Pukul lima sore Juny bergegas meninggalkan kantor untuk pulang ke apartemen pribadinya. Apartemen bergaya vintage dan hanya diisi satu kamar yang menjadi hadiah ulang tahun ke 24 dari kak Mira. Jarak kantor dan tempat tinggal yang terpaut tak jauh membuat Juny memilih berjalan kaki saja seperti biasa. Baru saja mau kaki keluar loby suara cempreng Erwin terdengar memanggilnya.
"Juny?!" Atas persetujuan mereka berdua dan taraf kecerewetan Erwin, keduanya sepakat tak menggunakan embel-embel 'kak' dan 'dek'.
"Apa, Win?"
"Elo nggak ikut ke party-nya Luna? Seru bo' di bar Borgenvill. Bar elit yang gue yakin bisa ngabisin gaji gue satu bulan cuma buat party satu malam di sana. Endes la pokoknya, kuy join! Sekali-sekali Jun nikmatin waktu elo buat hal begini. Pasti you bakal ketagihan."
"Enggak, Win. Gue udah say sorry sama Luna, gue nggak bisa ikut."
"Ih kenape sih?! Seru tauk, entar you nyesel baru tau rasa. Btw tequila di sono paling the best." Erwin mencebik gemas. Dari sepengetahuan dan sepenelitiannya selama mengenal Juny, Erwin memang tak pernah melihat gadis itu tertarik mengikuti party-party. Terutama yang berlokasi di Bar. Sebagian besar penghuni kantor juga tahu.Tapi ayolah, masa sih gadis yang kelihatan maskulin itu bisa tahan? Dia udah dewasa dan berhak mendapatkan hal yang berbau dewasa pula. Dunia tidak akan hancur hanya karena dia menenggak satu gelas alkohol.
"Gue mau istirahat, besok ada rapat sama penulis baru. Udah ya, gue duluan."
Klasik!
Erwin melongo.
Anjir!
Sifat to the point gadis itu kumat lagi. Kadang Erwin meragukan kemachoan Juny dan lebih percaya gadis itu memiliki hati hello kitty. Dan lagi-lagi rayuan tequila-nya pun tak pernah mempan.
Juny berbalik dan melanjutkan langkahnya begitu saja. Bar? Party? Tequila? Yang benar saja, dari dulu sampai sekarang dia tak pernah berurusan dengan hal-hal itu. Sejauh ini ia mendatangi Bar hanya karena diminta Billa--yang saat itu hampir mati kebosanan-- untuk menjemputnya. Dan itu cuma satu kali, ketika gadis itu sedang kumpul dengan teman-temannya untuk merayakan tahun baru.
Bukannya sok anak baik dan naif, tapi Juny sangat anti pada sesuatu yang nantinya akan membuat dia kecanduan. Seperti cinta pada Billa yang tanpa sadar sudah menjadi candu sekaligus racun untuknya. Dia tak mau, cukup Billa saja yang menghancurkannya dari dalam. Jangan tambah lagi. Bisa-bisa dia mati muda sebelum mencicipi tequilla.
Lebih baik dia bergulung diatas kasur dengan selimut sambil meratapi kebodohannya. Lalu tidur dan berharap besok matahari masih berminat memberikan sinarnya.
Dalam perjalan pulang yang dihiasi awan mendung ini, Juny juga kelihatan tak kalah mendung. Wajah murungnya persis seperti anak SD yang lupa dijemput oleh ayahnya. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Matanya hanya menatap lurus, bibir tipisnya sesekali menghembuskan nafas gusar. Billa ngapain ya?!
Billa lagi, Billa lagi.
Hingga tanpa sadar kakinya telah menjijak lantai apartemenya yang temaram dan sunyi itu. Sesunyi hatinya yang entah kapan akan mendapatkan kebahagiaan.
Juny melangkah lebih jauh lagi, melewati deretan sofa di ruang tamu, beberapa rak kayu yang disesaki buku-buku, dan lukisan abstrak di dinding, serta beberapa furnitur lainnya. Hingga sampailah dia di kamar tidurnya yang bernuasa monokrom. Matahari sore yang tertutup awan masih setia menyemburkan sisa-sisa cahayanya dari balik celah tirai jendela guna menenerangi.
Dengan hati layu dan muka sayu, Juny menidurkan tubuhnya ke atas kasur. Tanpa mau repot-repot membersihkan diri terlebih dahulu. Cukup melepas sepatu converse-nya yang sejak tadi tergelatak malang di dekat pintu utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juny
RomansaMemilih antara cinta dan persahabatan membuat Juny seolah berdiri diantara dua jurang. Kemana pun akan terjatuh juga~ (No plagiat!)