Enam

20 3 0
                                    



                              ❣❣❣

     Jalanan masih tampak cukup ramai. Entah kapan aku bisa sampai dengan cepat ke rumah Aini? Pandangan ku masih lurus ke depan. Menatap tajam jalanan sekitar.

     "Qod kafanii ilmu rabbi, min suaali wakhtiyari.."  Aku tersenyum melirik ke samping. Pengamen kecil ini tak henti nya tersenyum sambil memukul botol berisi kerikil ke telapak tangan nya. Aku pun membuka kaca mobil, kemudian menciptakan lengkungan kecil untuk nya.

     "Nih buat kamu, beliin yang bermanfaat ya sayang." Aku memberikan selembar uang kertas berwarna pink. Anak kecil ini masih setia tersenyum manis.  'Masya Allah sekali kamu dek,'

     "Iya kak, makasih banyak." Ia pergi dengan girang begitu saja. Aku kembali berfikir. Di umur kecil seperti itu, aku masih menjadi Gaby yang sangat manja. Ternyata di luar sana, anak sekecil itu sudah mandi dan mampu untuk mencukupi kehidupan nya sendiri. 

     Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Mobil ku sudah terparkir rapi di perkarangan rumah Aini. Aku tersenyum menatap dalam rumah Aini. Menarik nafas panjang, kemudian melangkah masuk  ke dalam

      "Assalamualaikum..." Ujarku pelan dan membuka knop pintu dengan perlahan. Kemana pergi nya penghuni rumah ini. Kenapa sepi sekali?

     "Wa'alaikumussalam. Masuk Gaby." Teriakan Umi memanggil namaku. Huft, ya. Mungkin Umi juga sudah hafal dengan suara ku. Terlebih karena aku sering bermain kesini.

     "Udah lama, gab?" Tanya Umi kemudian. Aku menggeleng kecil menyalami tangan Umi. "Enggak kok, mi. Baru aja. Aini ada, mi?"

     Umi hanya mengangguk sembari mengisyaratkan aku untuk duduk menggunakan dagu nya. Aku ikut mengangguk kemudian menjalan kan titah Umi tadi. Aku duduk dengan menopang badan ku menggunakan kedua telapak tangan yang saling terkait. Sedikit membungkuk.

     Mataku ikut menyapu pemandangan ruang tengah rumah Aini 'Rapi, seperti biasanya.'  Batin ku memuji.

     Selang beberapa menit aku menunggu, Aini datang masih lengkap dengan mukena yang menutupi seluurh tubuh nya. Aku berdiri, tersenyum. Aini pun begitu. Membalas senyuman ku hangat.

     "Udah lama?"

     "Belum, kok. Santai aja."

     "Yaudah kalau gitu. Sini duduk." Aini mendahului. Aku mengikuti di belakangnya. Duduk menyerong dengan nya. "Kamu tadi kenapa nangis, gab?" Tanya Aini memulai pembicaraan. Aku menggeleng lemah. "Dean ngajak aku nikah secepat nya, ni." Ucap ku lirih. Aku menatap sendu mata Aini yang berbinar.

     "Wah, bagus, dong?" Tanya Aini bersemangat. Ya tuhan. Aku lupa Aini belum tahu tentang penolakan keras Dean ketika aku mengatakan aku akan masuk islam. "Ga gitu, ni." Aku menunduk. Aini sedikit memajukan badan nya. Mengerutkan kening. "Why?"

     "Dean menolak keras aku masuk Islam, Aini. Aku harus apa?" Aku kembali memancing keluar air terjun kecil mata ku. Aini menatap ku sendu. Seperti ikut merasakan kesedihanku.

     "Kenapa ga kamu, to.... lak?" Tanya Aini sedikit memanjangkan kalimat nya. Takut aku merasa sakit hati, mungkin.

     Aku berpindah duduk menjadi di samping Aini. Kuraih tangan nya untuk menyentuk pelan pipi ku. "Awww..."  Ringis ku pelan. Aini menarik tangan nya. Bergidik ngeri.

     "Dean, naa..m..par, kamu?" Aini bertanya Ragu. Aku hanya mengangguk kecil. Asal kamu tau Aini. Bukan hanya Dean yang menolak ku kasar. Begitu pun Mami ku.

     "Jika begitu, apa nyali kamu masih besar untuk memeluk agama islam?" Tanya Aini kembali. Spontan Aku mengangguk pasti. Ini adalah Niat ku yang tulus.

     "Aku ga akan ngecewain kesempatan ini Aini. Tapi, aku harus bagaimana. Paa..man Alvero aa..adalaah pendeta yang paling di segani.. Ti.. tidak ada yang akan mem..ban..tu kuu." Aku kembali menangis. Isakan kali ini lebih pelan. Aku malu menangis di hadapan Aini. Aku merasa lemah.

      Aini mengelus pundak ku lembut. Masih tersenyum manis dihadapan ku. Aku mengangkat wajahku, mengerutkan kening. "Nangis aja, gab. Keluarin semua nya. Ga ada manusia kuat di dunia ini." Seakan mengerti akan kebingungan ku, aini menjawab dengan perkataan jelas nya. Aku ikut membalas senyum nya.

     "Aku yang akan bantu kamu. Aku yang akan nemenin kamu, gab. Kamu ga usah takut. Kamu ga sendiri. Ada Allah." Aku menganggung semangat. Aini tertawa kecil. Kemudian memutar sedikit badan nya agar berhadapan dengan ku.

     "Gab, kamu mau tau ga?" Aku menggeleng, mengangkat sebelah alis ku. Menggantikan kalimat 'apa' dengan gerakan khusus.

     "Kata Umi, kita kalau mau apa apa. Sandingkan dengan Shalawat nabi. Shalawat nabi kalau kikta iringin disetiap doa kita. Itu kuat buat di ijabah nya sama Allah." Jelas Aini terang. Tapi tidak seterang di pikiran ku. Fyuh, dasar Telmi. 

     "Ya ampun. Gini loh maksudnya, Gaby. Kamu kalau lagi kepingin sesuatu, di doain aja. Jangan lupa kamu sholawatin juga. Gitu, paham?" Selidik Aini. Aku tersenyum mantap. Ya, aku paham.

     "Oiya, gab. Kamu ga boleh pantang nyerah ya. Rasulullah aja yang berat siksaan nya, kuat kok buat terus menyebarkan agama islam. Nah kamu tinggal memperjuangkan diri sendiri. Yakin bisa, oke?!" Aini menadahkan tangan ke atas. Ku terima tangan nya yang terjulur dan menepuk nya. "Oke!"

     "Eh iya, Astaghfirullahal adzim. Aku belum gantu mukena, gab. Aku lupa. hehe.." Aini terkekeh kecil. Aku memperhatikan nya dari atas ke bawah. Benar saja. Mukena suci ini masih terbalut di badan Aini.

     "Sana ganti dulu. Abis ini kita nge bakso, yuk?" Tawar ku semangat 45. Aini menggeleng cepat. "Traktirin ga nih?" Tanya nya usil, mengangkat sebelah sudut bibir nya.

     "Iya, tenang a---"

     "Ainiii.."

     "Hehe.. Iya mi, bercanda." Aini menengok ke belakang. Menjawab teguran Umi tadi. Kemudian kembali menghadap ku. "Aku ganti baju dulu ya sebentar. Kamu bisa sabar nunggu, kan?" Aini menggoda ku jail. Ku pukul pelan pundak nya. Lalu, kita tertawa bersama.

     Aku berjalan menuju dapur. Tempat Umi berada. "Assalamualaikum, umi."

     "Wa'laikumussalam, sayang. Udah cerita cerita, nya? Asik bener kaya nya umi perhatiin?" Tanya Umi sembari mengelap peluh keringat nya. Memandang ku sekilas.

     "Hehe, ga ada apa apa kok, mi." Jawab ku gugup. Menggaruk daun telinga ku yang sama sekali tidak gatal itu.

     "Sabar ya sayang. Orang kuat pasti banyak cobaan nya kok." Kata Umi kembali. Pelan, namum terdengar oleh ku. Tanpa menoleh sedikit pun kearah ku.

     "Udah, kamu gausah paham sekarang sayang. Waktu itu berputar dengan Adil, kok. Sama kaya skenario Allah. Yang penting kamu jangan pernah nyerah dan jangan pernah ngeluh sedikit pun. Oke?!" Kali ini Umi menoleh penuh arti kepadaku. Ku tatap mata nya. Ada sorot yang tak bisa ku artikan sekarang. Aku mengangguk. Kemudian menciptakan lengkungan sabit di bibir ku.

     'Bismillahirrahmanirrahim. Gaby bisa. Ayo sayang! Semangat!' Aku meyakinkan diri ku sendiri. Mengangguk mantap.

                                 ❣❣❣

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bias Cinta IllahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang