4 | Berpamitan

56 23 5
                                    

Minggu sore kembali menyapa. Kali ini cuaca sedang merona cerah. Kalau kemarin Rowan menghabiskan hari di kafe, kali ini ia memilih membereskan beberapa rak di tokonya. Sejak hari ia mengantar Kiara ke rumah sakit, wanita itu belum berkunjung lagi. Rowan beberapa kali berniat untuk mencarinya ke rumah sakit, tempat terakhir mereka bertemu, namun Johan--tetangga di sebelah tokonya mengingatkan dia bahwa mungkin wanita itu sedang sibuk dan kemunculan Rowan hanya akan mengganggunya.

Sebetulnya, ia juga tidak yakin kalau harus melaksanakan apa yang ada di pikirannya. Dia bahkan tidak yakin apakah Kiara masih mau menemuinya. Wanita itu ramah, manis, dan menyenangkan. Tapi Rowan tahu Kiara menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Wanita itu beberapa kali mengalihkan pembicaraan, tidak sengaja menampakkan raut wajah yang Rowan tidak mengerti namun kemudian buru-buru ia tutup dengan senyum.

Rowan tidak membual saat mengatakan ia melihat pantulan wajah Kiara pada kecoa, dinding, tanah, atau apapun itu. Singkatnya, wanita itu sekarang memenuhi kepalanya.

Ia baru meletakkan beberapa buku cerita anak yang rencananya akan disumbangkan ke panti, saat pintu toko diketuk, menampilkan sesosok pemuda kurus berusia sekitar dua puluhan berdiri dengan kaus dipenuhi noda cat. Johan, merupakan pemilik toko lukisan di sebelah. Ia menenteng sebuah kanvas yang tergulung di tangannya.

"Ngelamun terus, Bang!" celetuknya. Lelaki itu memasuki toko, menghampiri Rowan.

"Sepatumu!" Seru Rowan keras, sebelum langkah kaki Johan memasuki tokonya lebih jauh. Yang diteriaki hanya membalik badan tanpa membantah.

Meninggalkan sepatunya di luar, ia kembali mengetuk pintu. "Boleh saya masuk, yang mulia pangeran muda?"

"Silakan." Rowan merentangkan tangannya sambil cekikikan.

Yang dipersilakan juga ikut cekikikan. "Aneh banget manggil kamu kayak gitu. Tapi mengingat ada gadis cantik yang mau kamu jadi pangerannya, jauh lebih aneh lagi."

Lagi-lagi Rowan harus diingatkan kembali pada Kiara. Kemarin ia bercerita pada Johan. Seperti biasa, lelaki itu meskipun mendengarkan dengan antusias, pada akhirnya akan melontarkan ledekan-ledekan kecil padanya.

"Dia nggak muncul lagi," ucap Rowan, tanpa menyembunyikan raut sedih di wajahnya.

"Dan pangeran jadi sedih?"

Rowan mengangguk saja. Saat Johan sudah duduk di sampingnya, Rowan menoyor kepala pemuda itu dengan cukup keras. "Sialan! Datang cuma buat meledek?!"

Johan buru-buru mengusap kepalanya masih sambil cekikikan. "Sadar nggak, kamu kayak orang yang lagi jatuh cinta," katanya kemudian.

Rowan menahan napas, memikirkan kata-kata Johan. Wanita itu manis, membuat dia tertarik. Tapi kalau dikatakan jatuh cinta? Rowan belum begitu paham. "Sama orang misterius yang baru saya kenal?"

"Mungkin aja dia benar. Kalian pernah saling kenal waktu dulu. Kepalamu aja yang suka nggak beres! Tiba-tiba lupa begitu."

"Entahlah." Rowan menarik napas dalam-dalam, lalu mengembusnya dengan perlahan. "Sejak kecelakaan empat tahun lalu, rasanya memang ada beberapa hal yang saya lupakan."

Johan mengeluarkan kotak rokok dari saku jins, mengapit sebatang di bibirnya seraya menyalakan pemantik, lalu mengisap dalam-dalam dan mengepulkan asap dari hidung. Setelahnya, ia menyodorkan kotak rokok pada Rowan. "Untuk meringankan pikiran."

Rowan mendorong kembali benda itu padanya. "Nggak, saya lebih suka cokelat."

Johan mencebik. "Ngomong-ngomong saya ke sini buat ngasih ini."

Sebuah kanvas yang tergulung tersodor ke hadapan Rowan. Johan mendesaknya untuk segera mengambil alih.

"Lukisan empat tahun lalu." Johan menjelaskan tanpa diminta. "Aku ingat kamu yang pesan, kayaknya beberapa bulan sebelum kecelakaan. Lukisan itu saya simpan, tadi pagi baru ketemu lagi."

"Oh." Rowan bergumam. "Saya nggak ingat pernah minta kamu melukis sesuatu."

Johan hanya mengangkat bahu, lelaki itu tak berlama-lama mengobrol. Ia pamit setelah memberikan gulungan yang ia bawa, meninggalkan Rowan yang justru menghabiskan banyak waktu memandangi benda tergulung itu hingga tanpa sadar matahari sudah beranjak turun.

Seberkas sinar menyilaukan terpantul ke kaca jendela, menyusup ke sela ventilasi dan terpancar ke rak-rak kayu tempat buku-buku tersusun rapi. Suara ketukan pelan kemudian sekali lagi mengudara di dalam ruangan. Rowan menoleh, dan menemukan sumber kegalauannya akhir-akhir itu berdiri di bawah cahaya jingga.

"Saya mau pamit," kata wanita itu tanpa basa-basi.

Rowan buru-buru meletakkan lukisan Johan yang belum sempat ia buka ke atas meja, lalu menghampiri Kiara. "Memangnya mau pergi ke mana?"

Kiara tampak bingung menjawab. "Saya nggak bisa menetap di sini lebih lama," kataya.

Hati Rowan mencelos. Terakhir bertemu, wanita itu menawarkan kesempatan untuk mereka bisa mengobrol lebih panjang, lalu hari ini ia datang dengan satu kalimat yang membuat dunia Rowan terbalik. Ia menunggu Kiara memberikan penjelasan lebih panjang, tapi wanita itu tak lagi membuka suara.

"Mau ikut saya sebentar?" tanya Rowan kemudian. Dia tak mengharapkan jawaban, segera meraih pergelangan tangan Kiara, membimbingnya keluar toko. Dingin, kulit wanita itu selalu terasa dingin ketika tersentuh kulitnya.

Meskipun terkejut, Kiara tidak melayangkan protes. Ia pasrah mengikuti langkah Rowan. Baru ketika mencapai sisi luar toko yag terdapat sebuah tangga menuju rooftop, Kiara akhirnya bersuara. "Ke mana?"

"Melihat senja," jawab Rowan. "Aku mau sore terakhir kamu di sini jadi berkesan."

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BROWN [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang