jaz tertawa mendengar ledekan Aryan.

"Makanya cepetan cari istri gih Yan, biar bisa bucin sama cewek nggak cuma bucin sama Khey." Jaz menatap Aryan sambil menaik-naikkan alis menggoda. Aryan merespon abangnya itu dengan dengusan pelan.

"Nggak usah ikut-ikutan Mama ya Bang, cukup Mama aja yang jadi alarm pencari istri." Jaz tergelak mendengar keluhan Aryan. Jaz kemudian berjalan menuju tempat gantungan kunci dan menyambar kunci motor yang sudah sangat dikenalnya.

"Ya udah, gue cabut ya Yan. Kalau butuh bantuan kabarin aja, insya allah gue bantuin kalau bisa hehe."

"Siap, makasih ya Bang. Terbaik emang abang aku yang satu ini." Jaz tertawa lalu menjawab.

"Demi Ayang Aryan apa sih yang enggak?" Jaz tersenyum menggoda. Sudah lama dia tidak memanggil karibnya ini dengan panggilan sayang andalannya.
Aryan hanya tergelak mendengar panggilan yang sudah lama tidak dia dengar itu. Jaz dan segala ke-absurd-annya selalu bisa menghiburnya.

🦊🦊🦊

Sembari menunggu anak lelakinya bangun, Aryan memutuskan untuk membuat kudapan favorit Khey. Bocah kecil itu pasti akan kelaparan ketika bangun nanti, mengingat apa yang terjadi hari ini. Sudah pasti tenaganya habis terkuras karena menangis.
Aryan berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan bahan-bahan yang dia butuhkan untuk membuat lasagna.

Memasuki tahun keempatnya sebagai seorang single parent, Aryan sudah cukup mahir dalam hal membuat makanan yang bisa Khey konsumsi. Setidaknya dia bisa memastikan kalau anak lelakinya itu tidak pernah kelaparan. Mengingat dirinya yang juga suka makan, memasak bukanlah kendala yang berarti untuk Aryan. Setelah berkutat dengan segala bahan-bahan yang ada, Aryan tinggal menyusun semua bahannya di dalam sebuah cetakan layer demi layer. Setelah selesai, dimasukkannya cetakan ke dalam oven yang sudah dia panaskan sebelumnya. Aryan hanya tinggal menunggu oven mati, dan lasagna ala Ayah Aryan siap untuk dinikmati.

Setelah membereskan dapur, Aryan memutuskan untuk menengok putranya di dalam kamar. Ternyata Khey sudah bangun, tapi bocah laki-laki yang biasanya tidak bisa diam itu memilih untuk tetap meringkuk di atas ranjang. Raut wajahnya masih tampak terluka. Aryan bergegas menghampiri anaknya dan dengan perlahan ikut berbaring di samping Khey.

"Kok tumben udah bangun nggak langsung nyariin ayah?" Aryan mengusap lembut kepala Khey. Bocah itu menatap ayahnya sedikit takut, bagaimanapun dia sudah melanggar kata-kata ayah untuk tidak menyakiti orang lain.

"Ayah marah sama Khey?" Aryan menghela nafas panjang. Jika boleh jujur Aryan merasa sedih, sedih karena Khey di usianya yang masih kecil harus mengalami sakit hati yang mungkin akan membekas sampai dia dewasa nanti. Dan yang lebih menyedihkan, Aryan tidak dapat berbuat apa-apa.

"Enggak, Ayah udah nggak marah. Tadi Ayah marah soalnya Khey dulu udah janji sama Ayah, kalau Khey nggak akan berkelahi. Tapi Ayah juga paham kenapa Khey marah dan sedih." Dikecupnya kening Khey singkat.

Package DealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang